www.wikipedia.com

Sunday, May 10, 2009

Toriqot Sastra





Halimi Zuhdy


Kemaren saya menulis di Toriqot Sastra sebuah group yang ada di Facebook yang di dalamnya ada kata-kata “anti mati karya” yang terinspirasi dari salah satu iklan televisi “anti mati gaya” yang banyak ditanggapi oleh pembaca, yang akhirnya saya tergelitik untuk menulis karangan dengan judul tersebut.


Anti mati karya itulah yang membuat saya selalu tergugah untuk melejitkan mimpi-mimpi menulis dengan tulisan mahakarya, kalau saya baca sejarah betapa para intelektual zaman dahulu sebutlah madzahib al-arba’ah sangat kreatif, inovatif bahkan ratusan buku tertoreh dari tangan-tangan mereka, yang satu kitab saja berjilid-jilid. Sungguh luar biasa, kalau kita bandingkan dengan zaman yang lebih modern sekarang ini, tidaklah ada bandingannya. Yang pada zaman dahulu minim kertas, yang ada hanya tulang, pelepah pohon, dan dedaunan, namun tangan-tangan kreatif mereka setiap detik dapat menyelesaikan ratusan kalimat.
Sungguh, zaman penuh dengan karya, tak ada hari tanpa menulis, sehingga dalam hitungan hari karangan-karangan mereka terbit dengan mencengangkan. Selain madzahib al-arba’ah ada banyak bukti yang mencatat bahwa kebangkitan, perlawanan, pencerahan, dan perubahan dipicu ole ide mengalir dari sebuah buku misalanya David Namah, inilah karya sastra yang merupakan masterpiece Muhammad Iqbal, tulisanya ini sungguh menggemparkan dunia, diantaranya kalangan oreintalis seperti Annimarie Scimmel. David Namah diterjemahkan pertama kali ke dalam bahasa Italia pada tahun 1946, kemudian secara berturut-turun David Namah terbit dalam bahasa Jerman (Munich, 1957), Perancis (paris, 1962), Inggris (Lohare, 1961). Ia telah membakar emosi kesusastraan orang Barat bahkan dunia Timur.”Iqbal datang bak Messiah yang menghidupka orang mati,” tulis R.A. Nichalson.
Masnawi kitab ini juga dapat menghipnotis dunia, ia mampu menggebrak pikiran-pikiran penulis Barat seperti William C. Chinttick, Yohanes Renard, Franklin D. Lewis dengan leterasi oleh lebih dari seuluh pakar (Redhouse, Whinfield,Wilson, Nicholoson, Gupta, Arberry, Turken, Schimmel, Chittick), bahkan orang-orang Asia juga terracuni oleh pikiran-pikiran Rumi yang tertuang di Masnawi. JK Rowling, yang dengan Harry Potter-nya, mampu mengesktase para penikmatnya yang tersebar di 200 negara dan sudah di terjemahkan ke dalam 61 bahasa. Barbara Cartand, ia penulis prolific yang telah menghasilkan 723 judul buku, yang terjual lebih dari satu miliar kopi dalam 36 bahasa di seluruh dunia. Saking piawainya menulis, Barbara dapat dengan tenang menulis dengan mendektekan bukunya pada sekretarisnya, sementara ia hanya berbaring dengan santai I atas sofa. Ia biasa mendektekan 6.000 sampai 7.000 kata dalam per hari dan biasa menyelesaikan satu novel dalam tujuh hari. Dahsyat.
Kalau mereka mampu melejitkan ide dengan dahsyat, dan mampu merubah dunia dengan aliran deras tulisan mereka, menghipnotis dan menggugah rasa manusia dengan tarian-tarian kata mereka, bagaimana dengan saya. Mampukah?sebuah pertanyaan, yang mungkin selalu menggelitik untuk selalu merenung, berpimpi, dan berkreasi. Bahkan membayangkan, seandainya saya seperti mereka, atau bahkan lebih. Mungkin sekarang saya sudah bersama bintang-bintang yang selalu menyinari langit kata. Atau mereka memang dilahirkan untuk menjadi penulis, sehingga pada waktunya mereka terbang dengan mudah menuju cakrawala karya. Atau mereka sama dengan saya, yang pada awalnya hanya mampu menulis sepatah dua patah puisi, dan segelintir opini, bahkan buku yang tercopy ratusan pun masih dalam file mimpi. Kemudian beranjak dan mendaki ke gunung Himalaya kata. Tidak ada kata tidak mungkin, mungkin saja!
Tapi memang, mereka mampu menggebrak dunia bukan dengan kepalan tangan kosong, mereka menulis dengan penuh kerja keras sebutlah Eudora Welty, yang baru menulis setelah berusia 40 tahun,bekerja pada dini hari, dan biasanya ia terus menulis sehari penuh. Mary O’Hara, yang menulis ulang My friend Flicka sampai Sembilan kali, tiap hari bangun lebih dini dari hari sebelumnya demi menyelesaikan novelnya. Honore de Balzac punya rutinitas mencengangkan. Dua minggu sampai dua bulan ia mengasingkan diri untuk menulis sebuah buku. Selama waktu kurun ini ia tidur pukul delapan setelah sedikit makan malam, pukul dua pagi ia bangun dan menulis sampai pukul enam, menyeruput kopi (yang selalu panas karena pancinya selalu ia taruh di atas nyala tungku). Lalu ia mandi selama satu jam, dan minum kopi lagi sampai orang dari penerbitnya datang untuk mengantarkan ketikan naskah hari sebelumnya sekaligus mengambil tulisan yang sudah Balzac edit dan naskah tulisan tangannya untuk hari itu. Beda lagi dengan Edna Farber belum pulih benar dari animia ketika ia menulis cerpen dan novel pertamanya. Peraih hadiah Pulitzer tahun 1924 yang dijuluki The Greatest American Women Novelist of her Day ini menulis dari jam 9 pagi sampai jam 4 sore. Ia menulis sampai kelelahan dan pingsan ketika bekerja di harian Milwaukee Journal.
Memang tidak mudah menjadi penulis apalagi penulis yang dapat diperhitungkan dunia, ya..mungkin harus bermimpi, menari-narikan pikiran agar ide keringat mampu tertuang dalam lontar, dan mengalir deras ke dalam seluruh rasa sang pