www.wikipedia.com

Friday, November 28, 2008

Cakrawala Cerpen

PENGUASA SUBUH

Azizah hefni*


Jauh sebelumnya, ayahku, seorang laki-laki berkulit putih yang terlahir dari tanah timur, bercakap-cakap denganku. Sambil mengelus-elus batok kepalaku, dia bilang, “Nak, manusia itu harus siap hidup dimanapun, dengan siapapun, dan bagaimanapun,”

Bibirnya yang pucat tersenyum pelangi. Kemudian, ia kembali berkata, “Yang terpenting, manusia adalah manusia, bukan masalah ia besar atau kecil, laki-laki atau perempuan,” Nafasnya semakin pelan, “Kamu tergolong manusia itu, nak. Paling sempurna dibanding ciptaan manapun,” bisiknya.

Laki-laki dari timur itu menguliti sepasang mataku yang lugu. Dikecupnya keningku, lalu ditariknya aku ke dalam pelukannya. Lamat-lamat, kudengar ia menangis sangat pelan. Bau tubuhnya, bau balsem. Batuk yang kabur, muncul di sela-sela perbincangan. Laki-laki dari timur, yang merasai sesuatu itu, melepas pelukannya “Tapi, manusia, sekalipun paling sempurna, sangat rapuh hatinya, nak. Ia muda terpedaya. Jadi, berlindunglah kamu dari kejahatan yang tak terduga. Mintakan pula perlindungan untuk ibumu selalu. Terjagalah tengah malam, dan jangan tidur sampai subuh benar-benar datang. Mintalah perlindungan pada Penguasa subuh.”

Itulah terakhir kalinya. Setelah itu, memang tak pernah lagi. Laki-laki dari timur pergi. Sudah bahagia ia di sebuah tempat. Di sana, di keabadian para manusia berikutnya. Dan pembicaraan terakhir itu, begitu kuat menancap dalam otakku. Seterusnya, hingga saat ini.

Ibu, perempuanku yang bertahi lalat di dagu, menangis tersedu-sedu saat kematian laki-laki dari timurku. Ia menciumi pakaiannya sepanjang malam. Kadang ia mengenakannya, sesekali menidurinya. Perempuanku itu, murung berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-berbulan.

Setiap malam, aku mendengar isaknya yang tertatih dan pedih. Hampir setiap malam, ia mendatangi kamarku dan mengamati wajahku yang kerap pura-pura terlelap. Sambil mengelus rambutku, ia pasti berkata, ”Malam yang sempurna gelapnya sudah berpamit, nak. Hari baru datang lagi. Namun tidak bagiku. Segalanya adalah kenangan, dan ayahmu masih terasa di sini, bersamaku,” Kemudian, bibirnya menyebut nama laki-laki dari timur berkali-kali, lalu mengecup keningku.

Begitukah cara perempuan mencintai laki-laki?

Seterusnya, perempuanku dan aku menjalani hari. Ia masih bertahan dengan kemurungannya. Kebiasannya itu, berdampak pada pribadiku. Aku semakin enggan bercakap dengan kawan sepermainan. Aku bosan dengan cerita-cerita kartun dan mainan-mainan.

Tapi, suatu hari, tiba-tiba saja, perempuanku itu bertanya padaku, “Apa kau mau, bila aku menikah dengan orang lain, nak?”

Pertanyaan itu mengejutkanku. Tatapannya sangat serius, cukup ambisius. Aku seperti tidak sedang melihat perempuanku yang lugu, yang tulus menunggu. Matanya yang lembab, terlihat kering.

Aku menerima lamaran laki-laki baru. Dia mencintaiku sejak dulu, sejak sebelum ayahmu. Ia memiliki satu istri dan tiga anak. Tapi, semua itu tak masalah bagiku. Sebab aku sangat mencintainya,”

Tenggorokanku menegang. Mencintainya? Lalu, malam-malam yang dilalui untuk mengenang kebersamaannya dengan laki-laki timur itu? Hari yang tak pernah baru itu? Kerinduan dan kenangan yang menjadi ruh, termasuk berbagai kalimat yang ia sampaikan padaku: cara perempuan mencintai laki-laki, kesetiaan yang tak lain adalah harga diri, penantian yang sulit namun sangat berarti? Apa arti semua itu?

Aku betul-betul tak sanggup melihat sepasang matanya. Tak kusangka, matanya yang bersahaja, telah membohongi kepercayaanku (atau, aku yang terlalu bodoh menangkap makna?)

Aku memeluk perempuanku seerat-eratnya. “Jangan lakukan apapun, ibu! Jangan membuat kebanggaaku padamu hilang hanya karena keputusanmu ini!” Aku menangis selayaknya bocah yang kehilangan kesempatan.

Tak ada yang tersisa dari kematian ayahmu!” jawabnya tegas. “Kisahku dengan ayahmu sudah sepenuhnya usai! Dan aku telah menemukan pengganti yang tepat! Lagipula, dia sudah mati, tak ada gunanya lagi aku menanti!”

Ibu pembohong besar!” balasku. “Bukankah ibu pernah bilang, di masa keabadian manusia berikutnya, kita bertiga akan bertemu kembali, asal kita setia dan berdoa?!” Kalimatku tertahan. Aku segera ingat, siapa sosok di depanku. Dia ibuku, perempuanku. Laki-laki timur tak pernah menyukai siapapun yang membentak perempuanku. Sungguh, tak seharusnya kukeraskan suaraku.

Tapi, pikiranku memang sedang kalut. Aku mengerami berbagai kemungkinan dan anggapan. Jangan-jangan, karena perempuanku tak tahan dengan jumlah makan kami yang kadang sekali kadang dua kali, pelanggan jahitan yang tak melulu datang atau dagangan yang membusuk, sehingga ia memutuskan menikah dengan laki-laki baru?

Diamlah, kamu!” Untuk kali pertama, aku mendengar nadanya yang sangat kasar. Tangannya memaksa melepaskan pelukanku. “Tahu apa kamu tentang cinta dan kesetiaan? Sudah merasa lebih tua kamu dariku sekarang, heh? Siapa yang mempola pikiranmu sampai jadi begitu melankolis?!”

Aku diam ketakutan. Kedua tanganku gemetar. Perempuanku beranjak pergi, setelah sebelumnya membanting pintu kamar keras-keras.

Sungguh, peristiwa ini terlalu mendadak.

***

Setelah perbincangan itu, sepulang sekolah, aku selalu melihat laki-laki baru duduk di pelataran rumahku. Laki-laki baru itu, adalah masalalu perempuanku sebelum dengan laki-laki dari timur. Ia dulu gagal mendapatkan hati perempuanku karena terlalu ambisius dan sombong.

Seperti hari itu, aku melihatnya sedang menghisap rokok, menggerak-gerakkan salah satu telapak kaki dan berbicara dengan suara sangat lantang. Lehernya bergelambir, matanya menyimpan bergram-gram lendir. Yang menyesakkan, mata perempuanku berbinar-binar mengimbangi percakapan dengan laki-laki baru. Sialnya, perempuanku memerintahkanku untuk segera mencium tangan laki-laki baru dan bersalam padanya. Pandangan mata perempuanku tiba-tiba sinis jika aku keberatan. Laki-laki itu hanya akan terbahak-bahak dan memuji kemanisanku. Bila sudah begitu, ia akan memasukkan lembaran lima puluh ribuan ke saku baju sambil berujar, “Belilah mainan yang kamu suka, nak!”

Bah, dia tidak tahu, aku sangat membenci mainan!

***

Katakanlah padaku, apa yang sebenarnya terjadi. Keberadaanku sebagai bocah, memang sangat patut jika dipandang sebelah mata. Tapi, bukankah laki-laki dari timur pernah bilang, bahwa ada janji dari langit, bagi mereka yang terjaga setiap malam, mencintai dengan ketulusan, merenungi sejarah dan kenangan, akan dilindungi Penguasa subuh?

Aku berlindung pada segala keraguan. Bukakanlah untukku rahasia-rahasia. Aku tahu, aku bukan penafsir pertanda, juga ahli nujum atas sesuatu yang kasat mata. Tapi aku sedikit merasakannya. Aku merasa terluka, sebab perempuanku tak menyadari apa-apa.

Setan beranak pinak, belum satupun yang terkubur apalagi lebur. Sejak dulu, ia sudah ada dan menggoda manusia. Setaraf nabi pun mampu ia tundukkan, apalagi hanya manusia biasa? Kaum jahat itu akan terus menebar kebahagiaan dengan cara mereka sendiri. Dengan jaminan sesuai aturan main mereka sendiri, sudah digenggamnya ruh-ruh tolol manusia. Sangat mudah dan cepat. Tak terduga dan mengena. Zaman sudah dekat dengan penghabisan. Semakin luntur keyakinan dan pengabdian. Semakin hilang eksistensi dan substansi. Aih!

Lalu, bagaimana denganku? Dengan perempuan yang kucintai itu? Pertimbangan apa lagi yang diributkan? Sekuat apa aku, hingga harus kutembus lapisan-lapisan langit untuk sampaikan mauku? Seberapa lama lagi harus kubangun kepercayaanku pada kekuatan subuh? Dimana Penguasa subuh itu?

Manusia tetaplah manusia, bukan masalah ia besar atau kecil, laki-laki atau perempuan. Kalimat laki-laki Timur, tiba-tiba menelusup dan mengagetkanku. Aku mencari-carinya, namun tak ada. Aku kembali menenggelamkan kepala pada kedua lututku. Betapa kalah aku kali ini. Malam memelukku yang duduk mencangkung ketakutan di pelataran rumah. Aku tersedu, seperti pecundang tak tahu malu. Naifnya aku, karena tak bisa berbuat apa-apa untuk perempuanku.

Namun, suara laki-laki dari timur kembali terdengar. Semakin lama semain tegas. “Tengoklah langit pekat yang merentangkan sayap-sayapnya, nak! Itu sayap malaikat yang terbang bersamaan! Langit suka pada yang manusia yang tak pernah lelah. Pasti akan terbuka segala rahasia, akan datang jalan mulia. Semayamkanlah keutuhanmu pada yang satu, nak. Bilang pelan-pelan, aku berlindung pada Penguasa subuh, dari segala kejahatan yang tak pernah kusadari, dari kegelapan yang menakutiku, dari para peniup buhul, dari mereka, yang sibuk dengan kedengkian-kedengkian...”

Bibirku tertuntun. Aku mengikuti suara halus itu. Aku mengulang kalimat-kalimat itu berkali-kali, begitu seterusnya. Sorot mata perempuanku yang sebenarnya terluka bergelayut di atas kepalaku. Bukakanlah satir dan tabir yang menutupi hatinya. Akan kubacakan kitab suci atas namanya. Asal ia bahagia, asal ia terbebas dari marabahaya.

Dan tiba-tiba cahaya muncul dari utara. Bulat, seperti globe. Merah, seperti lampion. Pelan, seperti nenek renta. Mengendut-endut, melenggang dan bersolek. Air dalam sumur mataku hampir kering. Aku terbeliak melihat bola kecil itu menelusuri lajur langit yang kasat mata. Menyipit, menelisik, menyelidik. Aku berdiri, menaiki kursi. Benda itu semakin dekat. Aih, mau kemana bola api itu?

Langit lega, bisa memberikan sedikit jawaban. Alam memang tak diciptakan untuk mengumbar rahasia. Hanya sebatas memberi pertanda, tidak lebih, tidak kurang. Semakin lama, benda itu semakin dekat. Tapi, pemandanganku terhalang rimbun pohon. Berkali-kali aku beralih. Berkali-kali bola itu hendak sembunyi. Terakhir kali, aku melihat bola itu meletus sebelum sampai mendekat ke arah rumahku!

Subuh berkumandang. Penguasa telah mengambil keputusan.

***

Setelah keajaiban subuh itu, perempuanku terbangun dengan nafas terengah-engah. Ia mencari-cariku di kamar, tapi tak ada. Mulutnya berteriak memanggil-manggil namaku, namun tak juga ada sahutan. Ia baru merasa lega saat menemukanku duduk mencangkung di pelataran, dengan kepala tersembunyi di balik kedua lutut.

Tanpa berkata apa-apa lagi, diraihnya tubuhku. Ia memelukku sangat erat. Tangisnya berderai, membuatku kelabakan. Ia menciumi rambutku, sambil terus memelukku. “Aku merasakannya, nak, aku merasakannya!” Nafasnya terengah, “Sumur itu gelap dan bau amis. Di dalamnya, seikat rambut dan batu gelap. Ada juga sisir serta jarum. Api meletup-letup. Debu dan asap dimana-mana!”

Aku tercengang-cengang melihat kegugupannya.

Aku melihatmu berdiri di pelataran! Kamu menangis dan terluka parah! Kamu ketakutan dan menjerit mirip orang kesurupan! Kamu menuding mukaku, memarahiku habis-habisan. Kamu berlari menjauhiku, nak! Kamu terbang ke atas, bertemu ayahmu! Sedang aku, sedang aku... Aku tenggelam di sumur yang sangat dalam seorang diri...” Ia berhenti, lantas melepas pelukannya, “Tidak akan rela aku sia-siakan kesetiaanku, nak! Sampai matipun, aku berjanji! Demi Allah, tak akan kunikahi laki-laki manapun! Aku hanya milik ayahmu dan milikmu nak...” Bibirnya gemetar. Ia berdzikir lirih. Kudengar, ia menyebut berkali-kali nama laki-laki dari timur lagi.

Tanganku mencengkram tangan perempuanku kuat-kuat. Inilah jawaban itu! Aku mencintainya, sangat mencintainya. Jawaban itu, entah dari mana asalnya. Awal mula perubahan perempuanku terlalu cepat, kepulangannya pun sangat cepat. Perhelatan kemunafikan itu akhirnya sudah buyar. Perempuanku sendiri yang mengakhirinya.

Ibu...” Aku kembali tenggelam dalam pelukannya.

***

Siang harinya, aku dengar laki-laki baru meninggal di rumahnya. Kematiannya sangat tragis: tubuhnya meletus.

Malang, 4 November 2008








Buat Tamim

HARGAI PROSES, WALAU BELUM TUNTAS.

Aku terlalu sayang pada Tinta Langit…”

Saya ingat betul, bagaimana Tamim mengatakannya dengan suara begitu lirih dan dalam. Dia tidak menatap mata saya, melainkan menatap lurus ke udara di atas kepalanya. Saat itu, kami berdua sedang berada di masjid Tarbiyyah untuk membicarakan masa depan komunitas.

Kalimat itu membuat saya sangat malu. Tak tahu, mesti mengomentari bagaimana lagi saya saat itu. Saya cuma bisa tersenyum datar, sambil mengata-ngatai kebodohan saya dalam hati. Tamim membuat mata saya terbuka. Ketulusannya itu, membuka sejarah yang lama terlupakan. Ah, Tamim. Besar sekali khilaf saya padamu, pada kita semua: Tinta Langit.

Saya tak pernah melupakan apa saja yang telah terjadi di bawah bendera komunitas kita. Segala idealisme, sampai realitas yang rumit yang harus kita pecahkan bersama. Cita-cita akan lingkungan yang kondusif untuk menulis, membaca, berdiskusi, begitu berharga kita usung di atas kepala kita. Kita semua seperti pejuang yang sangat rela jika tak terbaca siapapun. Asal kita bisa menjadi generasi muda yang handal menulis, haus membaca, dan begitu gemar diskusi, maka apapun kita jalani. Walau tak ada biaya, tak ada tempat, tak ada dukungan, kita berusaha mewujudkannya sendiri.

Tamim menyimpan memori itu dengan sangat baik. Ia menjaga sejarah yang berdebu dan hampir tak berlaku bagi kita. Ia begitu menghargai kenangan dan segala proses yang telah dijalani, sekalipun belum tuntas. Benar, Tamim masih mencatat segala impian dan harapan itu dengan rapi di hatinya. Dengan sorot matanya yang pasrah namun sebenarnya sangat kuat itu, saya yakin, ia akan terus memegang erat Tinta Langit dalam genggamannya, selamanya...

Tinta Langit adalah kita, bukan siapa-siapa. Aku tak rela jika Tinta Langit menjadi milik orang lain selain kita...” Lanjutnya semakin serius.

Tapi, waktu kita semua sudah hampir habis, mim. Kesibukan kita menumpuk. Kita tak bisa andalkan apa-apa dari komunitas yang tak lagi berjalan ini,” saya menimpalinya “Kita harus rekrut anggota baru,” usulku kemudian

Tidak! Tinta Langit kita yang dirikan, biar dia menjadi milik kita! Bukankah dulu kita sepakat untuk tidak merekrut anggota? Mau mengingkari komitmen sendiri?” Sepasang matanya menghakimi saya.

Saya kaget bukan kepalang.

Rekruitmen anggota itu, apa kamu yakin sebagai alternatif agar Tinta Langit agar tetap berjalan? Atau, usulan itu hanya untuk melempar tanggungjawabmu saja sebagai anggota Tinta Tangit?”

Kalimat tamim sangat mempermalukanku. Ia bicara sangat tegas, sehingga pusat jantung saya seperti diremat-remat. Saya menunduk pelan-pelan, membawa malu saya yang semakin berat rasanya.

Teman-teman boleh sibuk, zi. Tapi, tidak seharusnya mereka lupa pada perjuangannya sendiri, pada berbagai harapan dan cita-cita yang mereka rintis sendiri. Bila tak ada yang mau mempertahankan Tinta Langit, biar aku seorang saja yang mengusung namanya! Sampai kapanpun, aku akan hidupkan Tinta Langit, sekalipun hanya di hati dan pikiranku saja!”

Tamim menghembuskan nafas panjang. Kepalanya ia sandarkan ke tembok masjid, dan sepasang kakinya ia selonjorkan. Ia seperti kelelahan. Mungkin, lelah menghadapi saya yang tak juga menyadari betapa berharganya Tinta Langit, atau mungkin lelah pada kenyataan yang terlalu pahit untuk ditelan Tinta Langit.

Tamim menyadarkan saya, bagaimana cara mencintai dan setia pada sesuatu. Tamim memberikan pelajaran berharga pada saya, tentang bagaimana cara memperlakukan impian yang dilupakan waktu. Tamim benar. Tak seharusnya saya (dan lainnya) menyerahkan Tinta Langit pada selain kami. Tinta Langit adalah kami bersebelas. Tak ada selain itu. Selalu.

Saya ingin menangis. Tapi saya malu melakukannya di depan Tamim. (zizi)

Malang, 27 November 2008

Wednesday, November 26, 2008

PSIKOLOGI LIRIK 3


Sarjana Muda

Cipt. Iwan Fals

Berjalan seorang pria muda dengan jaket lusuh dipundaknya

Disela bibir tampak mengering terselip sebatang rumput liar

Jelas menatap awan berarak

Wajah murung semakin terlihat

Dengan langkah gontai tak terarah

Keringat bercampur debu jalanan


Reff 1

Engkau sarjana muda resah mencari kerja mengandalkan ijazahmu

4 tahun lamanya bergelut dengan buku tuk’ jaminan masa depan

Langkah kakimu terhenti di depan halaman sebuah jawaban


Tercenung lesu engkau melangkah dari pintu kantor yang diharapkan

Terngiang kata tiada ada lowongan untuk kerja yang didambakan

Tak peduli berusaha lagi namun kata sama kau dapatkan

Jelas menatap awan berarak

Wajah murung semakin terlihat


Reff 2

Engkau sarjana muda resah tak dapat kerja

tak berguna ijazahmu

4 tahun lamanya bergelut dengan buku sia-sia semuanya


Setengah putus asa dia berucap: “maaf ibu.”


Hari ini, Sabtu 3 Mei 2008 kakak, saudara/I dan teman, pacar, tetangga kami dinobatkan menjadi Mahasiswa-mahasiswi Strata-1 dan Strata 2 di gedung Sport Center UIN Malang. Dengan nilai beragam, ekpresi bermacam-macam dan dari fakultas berbeda bersama-sama menatap masa depan, entah apa yang ada dalam benak mereka dan juga kami tidak tahu apakah nanti seluruh civitas akademika angkatan kami bisa juga mengecap hari dimana topi toga disematkan oleh bapak rektor Imam Suprayogo tercinta atau rektor selanjutnya.

‘Ngobrol’ hari-hari penting bin spesial di bulan Mei, layaknya seperti melewati bara panas sejarah panjang bangsa Indonesia. Bagaimana tidak, diawali dari tanggal 2 Mei-nya Ki Hajar Dewantara bapak Hari Pendidikan Nasional dan fakta bersaksi bagaimana kualitas pendidikan Indonesia keseluruhan dari masa ke masa lebih didominasi kebijakan politik yang ‘semelekete’ minim keberpihakan pada kulaitas SDM anak bangsa. 2 Mei 1998 platform ‘Reformasi’ total gencar di suarakan putra-putri bangsa seantero Indonesia. 12 Mei 1998 Kerusuhan Mei anti Orde Baru disamping 9 Harga pokok tak terjangkau rakyat kecil yang berakhir Chaos dimana-mana. 10 tahun lalu atau 13 Mei 98 Tragedi penembakan Mahasiswa Trisakti dan dirangkai dengan peristiwa Semanggi I dan II. 14 Mei 98’ Almarhum Presiden Soeharto lengser ke prabon alias mengundurkan diri dari tampuk kekuasaan setelah 32 tahun berkuasa bada’ didesak mundur jutaan rakyatnya dan anehnya diserahkan kepada produk orde baru juga, sang jenius Indonesia, BJ. Habiebie. Dan 20 Mei 1908–2008 atau 100 tahun lalu Kebangkitan Nasional di deklarasikan oleh 3 serangkai.

Bidikan kami hari ini adalah sang “Sarjana Muda”, agent of change & agent of control. Mengapa? 2 minggu lalu kami mendapat mata kuliah konstruksi tes, dosennya membahas ada 3 macam tipe Mahasiswa-i, pertama, Mahasiswa/i yang benar-benar menikmati dan menguasai matakuliah terlepas dari nilai yang keluar nanti A/B/C/D hingga menjadi Master atas bidang yang digelutinya. Kedua, Mahasiswa/i yang mengikuti mata kuliah agar segera lulus dengan ukuran nilai yang didapat dari dosen, dengan cara beragam. Ketiga, Mahasiswa/i yang penting kuliah alias menggugurkan kewajiban belajar sepanjang hayat.

Jujur, hari ini kami pun takut, bingung, cemas tak berdaya mau jadi nanti kami sesudah diwisuda nanti berbekal ijazah ditangan kanan dan toga di atas kepala berhiasakan baju kebesaran. Melihat bagaimana tingkah laku kami yang sembrono, slengekan, gendakan, awut-awutan, sekarepedewe dengan tugas yang begitu menggunung di depan mata untuk “FORMAT MASA DEPAN” Indonesia secara makro dan menyeluruh, menyentuh segala lapisan masyarakat.

Malu, pada diri, orangtua, kerabat, sahabat apalagi kepada Dzat Yang Maha Bijaksana Alloh SWT dengan label tertinggi yang telah diberikan untuk ‘para pendulang ilmu’. Terlepas ini khayalan tingkat tinggi ataupun kerja dimana saya nanti, gajinya berapa, fasilitasnya apa, wiraswasta atau karyawan berdasi di belakang meja, terserah!.

Tulisan ini hanya mencoba mengajak kita semua untuk re-fikir tentang apa sebenarnya yang kita cari dan tuju di bangku kuliah ini, selebihnya bisa anda lanjutkan kembali di fase berikutnya hingga Izroil as menjemput satu detik dari sekarang.

Mengaitkan sebuah teks lagu dengan kenyataan di lapangan kehidupan tidaklah mudah. Tetapi itulah yang dilakukan oleh Iwan Fals, individu yang mampu menghipnotis jutaan OI (orangnya Iwan) untuk setia mendendangkan sekaligus mematri bait-bait Iwan Fals didada, untuk kemudian berusaha mengaplikasikannya di ranah kehidupan langsung.

Bukan untuk menyindir siapapun, atau menyudutkan individu, kelompok bahkan pemerintah dan birokrasi manapun. Sarjana muda detik ini langsung/tidak telah menjadi masalah akut bagi pemerintah khususnya, setiap setengah tahun sekali antara bulan maret-mei dan September-oktober jutaan Mahasiswa/i diwisuda oleh lembaga pendidikan formal atau non formalnya masing-masing dengan tujuan untuk mencerahkan arah kehidupan Indonesia. Namun yang terjadi luar biasa terbalik, pengangguran, kejahatan, korupsi, dsb semakin merajalela di Buser, Sergap, Borgol ataupun diparodikan ala Tangkap di ANTV setiap hari, bahkan seringkali di depan mata kita sendiri jebolan lembaga pendidikan bonafide melahirkan koruptor kelas kakap/paus.

Mengapa semua itu terjadi? lemahnya mentalkah, salah niat, miskin motivasi, tak ada lapangan pekerjaan, jauh dari agama atau tanpa ideologi pasti, fakir kreatifitas. Tak tahulah, yang jelas Iwan Fals menciptakan lagu ini, jauh sebelum acara wisuda ini dilaksanakan. Jadi marilah kita berdoa dan berusaha agar Alloh SWT selalu memberikan detik demi detik hujan rohman-rohim-Nya pada kita wisudawan-wisudawati dan calon wisudawan-wisudawati di masa mendatang Indonesia & Pelestina serta Dunia. Wa’allahu A’lam Bisshowab

3 Mei 2008

Djibril Ahmad

PSIKOLOGI LIRIK 2

KEMBALI KE TIMUR

oleh: Ahmad Band

Datanglah Sebagai Dirimu Bawa Jiwa

Sanubari Yang Tak Terasa Butakan Hati

Iblis Berbentuk Manusia Butakan Hati

Mengajak Kita Untuk Berdansa Lewat Nada

Sejatinya Jiwa Tak Mati Dimakan Zaman

Kembali Ke Timur

Bukan Barat Yang Selalu Dituju

Pemadat Dijadikan Panutan

Bukan Al Gazali

Idiologi Setan Disebarkan

Menghimpun Massa Yang Lapar

Datanglah Sebagai Dirimu Bawa Nilai

Rasa Nurani Yang Hilang Tuntaskan Hati

Datanglah Sebagai Dirimu

Timur Yang Selalu Dituju

Jujur, kita sebagai mahasiswa hari ini layaknya jasad tanpa nyawa alias mati. Sebab pasca era aktivis mahasiswa 98’ yang sukses memperankan dirinya sebagai agen perubahan dan pengontrol kepincangan-kepincangan seluruh aspek kehidupan bangsa yang dimotori oleh rezim Orde Baru. Taji mahasiswa detik ini seakan tumpul digerogoti ulahnya sendiri yang lambat-laun kehilangan jati dirinya sebagai mahasiswa, anak bangsa, generasi penerus atau harapan terdepan masyarakat Indonesia.

Lirik diatas subyektif kami munculkan, itu lebih kepada bagaimana cara kami menawarkan solusi ringan kepada diri saya sendiri untuk mengawali sebuah langkah kecil untuk kembali ke trek sebenarnya yakni gerakan perubahan sosial nyata bagi diri, keluarga, lingkungan dan bangsa Indonesia khususnya.

Album yang bertitle “Ideologi, Sikap, Otak” karya Ahmad Band, yang digawangi oleh Ahmad Dhani (vocal/keyboard), Pay (Gitar), Bongki (Bass), Bimo (Drum) yang rilis saat reformasi 1998 ini terang-terangan menyerang kebijakan rezim Orde Baru dan ketimpangan-ketimpangan lainnnya. Dari tema dan cover album pun kita bisa menebak bahwa isi materi lagu yang dinyanyikan adalah kritikan tajam terhadap pemerintahan presiden Soeharto yang perkasa dan otoriter (32 tahun) membungkam kran kemerdekaan berpendapat rakyatnya sendiri yang berujung tumbangnya rezim ini oleh pendudukan mahasiswa dan rakyat Indonesia di gedung DPR/MPR 1998, sesuai dengan pendapat .

Namun kedikdayaan ilmiah mahasiswa lewat ide segar, karya cemerlang, akhlaqul karimah, serta kontribusinya seakan luntur, manakala kita lihat sekeliling kita sekarang. Dalam konteks UIN Malang, Mahasiswa baru selalu berkobar semangatnya saat OSPEK berlangsung hingga beberapa bulan kemudian, setelah itu mereka akan mulai terkontaminasi oleh lingkungannya yang miskin Ideologi, Sikap, dan Otak.

Miskin ideologi sebab ia gadaikan idealismenya dengan segudang fasilitas yang didapatnya dari orang tua, berupa uang berlimpah, pulsa full, kongkow atau cangkruk tanpa tema yang jelas namun, spesifiknya mendahulukan urusan perut daripada ngeces (Jawa: Mengisi) kognisi dan hatinya dengan teguk demi teguk pengetahuan dan agama. Akibatnya pengetahuan yang masuk terkadang hanya lewat begitu saja, ironisnya kita lebih barat dari orang barat sendiri, seperti saat wacana filsafat modernisme telah usang di Eropa ataupun Amerika, malah kita masih sibuk berdebat tentang hal basi itu. Padahal kita punya ideologi pribumi sendiri, entah manuskrip-manuskrip terdahulu yang masih relevan, layakanya Ihya Ulumuddin Al-Ghazali, Fihi Ma Fihi Ar-Rumi, Ilmu kedokteran Ibnu Sina, kitab-kitab Fiqih Imam Syafi’i, karya-karya Syekh Nawawi Al-Bantani yang lebih cocok di adaptasi di dunia Timur pun juga tak menutup kemungkinan di Barat. Al-muhafazhah ‘ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah (memuliakan/mempertahankan nilai-nilai lama yang baik dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik), dimana Islam datang sebagai rahmat untuk sekalian alam.

Artinya, ketika masuk UIN Malang dengan embel-embel Islamnya kajian tentang karya-karya abad pertengahan hingga penghujung abad 20 harus digalakkan, agar jurang pemisah peradaban tidak semakin melebar. Sebab, bagaimanapun juga, Barat sampai kapanpun tak akan mengakui Al-Qur’an dan Hadis sebagai rujukan utama yang mereka yakini kelimiahannya secara terang-terangan, kecuali mereka yang telah mendapat hidayah. Dan bukan berarti kita menutup mata dari karya-karya tokoh Barat, tetapi obyektiflah, jangan silau dengan Barat yang baru berumur satu abad lebih, dan bukan pula kita bernostalgia dengan zaman Islam berjaya di Bagdad, Andalusia, India, Turki, dan seterusnya. Namun lebih bagaimanapun Timur adalah Timur dengan berjuta mutiara tak tersentuhnya yang sesegera mungkin untuk digali, ditemukan, diangkat, dibersihkan, disepuh, disebarkan ke seantero jagad keindahannya, layaknya berlian termahal yang pernah ada. Apalad ked ked ked ked ked ked ked ke karena trauma atas monopoli gereja yang sewenang-wenang kepada ilmuwan yang berjasa menemukan teknoligi baru, dimana agama dijadikan kedok untuk memberangus arus yang melawan ketetapan gereja. Dan hal itu tidak pernah terjadi dalam sejarah peradaban Islam.

Miskin Sikap terjadi, karena panutannya bukan Al-Ghazali kata Ahmad Dhani, faktanya poster Bob Marley lebih menghiasi kamar kita dari pada Bung karno, Jendral Sudirman, Pangeran Diponegoro ataupun tokoh lokal daerah kita. Pokoknya yang berbau luar negri kita anggap The Best dan Perfect dari pada produk bumi pertiwi, entah mengapa?. Akibatnya, kita ataupun saya juga lupa apa isi sumpah pemuda 1928 yang menggegerkan dunia itu. Dan kita tak perlu marah ketika keris, batik, reog, tempe diklaim milik negara lain, lha wong pemudanya malu pakai batik sendiri atau menunjukkan pada dunia identitas sosial bangsanya, kasep!. Padahal kita pun tahu, bahwa ujung tombak perubahan zaman adalah pemuda-pemudi bangsa itu sendiri.

Miskin otak, sangat nampak, bisa kita lihat buktinya di perpustaan pusat kampus, mahasiswa-mahasiswi berbondong-bondong masuk perpus jelang UTS dan UAS atau tugas harian. Apalagi cara lebih instan telah ada, alias browsing depan kampus. Akibatnya, kelompok kajian diskusi-diskusi berjalan seperlunya, tidak istiqomah, cenderung cepat bubar ditengah jalan. Sebab yang kami ketahui, tokoh besar lahir karena sewaktu menjadi pelajar atau mahasiswa mereka memiliki kelompok kajian kecil plus berbakti pada orang tua dan gurunya, hmmm, tips ringan yang langka dilakukan.

Tidak perlu termehek-mehek jika Indonesia dianggap sebelah mata oleh dunia Internasional, jika semakin hari kita hanya terlena dengan keperkasaan Majapahit, Sriwijaya, Demak dan sebagainya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tinggi peradaban karya sastranya. Dan bangsa yang besar adalah bangsa yang memiliki akhlaq mulia.

Keberadaan OMIK (organisasi mahasiswa intra kampus) dan OMEK (organisasi ekstra kampus) adalah wahana terstruktur yang sejak dulu lahir dan melahirkan tokoh-tokoh ndepen nasional dan intenasional, tanpa mengecilkan peran organisasi ndependent lainnya. Semuanya akan memberikan kontribusi kongkrit jika kita kembali membaca, menghayati dan mengamalkan visi serta misi ataupun ­khittah (hakikat) berdirinya suatu organisasi. Jika itu tidak dilakukan, kita akan semakin teralienisasi oleh keputusan dan kebijakan yang kita ambil sendiri, karena kita sedang berjalan ke Timur bukan ke Barat.

J. Abdillah

RESENSI BUKU


Ledakan “Laskar Pelangi”

Andrea Hirata: “Seorang sastrawan itu haruslah seorang ilmuwan.”

Dalam tulisannya Sain, Sastra, Keraguan. Nirwan Ahmad Arsuka [Esei-esei Bentara Kompas, hal 337-349, 2002] menulis, bentuk hubungan paling menakjubkan antara sains dan sastra, terbentang pada karya-karya Jorge Luis Borges. Penulis Argentina ini mendapat perhatian dari komunitas ilmiah bukan karena ia bermain-main dengan sains, tetapi karena ia suntuk menggeluti sastra. Sambil terus-menerus berupaya menemukan (dan menciptakan) kembali sastra bagi dirinya, Borges bercerita tentang haptakptakptakptakptakptakptakptakikirkan dan diimpikan manusia. Di hampir seluruh karyanya, Borges terasa betul seperti ilmuwan sejati manghadapi diri dan dunia. Skeptisisme menjadi salah satu penuntun kerjanya. Dalam seri ceramah di Harvard yang dibukukan dengan tajuk This Craft of Verse, Borges mengaku bahwa selain kebingungannya, ia hanya menawarkan keraguan. Ia terus-menerus meragukan pencapaian mediumnya, sebagaimana ia meragukan alam semesta dan dirinya sendiri. Keraguan Borges yang kekal adalah keraguan yang terkendali, yang tak terlalu boros hingga melumpuhkan imajinasi.

Ada banyak hal yang ditawarkan oleh karya sastrawan buta yang punya wawasan luas dan tajam ini. Pusat studi Borges di Universitas Aarhus, Denmark, mencatat sejumlah mutiara yang tersimpan dalam naskah-naskah Borges. Selain ontologi-ontologi bahasa utopia, sejarah semesta yang beraneka ragam, deskripsi binatang-binatang khayal yang logis, etika naratif, matematika imajiner, thriller teologis, bentuk-bentuk geometris noltagis, dan ingatan-ingatan yang diciptakan. Diatas semua itu adalah filsafat yang diterima sebagai kebingungan, pemikiran sebagai konjektur, dan puisi sebagai bentuk terdalam rasionalitas.

Karya-karya Borges menunjukan bahwa sastra yang bermutu, seperti juga karya-karya besar cabang seni lain, bukan hanya dapat melampaui penciptanya. Karya-karya besar itu juga bisa mendahului jangkauan dahsyat pengetahuan ilmiah.

Sebenarnya yang ingin saya tuliskan sebelum meresensi inti cerita dalam novel Laskar Pelangi adalah, persis ungkapan Andrea Hirata diatas dan jalan yang dipilih oleh Jorge Luis Borges. Intinya siapapun dia, dari mana asalnya menulislah, ilmuwan disini juga bermakna luas dan dalam sekali hakikatnya, karena saya sendiri yakin, manusia yang belum mengecap bangku pendidikan formal bukan berarti dia bukan ilmuwan yang menemukan sesuatu. Contoh kongkritnya adalah Bob Sadino, Mahar dan Lintang, ataupun mereka-mereka yang belum terekspose media masa. Subyektif memang, namun pendidikan formal dan non formal bukan momok besar apakah seseorang pantas disebut ilmuwan atau tidak. Terpenting adalah apakah dia mampu menuliskan atas apa yang telah ditemukannya itu menjadi bait-bait indah yang dibungkus sains dalam bentuk sastra hinga bisa di apresiasi generasi seangkatan atau sesudahnya untuk menunjukkan bahwa dia ada. Terserah orang menyebutnya ilmuwan atau pecundang

Pada sebuah kesempatan di Kampus Universitas Widya Mandala (UWM) Surabaya, Sabtu (2/3). Andrea Hirata sebagaimana dikutip Kantor Berita Antara, mengemukakan, sebetulnya menulis karya sastra yang laris itu kuncinya adalah: isinya kontekstual, bukan tekstual. Karena itu, orang yang menekuni ilmu di luar sastra memiliki peluang banyak untuk menghasilkan karya yang bisa dibaca banyak orang.

"Karena itu, seorang sastrawan itu haruslah seorang ilmuwan. Untuk menghasilkan karya yang bagus itu kita juga harus melakukan riset dan riset. Rhoma Irama saja membuat lagu memakai riset kok," kata lulusan S2 sebuah universitas di Sorbone, Perancis, itu seraya mendendangkan lagu Rhoma Irama yang menceritakan jumlah penduduk Indonesia itu.

Selanjutnya Andrea mengemukakan, kisah dan hal-hal yang ada di dalam novel Laskar Pelangi tidak hanya hal-hal yang ia pikirkan, melainkan juga banyak hal yang ia rasakan. Hal itu, menurut dia, merupakan bentuk komunikasi penulisnya dengan pembaca.

Membingkai isi novel super bestseller tetralogi Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov, hemat kami bukan suatu perkara yang mudah. Butuh berjam-jam bahkan berhari-hari atau lebih untuk mengukirnya menjadi sebuah pesan yang begitu berharga dalam akal-hati-jiwa kita. Karena saat kita mulai membuka gerbang lembar demi lembar halaman mozaik Laskar Pelangi, seolah-olah kita baru saja menginjakkan kaki di dunia lain yang penuh dengan metafora kehidupan yang dibungkus ilmu pengetahuan.

Sangat setuju sekali saya dengan komentar Ahmad Tohari dan tokoh-tokoh Indonesia yang menjuluki Andrea Hirata: Seniman kata-kata yang mampu menyihir jiwa pembacanya. Sebab setiap jengkal kata-kata yang dipakai Andrea adalah ilmu pengetahuan yang disenergikan dan divisualisasikan dengan diksi sastra yang luar biasa.

Membaca Laskar Pelangi seperti belajar kembali tentang Filsafat, Fisika, Geometri, matematika, tafsir, fisika, biologi, bahasa, sastra, humaniora, psikologi, sosiologi, sejarah, kesenian, aqidah akhlaq, ekonomi, antropologi, botani, kimia, pendidikan, petuah bijak, hasil observasi, kontemplasi pribadi dan sebagainya secara bersamaan, dalam satu buku yang diungkapkan dengan begitu sederhana, tidak menggurui dan mengalir, karena kita akan belajar serta berpetualang dengan hal-hal baru yang selama ini kita lewatkan, subyektif memang pendapat ini. Tapi itu bisa Anda buktikan lewat catatan ringkas tak sistematis ini dalam bentuk argumen, pertanyaan, pernyataan, celoteh, teori sederhana. Dan tentunya dengan pemaknaan versi Anda sendiri setelah membaca novelnya. Seperti; “…And to every action there is always an equal and opposite or contrary, reaction…/Isaac Newton/1643-1727”. “Pelajaran moral pertama, jika tak rajin sholat maka pandai-pandailah berenang [kisah kaum Nabi NUH As], nomor dua; jangan tanyakan nama dan alamat pada orang yang tinggal dikebun [A Kiong-M. Jundullah Gufron Nur Zaman]”, Pelajaran moral no.4 adalah ternyata nasib yang sangat misterius itu adalah seorang pemandu bakat. Pelajaran moral no.5; jangan bersahabat dengan orang gila perdukunan [Mahar]”. “Dilarang masuk bagi yang tidak memiliki hak”. “Memegang amanah sebagai pemimpin memang berat, tapi jangan khawatir banyak orang yang akan mendoakan. Tidakkah ananda sering mendengar di berbagai upacara petugas sering mengucap doa: ‘Ya Alloh lindungilah para pemimpin kami? Jarang sekali kita mendengar doa: Ya Alloh lindungilah anak buah kami..”.


Tokoh-tokoh Utama Laskar Pelangi: Lintang, Mahar, Borek/Samsons, Sahara, Trapani, Keriting/Ikal, A kiong, Harun, Kucai, Syahdan, Florina tomboi, Bapak K.A. Harfan Efendy Noor, dan Ibu Muslimah Hafsari.

Ledakan kisah ini bermula saat Ikal diantarkan ayahnya ke SD Muhammadiyah di Belitong. Demi mendapatkan sesuap ilmu yang mahal untuk anak-anak kuli tambang, Ikal disekolahkan disana. Berbekal revolusi semangat dan mimpi-mimpi mahal yang harus dibangun dan dibuktikan di masa depan.

Pertemuan anggota laskar pelangi yang menjadi lakon novel realita plus bumbu imajinatif ini yang membuat suguhan dahsyat dalam kenyataan sebenarnya dan khayalan pembaca novel yang seakan hanyut, larut, seolah-olah menjadi bagian dari salah satu anggota laskar pelangi dengan beragam karakter uniknya. Sekaligus pembaca bisa bercermin atas fakta yang ditulis dalam talian huruf demi huruf yang ditorehkan Andrea Hirata.

Layaknya tokoh ‘Mahar’ sang jenius otak kanan yang selalu membuat debutan-debutan baru seni dan metafisika diluar pembelajaran ibu Muslimah ataupun ajaran pak Harfan. Seperti saat Mahar menemukan tarian suku Afrika beserta tetabuhannya ketika kondisi keuangan SD Muhammadiyah yang tak mampu memanjakan para siswanya dengan fasilitas memadai guna menaikkan wibawa serta prestise mereka ditengah-tengah kepungan SD-SD mapan lainnya di belitung. Atau saat Mahar melakukan ekspedisi nekat bersama Flo ke pulau Lanun untuk menemui dukun sakti agar dapat lulus ujian.

Ada satu tokoh keren lagi menurut saya selain Lintang, yakni Bodenga si pawang buaya. Dengan segala keterbatasan dan kelebihannya, ia memberikan pada kita potret bahwa masih ribuan Bodenga-bodenga yang lain tersebar dari Sabang-Merauke yang mencintai alam dan seisinya tanpa pamrih. Tanpa melihat apakah Bodenga menyembah buaya, Islam, Katolik atau seterusnya. Ketulusan jiwanya tanpa batas untuk melindungi makhluk Tuhan yang bias kita renungkan dan tiru selamanya, karena Bodenga punya taste atau soul disbanding kita yang menganggap dirinya beradab, anti kemapanan, anti global warming dsb.

Yang bisa saya rangkai dari kisah novel ini berpijak pada tokoh-tokoh utama Laskar Pelangi. Dimulai dari ibu Muslimah yang menjadi inspirator seluruh anggota Laskar Pelangi, khususnya Ikal si Andrea Hirata. Bu Muslimah yang begitu pantang menyerah untuk memberikan the best of the best seluruh kemampng mng mng mng mng mng mng mng mihi dirinya menembus zaman dan impiannya masing-masing. Seperti saat beliau menunggu Harun si anggota Laskar Pelangi terakhir, kunci masa depan SD Muhammadiyah.

Kemudian Pak Harfan yang berwibawa, pemimpin sekaligus bapak sejati dan panutan seluruh elemenSD Muhammadiyah dari masa ke masa. Ketiga adalah Lintang, murid yang luar biasa, entah stoknya masih ada apa tidak atau menunggu ratusan tahun lagi untuk memunculkan siklus generasi ajaib kemudian diseluruh SD/ MI Indonesia. Ikal alias Andrea Hirata, sang penerus dan pengemban amanat panjang laskar pelangi, SD Muhammadiyah dan Belitung Island tentunya. Borek atau Samsons Belitong, Sahara bidadari hiperaktif yang baik hati sebenarnya, Trapani si ganteng anak mama, A kiong cinta dan format masa depan Sahara, Harun anak kecil yang terjebak pada tubuh orang dewasa sekaligus the savior of lascar pelangi, Kucai sang politikus idealis, Syahdan pemalas yang setia kawan, Florina tomboy yang realistis dan anti kemapanan.

Kelemahan novel ini adalah klise dan subyektif memang, menurut saya latarbelakang budaya Andrea Hirata yang asli Belitong, kental dengan bahasa melayu yang membuat novel ini mendayu-dayu dan terkesah berlebihan. Tapi itupun telah tertambal dengan diksi kata demi kata yang dipilih sehingga pembaca tak merasa bosan untuk menuntaskan membacanya.

Menarik novel ini ke dimensi psikologi yang bisa saya potret adalah, upaya Andrea Hirata untuk memacu semangat pembacanya untuk menggapai cita-cita masing-masing secara optimal melalui syukur atas segala nikmat yang telah dianugerahkan Sang Maha Alim, khususnya lewat dunia pendidikan [membaca & menulis yang bermanfaat]. Sebagaimana kita ketahui novel ini terlahir sebagai bentuk persembahan dan ungkapan terimakasih tak terhingga seorang murid pada gurunya, Ibu Muslimah, Bapak Harfan dan para anggota Laskar Pelangi yang begitu melekat dan menjadi inspirator nyata perjuangan meraih mimpi-mimpi Ikal dari tanah Belitong ke Sorbone Prancis, terutama untuk sahabat jeniusnya, Lintang. Hirata mampu me-recall memori-memori masa kecilnya hingga dewasa, dari sudut pandang anak-anak menjadi novel bertenaga/beryoni/berdaya magis seperti Laskar Pelangi sampai Maryamah Karpov yang ditunggu. Dari sebuah realita yang dilukis dengan cantik menjadi mahakarya imaji yang membuat orang lain menangis, tertawa, bersyukur, terenyuh sekaligus iri dengan kisahnya secara bersamaan. Dengan bahasa yang penuh warna sastra-saintifik menurut Hernowo. Terakhir, jangan lupa meskipun secara fisik dan mental kita telah dewasa, tapi kadangkala kita seolah-olah lupa bahwa kita juga pernah menjadi dan melewati masa menjadi manusia-manusia kecil dengan langkah-langkah ringan yang bahagia disetiap detiknya, sehingga seringkali kita memaksa adik, sahabat, anak atau pun orang lain menjadi seperti kita yang sok dewasa.

13/14 April 08 Rumah Teduh Tinta Langit

DIBUANG SAYANG:

“…And to every action there is always an equal and opposite or contrary, reaction…/Isaac Newton/1643-1727”.

“Pelajaran moral pertama, jika tak rajin sholat maka pandai-pandailah berenang [kisah kaum Nabi NUH As], nomor dua; jangan tanyakan nama dan alamat pada orang yang tinggal dikebun [A Kiong-M. Jundullah Gufron Nur Zaman]”, Pelajaran moral no.4 adalah ternyata nasib yang sangat misterius itu adalah seorang pemandu bakat. Pelajaran moral no.5; jangan bersahabat dengan orang gila perdukunan [Mahar]”.

“Dilarang masuk bagi yang tidak memiliki hak”.

“Memegang amanah sebagai pemimpin memang berat, tapi jangan khawatir banyak orang yang akan mendoakan. Tidakkah ananda sering mendengar di berbagai upacara petugas sering mengucap doa: ‘Ya Alloh lindungilah para pemimpin kami? Jarang sekali kita mendengar doa: Ya Alloh lindungilah anak buah kami..”.

Ini tentang keteguhan, pendirian, ketekunan, dan keinginan kuat untuk mencapai cita-cita; “bahwa hidup bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesama”.

“Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya”.

“Ibu adalah pusat gravitasi”[Trapani-kota pantai di Sisilia].

PENGECUALIAN DARI SISTEM [HARUN] GA PUNYA RAPOT karena keterbelakangan mental, dan selalu bertanya, “KAPAN KITA LIBURAN LEBARAN ibunda guru?”.

“GILA ITU ADA 44 MACAM, ”kata ibuku seperti seorang psikiater ahli sambil mengunyah gambir dan sirih. “Semakin kecil nomornya semakin parah gilanya, beliau menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatapku seperti sedang menghadapi seorang pasien rumah sakit jiwa. Maka orang-orang yang sudah tidak berpakaian dan lupa diri di jalan-jalan, itulah gila no.1, dan gila yang kau buat dengan bola tenis itu sudah bisa masuk no.5. Cukup serius! Hati-hati, kalau tak pakai akal sehat dalam setiap kelakuanmu maka angka itu bisa segera mengecil.”

Fisika tidak mempertimbangkan “psywar” ketika bertemu denganBUAYA ganas.

Beliau terkagum-kagum, bagaimana bisa baca tulis mengubah masa depan seseorang?.[ibu Lintang yang buta huruf].

“Kebodohan berbentuk seperti asap, uap air, kabut, dan ia beracun. Ia berasal dari tempat yang namanya tak pernah dikenal manusia. Jika ingin menemui kebodohan maka berangkatlah dari tempat dimana saja planet biru ini dengan menggunakan tabung roket atau semacamnya, meluncur ke atas secara vertikal, jangan pernah sekalipun berhenti”.

“Gapailah gumpalan awan dalam lapisan troposfer, lalu naiklah terus menuju stratosfer, menembus lapisan ozon, ionosfer, dan bulan-bulan di planet yang asing. Meluncurlah terus sampai ketinggian di mana gravitasi bumi sudah tak peduli. Arungi samudra bintang gemintang dalam suhu dingin yang mampu meledakkan benda padat. Lintasi hujan meteor sampai tiba di eksosfer-lapisanpaling luar atmosfer dengan bentangan selebar 1.200 km, dan teruslah melaju menaklukan langit ketujuh. Diatas langit ketujuh, disitulah kebodohan bersemayam. Rupanya seperti kabut tipis, seperti asap cangklong, melayang-layang pelan, memabukkan. Maka jika kita tanyakan sesuatu pada orang-orang bodoh, mereka akan menjawab dengan meracau, menyembunyikan ketidaktahuannya dalam omongan cepat, mencari beragam alasan, atau membelokkan arah pertanyaan. Sebagian yang lain diam terpaku, mulutnya terngaga, ia diselubungi kabut dengan tatapan mata yang kosong dan jauh. Kedua jenis reaksi ini adalah akibat keracunan asap tebal kebodohan yang mengepul di kepala mereka. Langit ketujuh adalah metafora dari suatu tempat di mana manusia tak bisa mempertanyakan Dzat-dzat Alloh. Setiap usaha mempertanyakannya hanya akan berujung dengan kesimpulan yang mempertontonkan kemahatololan sang penanya sendiri, dimana Arasy-disitulah tergelar Lauhul mahfuzh”.

“Kelemahan lintang sang jenius otak kiri, aku tak yakin apakah hal itu bisa disebut kelemahan, adalah tulisannya yang cakar ayam tak keruan, tentu karena mekanisme motorik jemarinya tak mampu mengejar pikirannya yang berlari sederas kijang”.

“Tafsir surah Ar-Rum tentang Adnal ardli: tempat yang dekat atau negeri yang terdekat dalam arti harfiah, dan tempat yang paling rendah itu di bumi adalah Byzantium atau Konstantinopel, Roma Timur”.

“Ternyata jika hati kita tulus berada didekat orang berilmu, kita akan disinari pancaran pencerahan, karena seperti halnya kebodohan, kepintaran pun sesungguhnya demikian mudah menjalar”.

“Orang cerdas memahami konsekuensi setiap jawaban dan menemukan bahwa di balik sebuah jawaban tersembunyi beberapa pertanyaan baru. Pertanyaan baru tersebut memiliki pasangan sejumlah jawaban yang kembali akan membawa pertanyaan baru dalam deretan eksponensial. Sehingga mereka yang benar-benar cerdas kebanyakan rendah hati, sebab mereka gamang pada akibat dari sebuah jawaban. Konsekuensi-konsekuensi itu mereka temui dalam jalur-jalur labirin, jalur yang jauh menjalar-jalar yang tak dikenal di lokus-lokus antah berantah, tiada berujung. Mereka mengarungi jalur pemikiran ini, tersesat jauh didalamnya, sendirian”.

“Godaan-godaan besar bersemayam di dalam kepala-kepala orang cerdas. Di dalamnya gaduh karena penuh dengan skeptisisme. Selesai menyerahkan tugas kepada dosen, mereka selalu merasa tidak puas, selalu merasa bisa berbuat lebih baik dari apa yang telah mereka presentasikan. Bahkan ketika mendapat nilai A plus tertinggi, mereka masih saja mengutuki dirinya sepanjang malam”.

“Orang cerdas berdiri di dalam gelap, sehingga mereka bisa melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain. Mereka yang tak dipahami oleh lingkungannya, terperangkap dalam kegelapan itu. Semakin cerdas, semakin terkucil, semakin aneh mereka. Kita menyebut mereka: orang-orang yang sulit. Orang-orang sulit ini tak berteman, dan mereka berteriak putus asa memohon pengertian. Ditambah sedikit saja dengan sikap inrovet, maka orang-orang cerdas semacam ini jarang berakhir disebuah kamar dengan perabot teduh dan musik klasik yang terdengar lamat-lamat, itulah ruang terapi kejiwaan. Sebagian dari mereka amat menderita”.

“Sebaliknya, orang-orang yang tidak cerdas hidupnya lebih bahagia. Jiwanya sehat walafiat. Isi kepalanya damai, tentram, sekaligus sepi, karena tak ada apa-apa disitu, kosong. Jika ada suara memasuki telinga mereka, maka suara itu akan terpantul-pantul sendirian di dalam sebuah ruangan yang sempit, berdengung-dengung sebentar, lalu segera keluar kembali melalui mulut mereka”.

“Jika menyerahkan tugas, mereka puas sekali karena telah berhasil memenuhi batas akhir, dan ketika mendapat nilai C, mereka tak henti-hentinya bersyukur karena telah lulus”.

“Mereka hidup di dalam terang. Sebuah senter menyiramkan sinar tepat di atas kepala mereka dan pemikiran mereka hanya sampai pada batas lingkaran cahaya senter itu. Di luar itu adalah gelap. Mereka selalu berbicara keras-keras takut akan kegelapan yang mengepung mereka. Bagi sebagian orang, ketidaktahuan adalah berkah yang tak terkira”.

“Aku pernah mengenal berbagai orang cerdas. Ada orang jenius yang jika menerangkan sesuatu lebih bodoh dari orang yang paling bodoh. Semakin keras ia berusaha menjelaskan, semakin bingung kita dibuatnya. Hal ini biasanya dilakukan oleh mereka yang sangat cerdas. Ada pula yang kurang cerdas, bahkan bodoh sebenarnya, tapi kalau bicara ia terlihat paling pintar. Ada orang yang memiliki kecerdasan sesaat, kekuatan menghafal fotografis, namun tanpa kemampuan analisis. Ada orang yang cerdas tapi berpura-pura bodoh, dan lebih banyak lagi yang bodoh tapi berpura-pura cerdas”. [Laskar Pelangi: 113-Langit ketujuh]

Keriting [A Hirata] bingung dengan 16 tenses Bahasa Inggris kemudian dia curhat pada Lintang, masalahnya adalah ketika Keriting atau Ikal sudah berada dalam sebuah narasi, dia kehilangan jejak dalam konteks tenses apa ia berada? Pun ketika ingin membentuk sebuah kalimat, Keriting bingung. Jawab Lintang: “Memikirkan struktur dan dimensi waktu dalam sebuah bahasa asing yang baru saja kita kenal, tidak lebih dari hanya akan merepotkan diri sendiri. Sadarkah kau bahasa apapun di dunia ini, di mana pun, mulai dari bahasa Najavo yang dipakai sebagai sandi tak terpecahkan di perang dunia kedua, bahasa Gaelic yang amat langka, bahasa Melayu pesisir yang berayun-ayun, sampai bahasa Mohican yang telah punah, semuanya adalah kumpulan kalimat, dan kalimat tak lain adalah kumpulan kata-kata”. “Nah, kata apa pun, pada dasarnya adalah kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan. Ini bukan masalah bahasa yang sulit tapi masalah cara berfikir. Berangkatlah dari sana, pelajari bagaimana menggunakan kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan dalam sebuah kalimat Inggris. Belajar kata terlebih dulu, bukan belajar bahasa”. Itulah paradigma belajar bahasa Inggris versi lintang.

Argumenatsi lintang tentang teoeri Darwin: “Persoalannya adalah apakah Anda seorang religius, seorang darwinian, atau sekedar oportunis? Pilihan sesungguhnya hanya antara religius dan darwinian, sebab yang tidak memilih adalah opurtunis! Yaitu mereka yang berubah-ubah sikapnya sesuai situasi mana yang akan lebih menguntungkan mereka. Lalu pilihan itu seharusnya menentukan perilaku dalam menghargai hidup ini. Jika Anda seorang Darwinian, silahkan berperilaku seolah tak ada tuntutan akhirat, karena bagi Anda kitab suci yang memaktub bahwa manusia berasal dari Nabi Adam adalah dusta. Tapi jika Anda seorang religius maka Anda tahu bahwa teori evolusi itu palsu, dan ketika Anda tak kunjung mempersiapkan diri untuk dihisab nanti dalam hidup setelah mati, maka dalam hal ini Anda tak lebih dari seorang sekuler oprtunis yang akan dibakar di dasar neraka”.

Bakat laksana Area 51 di Gurun Nevada, tempat dimana mayat-mayat alien disembunyikan: misterius! Jika setiap orang tahu dengan pasti apa bakatnya maka itu adalah “utopia”. Sayangnya utopia tak ada dalam dunia nyata. Bakat tidak seperti alergi, dan ia tidak otomatis timbul seperti jerawat, tapi dalam banyak kejadian ia harus ditemukan.

Banyak orang yang berusaha mati-matian menemukan bakatnya dan banyak pula yang menunggu seumur hidup agar bakat atau dirinya ditemukan, tapi lebih banyak lagi yang merasa dirinya berbakat padahal tidak. Bakat menghinggapi orang tanpa diundang. Bakat main bola seperti Van Basten mungkin diam-diam dimiliki seorang tukang taksir di kantor pegadaian di Tanjong Pandan. Seorang Karl Marx yang lain bisa saja sekarang sedang duduk menjaga wartel di sebuah kampus di Bandung. Seorang kondektur ternyata adalah John Denver, seorang salesman ternyata berpotensi menjadi penembak jitu, atau salah seoarng tukang nasi bebek di Surabaya ternyata berbakat menjadi komposer besar seperti Zubin Mehta. Bakat layaknya mutiara yang tertelan kerang, tak pernah seorang pun melihat kilaunya, karena bakat seringkali harus ditemukan.

Kecerdasan spasial; cepat membayangkan wajah sebuah konstruksi suatu fungsi jika digerak-gerakan dalam variabel derajat seperti geometri multidimensional, dekomposisi modern menggunakan teknik poligon geometri Euclidsian. Kecerdasan experiental; piawai menghubungkan setiap informasi dengan konteks yang lebih luas dengan kapasitas metadiscourse layaknya para jenius. Kecerdasan linguistik; mudah memahami bahasa, efektif berkomunikasi, punya nalar verbal, dan logika kualitatif. Kemampuan descrtiptive power; skill menggambarkan sesuatu dan mengambil contoh yang tepat. Kecerdasan seni; berlimpahnya amunisi kreativitas, kapasiatas estetika yang tersimpan dalam lokus-lokus di kepalanya, imajinatif, aneh, lucu, ganjil, menggoda keyakinan. memberontak, segar, unik, menerobos dengan ide abstraknya.

Pada sebuah kesempatan, Andrea mengemukakan; “Sebetulnya menulis karya sastra yang laris itu kuncinya adalah: isinya kontekstual, bukan tekstual. Karena itu, orang yang menekuni ilmu di luar sastra memiliki peluang banyak untuk menghasilkan karya yang bisa dibaca banyak orang”.


CORET MORET 1


Menurut Karen Amstrong, Ali Syariati, secara menarik, mengaitkan Tuhan dengan Ka’bah. “Mengapa Ka’bah hanya berupa kubus sederhana, tanpa dekorasi dan ornament? Karena, kata Syari’ati, Ka’bah mewakili rahasia Tuhan di alam semesta: Tuhan tak berbentuk, tak berwarna, tanpa keserupaan, sehingga bentuk atau kondisi apapun yang dipilih, dilihat atau dibayangkan manusia, itu bukanlah Tuhan”.

Martin Buber [1878-1965] menyatakan bahwa hidup adalah dialog tanpa akhir dengan Tuhan, yang tidak membinasakan kebebasan atau kreativitas kita. Ini karena Tuhan tidak pernah menyatakan kepada kita tentang apa yang dituntut-NYa atas diri kita.

Ernst Bloch [1885-1977] menyatakan bahwa Tuhan sangat dibutuhkan bagi kondisi yang melingkungi manusia. Dia memandang Tuhan sebagai cita-cita manusia yang belum terwujud. Dalam bahasa P. Hernowo, karena kita harus hidup di masa depan, kita pun memerlukan Tuhan.

Max Horkheimer [1895-1973], apakah Tuhan ada atau tidak, atau seseorang “beriman kepada-Nya” atau tidak bukan merupakan persoalan. Tanpa ide tentang Tuhan takkan ada makna, kebenaran, atau moralitas mutlak: etika hanya menjadi soal selera, rasa, atau perilaku.

E.F Schumacher sang ekonom pro rakyat kecil, bilang bahwa “apabila ‘ruang spiritual’ yang ada pada diri kita tidak diisi dengan dorongan yang lebih tinggi, pastilah ruang itu akan penuh dihuni oleh sesuatu yang lebih rendah-sikap hidup yang kerdil, keji, dan kikir, yang ditutup-tutupi oleh kalkulus ekonomi”, aku sadar betapa butuhnya aku akan Tuhan.

“Take doubts and mockery as a leverage to strengthen our will and fight with our best ability. Prove to people that all dreams can come true”.

Hati adalah gudang kekayaan dimana misteri 4jj1 tersimpan, carilah manfaat kedua dunia melalui hati, karena memang disitulah intinya [Lahiji].

Bu Ira 031-8202219 [jawapos]. Gus Mus 081565200097, pak Zainul Arifin 0341-7327809, Mas Romi 08990358919, PP Bihaaru Bahri Asali Fadlaailir Rahman-Sananrejo-Turen [0341-828106], Kyai Bahru Mafdloluddin. Tyas Jufoc [081334713403].

Sang Pemimpi, I shall return to sky take cassanova Muhammad in The Heaven, Shollu Alannabi Ya Habiba4jj1.

Ijtanibussab’a almuubiqooti; as-syirkabillah, wasichra, wapotlannafsillatii charomallahu illa bilhaq, wa aqlariba, waaqlamaallilyatim, wattuwalli yaumazzachfi, waqodzfalmuhsonaatil ghoofilatil mu’minaati.

Menurut neorolog dan antropolog biloogi Harvard, Terrance Deacon, jika kita mampu menggunakan SQ , maka kita akan menumbuhkan otak manusiawi kita. SQ telah “menyalakan” diri kita untuk menjadi manusia seperti adanya sekarang dan memberi kita potensi untuk “menyala lagi”-untuk tumbuh dan berubah, serta menjalani lebih lanjut evolusi potensi manusiawi kita.

“Otak adalah alam semesta seberat hampir setengah kilo,” kata Marian C. Diamond, ahli neuroanatomi di Department of Integrative Biology, Universitas California.

“Otak Anda bagaikan raksasa tidur,” kata Tony Buzan.

“Manusia memiliki 3 macam otak yang disebut ‘triune brain’, yaitu neokorteks, otak tengah/sistem limbik, dan otak primitif”, kata Paul Maclean.

Salah satu produk hebat otak manusia adalah bahasa. Hanya makhluk bernama manusia yang dapat menunjukkan rasa bahagianya lewat bahasa. Dan manusia, sepertinya, hanya mampu mendapatkan Tuhannya melalui bahasa.


IQRA 1


Mengapa Harus Membaca?

Seorang tokoh Yahudi mengatakan; Kami tak akan pernah takut kepada umat Islam, karena mereka bukan umat yang membaca. Sepenggal cuplikan dari isi buku Spritual Reading[Hidup Lebih Bermakna dengan Membaca] karya monumental Dr. Raghib As-irjani-Amir Al-Madari, BUKANLAH SESUATU YANG DIBUAT-BUAT ATAU MAIN-MAIN, dulu-sekarang-nanti, penguasaanteknologi-informasi”pengetahuan”, mutlak dibutuhkan atau selamanya kita akan terus dijajah lewat ideologi, pemikiran, budaya asing yang menyesatkan. Pertanyaannya adalah mampukah kita menaklukkan diri kita untuk segera berdiri tegak diatas kaki sendiri, mulai dari membaca diri sendiri dan realita dunia seisinya sampai bisa membaca dalam arti yang sebenar2nya. Tips mudah membaca; merasa senang-nikmat dengan membaca”kunci”, temukan intisarinya belajar dari pengalaman pribadi-oranglain kemudian tulislah, mamfaatkan daftar isi, rujukan ide pengarang sekaligus mengetahuiseluk-beluk buku tersebut. 10 cara menumbuhkan minat baca; apa 7an anda membaca, menyusun perencanaan dalam membaca, mengatur waktu, step by step, totalitas membaca, teratur mengikat makna’menulis, buatlah perpustakaan dirumah, sampaikan apa yang anda baca, bantu orang lain membaca, ambillah ilmu dari ulama’pakarnya.. ”Bacalah dengan menyebut nama Rabb―mu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darh. Bacalah dan Rabbmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajarkan manusia dengan perantara kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”[Al-Alaq1-5). Artinya bukan fanatisme agama, ras, suku, bangsa, golongan yang ingin kita capai namun seyogyanya jika kita ingin membangun puing-puing moral bngsa Indonesia kembali berarti pertama yang harus dirombak adalah diri kita masing-masing, melalui bacaan-pembacaan yang tepat sebagai pengetahuan sekaligus tameng utama..060507 by Junaidi Abdillah

PADA SUATU KETIKA (CERPEN)


Jendral Wito

“Siapa namanya dik?,” tanya Selly pada salah satu sosok kecil di tengah-tangah lingkaran tubuh-tubuh mungil di bawah pohon melinjo, sebelah kiri rumah mbok Juminten. Wito kak tukasnya, sambil cengengesan1 menghadap ruang kosong disebelah kami. Bocah unik ini, terkenal paling betik2 di RT 5, Manding Sidowayah. Matanya yang bulat berbinar-binar, hidungnya pesek, kurang lebih tingginya satu meter, kulitnya putih dengan langkah setengah berjingkat saat berjalan, dan sebuah gelang hitam plastik melingkar di tangan kanannya, perlambangan kejantanannya.

Kuikuti saja forum perkenalan teman-teman PKL dengan anak-anak asli setempat dengan santai, ada Yuli, Ummah, Parmin, Wadi, Kuncung dan sebagainya selain Wito. Sekali lagi, Wito, menggoda kancane3 tanpa rasa bersalah sembari menghirup ingusnya yang sesekali meler4. Outbond5 perkenalan terus berjalan, mereka mengekspresikan dirinya tanpa harus dipaksa, itu memudahkan Tim PKL kami untuk mengidentifikasi anak-anak yang dianggap memiliki permasalah psikologis. Karena sebelumnya, dusun ini telah divonis oleh media massa sebagai dusun ‘idiot’ alias ‘mendo’6. Sehingga kami terpanggil untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat pada mereka disana, meskipun kecil sifatnya. Timbul dalam benakku tentang Wito, sesungguhnya anak ini mempunyai bakat memimpin, namun dia tidak pernah diberi kesempatan sahabat-sahabatnya untuk melakukan sesuatu yang berarti. Misalnya, setiap kali Wito berulah dia berani bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya. Kekonyolannya adalah seringkali mencoba untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, tapi yang terjadi ujung-ujungnya terapi humor gratis bagi kami, nasi campur bahasa Indonesia dengan Jawa. “Wit, dari mana kamu? dari ngeseng kak dengan lugasnya, tanpa mimik penyesalan. Dari hal inilah, yang mendorongku memanggilnya “Jendral Wito”, inspirasi dari tokoh Temon sang Jendral Kancil, tokoh utama dalam film perang kemerdekaan dulu.

Hampir setiap hari Wito dan kawan-kawan memetik buah belimbing yang masih hijau di halaman kanan mbok Juminten, entah apa enaknya, lha wong masih kecil-kecil diunduh7 dan dikruwes-kruwes8 oleh gigi-gigi muda mereka, tapi kayaknya mereka tetap asyik menikmati buah gratis diatas pohon. Padahal yang empunya selalu berteriak-teriak, “awas tibo yo engko!”9, tapi tetap saja mereka melakukan ritual rujak belimbing party.

Jelang Maghrib aku sendirian menuju sungai yang membelah Manding dan Mbedok, belum separuh jalan, tepat didepan rumah pak Gendut bapaknya Wito. Hal luar biasa tejadi, sesosok tubuh kecil berada diatas pohon kelapa sedang memeluk batangnya erat sekali. Dengan raut muka kelelahan dan ketakutan, mata bulat itu memandang bapak, ibu, dan adik kecilnya yang cantik dibawah, mereka memandang iba pada Wito di atas pohon. “Witoooo, ayo mudun! tak gepok yen ora mudun10. Entah apa yang sebenarnya terjadi, aku hanya bisa memandanginya dari kejauhan, harap-harap cemas jika tiba-tiba nanti Wito jatuh. Karena belum sholat Ashar, bergegas aku ke sungai, tak tahu endingnya bagaimana.

Dari cerita mulut ke mulut, Wito sebenarnya adalah anak pertama dari empat bersaudara. Dia memiliki dua orang adik laki-laki dan si bungsu, Winda namnya. Konon, adiknya yang nomor tiga meninggal setelah seminggu dilahirkan, sebab bapaknya pengangguran dan tak memiliki biaya bersalin ibu-adiknya. Akhirnya demi menyelamatkan masa depan keluarganya, adik Wito yang nomor dua diasuhkan kepada sepupu jauh ayahnya. Akibatnya masyarakatpun mencibir tindakan pak Gendut yang dianggap menyia-nyiakan putranya, mereka beralasan anak adalah rizki dari tuhan yang wajib dijaga, dan efek pararelnya Wito dan Winda sempat ikut-ikutan dikucilkan dari pergaulan sahabat-sahabat sepermainannya, ironi untuk anak sekecil Wito dan Winda.

Hari masih pagi, Jendral Wito telah duduk diberanda depan mbok Juminten. ‘Ono opo Wit?’tanyaku, lapar kak. Seperti ditampar mukaku, sangat malu, aku yang segede ini tak pernah kekurangan ransum makanan-minuman. Tiba-tiba ada bocah kecil kelaparan dihadapanku, kuambilkan sepiring tiwul dan lauk ala kadarnya sisa semalam. Dengan lahapnya dia menyantap porsi sederhana itu. ‘peng piro awakmu mangan sedino Wit?’, sambil menikmati sarapan paginya yang hilang, ia mengacungkan telunjuknya. Selly, Didan dan teman-teman PKL-ku tak mampu berkata-kata lagi, sebab fokus kami di dusun ini adalah memberikan solusi pskologis bukan materi, pun juga kita tidak membawa lebih perbekalan untuk keluarga yang tidak mampu.

Bada’ Ashar sekitar pukul 4 sore, Wito dan sahabat-sahabatnya telah berkumpul di rumah mbok Juminten yang luas dan lebar, khas Joglo Jawa. Mereka akan belajar bersama mengulang maa pelajaran disekolah pagi tadi. Sekardus besar berisi buku-buku bacaan dari perpus keliling kota telah tersedia dipojokan rumah klasik ini. Mbok Juminten sesekali memandangi kami dari balik ruang sentong tengah11-nya dengan penuh harapan pada generasi muda dusun ini. Walaupun buta huruf, mbok Juminten sukarela menerima kami di gubuknya untuk dijadikan markas PKL. Wito, Ummah, yuli, Parmin, dan sekitar 17 anak lainnya, tenggelam dalam mistik buku yang begitu dirindukan dan membius alam bawah sadar mereka. Buku bagaikan air di puncak gunung Rajegwesi yang gersang saat Agustus, panasnya menembus ubun-ubun kepala, saat titik-titik hujan turun, hijaulah semua hamparan karpet padang wono12 dan baon13. Sampai-sampai kami kewalahan untuk menyuruh mereka pulang, sebab adzan Maghrib telah mengalun dari masjid Sirothol Jannah.

“Nabil, mana handuk kecilmu? tanya Selly, Wito badannya panas.” Kuberikan segera handuk kecilku pada Selly, terbayang langsung rumah keluarga Wito yang tak dihiasi satupun lampu listrik, dinding-dinding gedek14 yang pastinya tertembus udara malam yang menusuk palung sum-sum, lamat-lamat kulihat lampu oblek15, made in pak Gendut mungkin, menari-nari sesuai perasaan angin. Alhamdulillah, Wito paginya sudah bisa duduk di amben16 depan rumahnya, dia tersenyum diantara bapak ibunya, halo kak, sapanya lirih. Dasar Jendral Wito.

Terik surya di bumi Sidowayah, tak menyiutkan langkah-langkah kecil tanpa sandal untuk tertawa lepas, mandi di bilik-bilik sungai, mencari ikan, pesta belimbing, makan tiwul, menggembala kambing dibawah barisan bukit Wonopuro, Kebon, Dawe, Sudo Wetan, Sudo Kulon, Mbedok, Manding dan seterusnya. Karena Jendral Wito telah sembuh, dan akan bangkit untuk memimpin Laskar Sidowayah di masa depan.

Junaidi Abdillah

Hamba dedikasikan karya ini untuk Wito sekeluarga

Ngalam, 15 November 2008

Catatan kaki:

1 Jawa; tersenyum

2 Nakal

3 Temannya

4 Keluar

5 Belajar sambil bermain

6 Bodoh

7 Dipetik

8 Dimakan

9 Awas jatuh nanti!

10 Wito, ayo turun! tak pukul jika tidak turun

11 Tempat sesajen untuk arwah para leluhur saat awal Ramadhan dan Muharram

12 Hutan

13 Kebun Singkong

14 Bambu

15 Lampu yang terbuat dari kaleng bekas dengan sumbu seadanya

16 Bangku panjang dari bambu

GHAZAL-GHAZAL 2


MY SIDOWAYAH I

Seperti bulan diatas kuburan

Sepi…sepi…dan…sepi

Namun berjuta makna hai Sidowayahku!

Tak lagi ku dengar cericit bajing-bajing cantik di Dawe

Kicauan burung-burung langka di tepi sungai Manding

Kambing-kambing yang di hela riang pemuda dusun

Atau tangis kecil Jendral Wito yang dirindudendami Pak Gendut


My Sidowayah…

Terlalu banyak tinta yang nanti kau keluarkan jika semua kutuliskan tentangmu

Ku yakin dan pasti, Mbok katirah, Mbok Sikem akan mencarimu…mencariku

Saat kau lupa sarapan, sahur ataupun berbuka


My Sidowayah…

Tatkala kuinjakkan kaki pertamakali di bumimu…depan SDN 3 Krebet

Hatiku bergetar dan bertanya-tanya, betulkah dusun ini yang hilang dari peradaban, atau memang sengaja dihilangkan karena banyak yang ‘mendo’?

Bismillah…kulangkahkan tapak kanan kemudian kiriku untuk susuri jalan berliku dan berdebu itu


Kupandangi seksama kantor balai Desa Sidoharjo yang masih baru tapi lama itu, berdiri gagah disudut belokan

Tak selang berapa lama kemudian, lewatlah seorang pengendara motor, tak lain dan tak bukan…sang kepala dusun Sulyono yang tergesa-gesa entah kemana

Kaki ini terus berjalan sampai ditikungan yang dikanannya berdiri sebuah posyandu dengan papan nama yang bertuliskan Ny. Vivin

Kuberhenti sejenak untuk menikmati seteguk air Sidoharjo perdana sekedarnya, dari dia yang berkedalaman 27 meter, alhamdulillah…

Ngalam, 12 September 2008

11.00 WIB


MY SIDOWAYAH II

Dusun ini lahir dari legenda nyata pohon Sidowayah

Hijau daun-daunmu

Subur bumi pertiwimu

Membentang luas nan lebar dibawah lutut Sang Rajegwesi


Sidowayahku…

Mengapa engkau diam, jika engkau memiliki intan-intan budaya?

Mengapa engkau membisu tatkala kompangmu tertinggal di pojok rumah?

Mengapa engkau ragu saat reogmu yang sangar dapat dipentaskan?

Atau engkau memang pemalu karena penat naik-tutun Wono pun Baon


Sidowayahku…

Bangunlah! Senyampang hutanmu masih tegak berdiri, ijo royo-royo

Insyaalloh, tiwulmu kan bercampur susu-keju-madu yang tiada duanya di supermarket manapun engkau lihat


Sidowayahku…

Ojo cegeh, ngolah jiwamu, ragamu, pikirmu untuk Indonesia

Tekadkan niatmu bangun Sabilul Muttaqin, Ar-Ridho sebagai garda depanmu


Sidowayahku…

Air adalah emas murni yang engkau cari.., tapi jangan engkau babat hutanmu!!!

Demi otak kotormu jangan rusak mentalmu dengan tet-tettan yang menyesatkan…amin


Ngalam, 4 Oktober 2008

MY SIDOWAYAH III

Diatas empat roda besi kuning yang melaju ringan

Bergemuruh jantung kami, seakan-akan tak percaya segera menginjakkan kaki di bumi manusia Sidowayah kembali

Kuhujamkan dua penyangga tubuh ini tepat dipertigaan monumental itu

Ternyata tugu biru itu masih berdiri kokoh

Bukit-bukit itu telah menghijau tanpa tongkat ajaib

Sungai Dawe lebih deras dari dua bulan lalu

Semuanya menjadi klorofil-klorofil sejati

Kuabadikan 2 Laskar Sidowayah didepan simbol bersejarah itu

Senyum surgawi masih menempel pada jiwa putih mereka…hmmm


Jengkal demi jengkal ban mobil melintasi dimensi ruang setombak dari kami

Kunyalakan handycam ditangan yang tak mau berkompromi dengan lukisan waktu yang entah kapan bisa terulang kembali…

Alhamdulillah kamera menyala….dari pintu len…kuarahkan kebukit yang terbakar dari kejauhan…para petani yang mencangkuli baonnya untuk tanam jagung…pada sosok pemuda yang kukenal di sumber Dawe


Didepan Ar-Ridho puluhan mata malaikat kecil menatap kami penuh rindu dan dendam

Kasidah surga sepontan alunkan lagu ‘Seroja’

Tampak Sutris, Wito, Si lesung pipi kecil yang ku lupa namanya, Pak Jarno, berdiri dihadapanku

Tak mampu kuucapkan ledakkan kata-kata dihatiku selain ‘assalamualaikum’

Bersama mendung putih yang bergelanyut

Bersama air kecil yang beranak pinak

Bersamaan dengan munculnya pak Tukul, sang pejuang sederhana yang legam kulitnya namun putih jiwanya

Tak kunjung jua kumuntahkan montir huruf-huruf latin kerinduan padanya

Hanya daging jasad yang mampu mewakili ‘beronto’ kita


Akhirnya awanpun tak mampu membendung berondongan cinta air pada tanah yang kami pijak

Berlari-lari kami menuju Manding untuk sekedar berteduh, sekedar bertemu dengan wajah-wajah yang kami cintai…untuk bertemu dengan perempuan-perempuan itu…ya itu… mbok Sikem dan mbok Katirah

16 NOV 08



UNFORGIVEN

Maafkanku wahai sahabatku!

Ba’da Tarawih itu

Ba’da Megengan itu

Ba’da suara motormu

Ba’da penaklukan Rajegwesimu

Kau tinggalkan fananya fana


Masih tersimpan file-filemu di lemari jiwaku

Masih tertinggal buku Pramoedyamu

Masih terlukis raut gilamu

Masih terpotong teka-teki tet-tettanmu

Masih kangen pohon kluwih itu

Hebat! kau sembunyikan syariatmu untuk akhiratmu


Kurindukan jamaah satu menitmu

Kurindukan argument filsafatmu

Kurindukan wudhu’ jama’mu


Kenapa kau buatku malu atas ibadah pamrihku?

Kenapa kau buatku makar pada guyonan santrimu?

Kenapa kau hanya diam saat dipembaringan itu?


Tubuhmu telah terbujur kaku tatkala dzikir dihembuskan

Rohmu entah kemana ketika ambulan dijalankan

Dari Ponorogo-Kalibaru berpuluh-puluh kali namamu disebutkan

Namun kau hanya bisa menutup mata, mensendekapkan astamu, menselonjorkan capahmu, diam semilyar bahasa, tak manusiakan kami


Tolong bahasakan wasiatmu….Raden Achmad Maulana Isbat Nurrudin Bakir!

Jangan biarkan kami berjumpa Culdesac!


Jejak tertinggal Sidowayah-Ponorogo, dia yang telah mendahului kami 2 Oktober 08 dari 17 November 2008

J. Abdillah

BESET [BENDERA ½ TIANG]


Ya benar, 61 tahun lalu bulan November

Tanggal 10 di Surabaya

Merah-putih bercerita pada jiwanya

Langkah-langkah tegap merapat satukan tekad

Gempitakan Allohu akbar…3x Merdeka! Komando bung Tomo

Ganyang Malaby, bajingan kompeni dari bumi pertiwi

Bersama arek-arek Suroboyo, Laskar Hizbulloh-Sabilillah menjadi saksi

Barakan semangat gejolakan gumpalan darah sampai ke ubun-ubun muncrat memecah otak,

lalu mereka berteriak:”ayo maju rek, tank iku lho goder”


Lalu…

“kembalilah kepada tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhoi-Nya, masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku Wahai jiwa-jiwa yang tenang”!


13 November 2006

[08.30 WIB, my class]

Djibril Ahmad


Tadarus…?

Halaman demi halaman surat ini kubuka

Kurobek, kumakan, kuminum maknanya

namun tetap saja bertabur juta artinya

Kembali ku bolak-balik mushaf suci ini, tapi apa yang kemudian terjadi?

Dentuman dahsyat peringatkanku

Agar lebih tawadhu singkap tabir dibaliknya

Adalah suatu kebodohan, kesia-siaan, dan kerugian besar

jika makhluk yang bernama manusia dustakannya

sajak yang terindah, puisi paling bagus

bahkan ritme mozaik terharmonis yang pernah ada


Difirmankan oleh ada yang tak berawal dan tak berakhir

Diwahyukan pada makhluk sempurna tanpa tanding

telah dipersembahkan pada segala yang bernafas dan bertasbih 14 abad yang silam

Untuk hari ini, dulu dan nanti…

Pusaka teragung titipan lazuardi pada bumi

Terdepan…tak lapuk dimakan zaman


Underground GB1 [18 Romadhon 1417 H]

07.15 WIB

JUVE Will Come Back!


La Vechia Signora I do love you

With The Black-white I Bianconerri never lose

Eventhough Calciopoli kill you in the Hell

Your spirit always stay in my life


Forza Juventini, Adios Marcelo Lippi!

Thanks all of you….

(Bettega, Platini, Baggio, Del Piero, Nedved, Trezeguet, Camoranesi, Pessoto and …because of U)


LA VIOLA

Memang tajam pisau masa penggal usia hamba dari mata-Nya

Zaman akan punah, Mojang! Qosmos semakin tua saja sabda manuskrip-manuskrip ungu

Kebajikan bagai berlian yang terbuat dari jantung Surga

Tak pernah tergapai hanyalah impian para darwis timur dan barat

Indahnya rembulan seperti relief pemalu tanpa tersentuh

Dan hanya satu pelangi mozart itu, hari itu:” ungu yang terungu bukan biru”

Mekar dengan seluas sayapnya yang tengadahkan gerimis do’a haru-rindu

05 Nov 06 [bangsal 509]

Porong, The Lost City 06

Diri menunggu Surya keemasan di bunga lumpur

Mata itu berkaca-kaca pandangi tanah airnya bersimbah peluh bumi dikubur masehi

Bagai neraka di penghujng timur pulau Jawa

Deras kesediahan naungi wajah-wajah tak berdosa

Seperti awan mendung tak berbentuk

Istana yang kita bangun bagai sebuah legenda kota yang hilang

Himpun berjuta canda-tawa dan cerita aneh kematian

Terusir tak terhormat di bumu sendiri

Tersapu begitu saja atas izin-Nya

Melalui asta-asata kotor yang rakus

Tanpa rasa malu jual mesin kekuasaannya,

Cuci tangan lempar batu sembunyi tangan

Seiring cakrawala yang bertahtakan cahaya surga

Kami pasti bangkit dari kubangan ini dengan setegar-tegarnya

Tanpa harus tunggu uluran tangan-tangan mesra malaikat pembawa berita gembira


01 Januari 2007 [Dinihari]

Sebentuk Cinta Ramadhan

Untuk bundaku…

Tebarkanlah Cintamu padaku selamanya

Untuk kakakku…

Tersenyumlah dengan senyum paling indah yang kau punya

Untuk bibiku…

Persembahkanlah nuansa rindu pada kami sekali saja

Untruk semua saudara/I ku

Kado spesial ramadhan adalah keluarga ini…ya…keluarga ini


Betapa rindunya kami pada-Mu ya Ramadhan

Terlukis nyata dijiwa sahur-buka bersama

Dibalik jeruji dunia bukan neraka

Demi sebuah penyucian jiwa bukan azab selamanya

Bayangkanlah metafora roda, berputar memang ada waktunya

Andaikata Cinta dapat diperjualbelikan,

kan ku berikan tanpa syarat dari Tuhan


in memorium at LAPAS WANITA KELAS 2 MALANG

[ba’da Dzuhur]


Gerbang itu…


Gerbang kematian tegak lurus dihadapanku memanggil-manggil tanpa henti

Bulan diatas kuburan sepi

Sepi menerobos batas imaji

Jangan kau amat yakin sangat amal baikmu yang jadikan kau berdansa diSurga,

atau

kebejatanmu tiket mulus berkunjung ke Neraka

Alhasil tulisan sakti itu ada sebelum inti kosmos tercipta

Kembalilah padaNya sebelum gerbang-gerbang indah itu terkunci


At March 06…Djember

Natura Artis Magistra

Dan dia tidak pernah malu atas bencana di jagad ini

Membakar, menebang, meracuni para sarwa yang begitu cantik tanpa jelas maksudnya

Air sepertinya enggan kembali bersahabat dengan manusia

Udara bagai racun mesra untuk sang khalifah rupanya

Tanah begitu rapuh untuk dipijak kembali

Ombak selalu hempaskan bahtera-bahtera itu

Dan gunung-gunung muntahkan laharnya

tanpa pernah menyesal lagi

Bukit-bukitpun lelah sangga tubuh para kafir pembalak liar

Akhirnya pagebluk, musibah, hukuman, peringatan, cobaan engkau panggil maksudmu…!!!

Bait-bait puitis tak akan pantas ceritakan hal ini semestinya

Bumi adalah mata batin semesta, telinga kecil Pencipta, mulut segala makhluk, penciuman, tangan dan kaki tersembunyi Langit, yang tak pantas kau sakiti

Mana cintamu wahai insan?

Tapi sepertinya kisah ini akan sangat puanjang akhirnya atau mungkin tak ada kata akhir, selain KIAMAT sesungguhnya

Karena alam adalah guru seni terbaik


Dj. ahmad _Maret-April 07_


PEREMPUANKU

Sebenarnya hari ini aku sangat lelah

Lelah, dalam arti yang sebenar-benarnya

Merintih pada alam, dia tetap diam

Berlari pada malaikat, mereka sibuk mencatat

Tapi kuyakin pada kelopak mata air bumi yang lahir hari ini

Diakan mampu terbang dengan sayap-sayap emasnya

Lukis nyata mimpi-mimpinya

Pada kanvas-kanvas langit

Pada kisah-kisah Lauhul mahfud

Angsa putih yang sentuh keibuan pi2t kecil

Kolibri mungil dengan karya besar

Karena kau bukan lilin yang meleleh

Terbakar tanpa bekas berarti

Terombang-ambing pada simbol kehidupan

Terangi masa sekejap mata

Jadilah rembulan diufuk Cinta, Mahadewi!

Untuk Perempuanku….

Coban Rondo, 15 September 2006 [23.30 WIB]

by dJAh


JIWA

Memang! jiwa lahir tanpa wajah

Cermin manusia yang tak terbantahkan

Si misterius yang pandai bersilat lidah

Akting anyir- busuk sering kau mainkan

Noktah tabularasa tiap detik kau bubuhkan

Takkan terhapus tanpa penyesalan

Ya, peran itu memang pilihanmu

Bagi mereka-mereka yang tergerak jiwanya


PROKLAMASI

Soleram, titikan bening tangis kebahagiaan, aoha yahe

Pare, 17an-2006


MANUSIA BIRU


Kepada manusia-manusia biru yang ngangkang diatas gubuk2 dunia

Cengengesan, cengar-cengir, lupa pada periode pembalasan

Sudahlah! memang itu pilihannya

Pulosari[Pare], 21 Agustus 2006

Prasasti Hati


Merona merah bibirmu, hai professor!

Ku tak tahu, apa yang kau ocehkan?

Namun ku yakin akan sumpahmu dulu…

Ribuan nafas dihela menanti sebuah jawaban

Makna kepastian llmu dan dunia kamuflasemu


Sebuah pengharapan dari manusia yang bernama “Mahasiswa”

Cari jati-dirinya dengan darah-muda merahnya

Gelorakan tetes sudut-kelopak mata Bunda di rumah

Dan bunyi derik tulang iga penat samg ayah


Syukurku pada lazuardi tak meretas niatku
Sambut matahari timur dan barat yang jingga

Kepada Raja Di Raja Margasatwa

Sibak kebenaran versi Plato, Newton, Darwun pun juga Post-Modernis sekalipun

Yang penting, besok masih kita lihat pesona pohon kelengkeng


BUNDA

Sosok anggun nan teduh pancaran….

Bersatu denganmu 9 bulan, buatku terhormat, berhutang nyawa

Resah, gundah dan tangis bahagia layaknya telenovela berawan

Ku tak pernah meminta, tapi demi nafas-nafas baru engkau pertaruhkan jiwa-raga


22 Desember hanya simbol monumen dunia atas jasamu putri Hawa

Begitu terlambat dengan eksistensimu sejak legenda Qobil-Habil

Keperawanan, penindasan, pemerkosaan bahkan selubung nafsumu tak lepas dari tinta-bara

Itu semua tak menyurutkanku tuk persembahkan Suargaloka padamu, ya Ibunda Fadil


Seribu Ghazal-ghazal Puisi Cinta tak-kan mampu tebus nestapanya

Tuhanpun tropikan nirwana bagi Sang berbakti

Ode Ar-Rumi hanya lewati kiri sanubarinya


Ya Qowwiyu, Dzat termisterius Sarwa Andromeda, bagaimana hamba kecil ini bisa membalasnya nanti?

Oktober-Desember 2005

JANJI PUTRA ADAM

Tertimbun keluh kesah ku saat bait-bait ini tercipta penuh keheningan tunggu penyabda layangkan sumpah serapahnya

Apa yang dulu ku julangkan ke jagad moga bukan sebuah eksperimen nada-nada

Bagaimana harus menjawab kalam suci yang selalu terhampar luas bak padang pasir sedalam misteri 9 benua

Purnama Jawa-Dwipa masih bergelanyut indah di peraduan malam

Senandung puja-pujian masih segar di 10 Dzulhijjah

Lamat-lamat terlintas tatkala poster-poster dibentang di teras kekuasaan

Hujan kepagian buyarkan lamunan para pria berdasi seiring sorot nuraninya tembus janji-janji lapuk berdalih untuk anak negeri

Hutang memang harus dibayar lunas, hai manusia !

Ekspresi, sensasi atau mungkin akting 3 provokator opera sabun mandi


Gurat ukiran cantik memang yang mereka nanti, terlukis fenomenal basahi lorong kalbu para pengembara “Barokah ilmu dan keikhlasan”
Pun juga senandung Maha Guru terbitkan mutiara pena yang tak usang di makan zaman
Jangan kau coba benamkan jiwa-jiwa pemberontak itu dalam kubangan pincingan kasat mata dendam syaitan
Ketika mazhab cinta Alloh terkidung megah dengan ghazal-ghazalnya runtuhkan kebekuan kelopak sudut nuranimu
“Dengan ini kami proklamirkan bahwasannya Laskar Cinta mohon dengan sangat kearifan para penyabda bijak”?!!!

14 Januari 2006

SALSABILA

Anggun tanpa polesan pond’s ataupun luluran Sari ayu yang mahal bagi gadis pinggiran khususnya, Huh!!! demi sebuah kecantikan yang akan hilang. Aku masih ingat namanya, ya Salsabila, seksi dan cantik jiwanya, berkerudung terhijab indah bagai bidadari kutub cinta. Seperti biasa aku pergi ke kampus dengan sukses terlambat, terengah-engah berlari melipat selembar kertas plus pena dikantong baju. Namun sebelum ku masuk kelas, sekilas kulihat sejenak sekuntum busur surga tersaji didepanku, lha itu dia, benar, Salsabila, gadis ayu putri pengacara ternama di kotaku. Ini bukan isapan jempol saja, ataupun roman picisan di Comboran Malang. Aneh memang seperti alien Pluto yang hadir ditengah-tengah jerami berlian yang dibawa oleh penyabda risalah langit. Cerocos tidak sedap terucap terkadang tatkala kita lihat seorang muslimah yang tidak sungguh-sungguh menjaga mahkota tubuhnya, entah itu sudah berbusana tertutup + ketat yang menonjolkan lekak-lekuk tubuhnya disana-sini, ataupun kalau tidak ketat tapi transparan yang membuat mata setiap cowok jelalatan menikmatinya.

Entahlah yang ndablek itu siapa sih?, cewek yang ingin digoda atau cowok yang terlalu ngeres otaknya. Yang jelas zaman tidak salah pun juga bumi sudah kewut, ketidaksadaran dan ketidaktahuan kita sebagi generasi muda Islam Indonesia yang dituntut kembali pada ajaran ‘sederhana dalam sikap dan kaya dalam karya’ yang selalu berusaha untuk berpijak pada Al-Qur’an-Sunnah tentunya.

Tidak perlu saya jelentreh-kan mendetail ­mana surat dan hadis yang menjelaskan tentang batasan aurat pria-wanita. Pastinya agama, bangsa, organisasi, rumah tangga dsb, tidak akan berdiri kokoh manakala wanita yang manjadi elemen krusial didalamnya, tidak menghargai warisan Mahadewa Alloh SWT, yakni aurat. Kata kuncinya ialah totalitas dukungan dari keluarga, masyarakat, UU negara atau lebih ekstrim lagi intimidasi, itu misalnya saja.

Ga tau kalau dari sananya si cewek suka ngecer dan si cowok tergoda untuk menggoda, ada asap ada api, habis makan di usapi. Waallohu A’lam Bisshowab.

Djibril Ahmad

TINTA LANGIT

140606

17.30 WIB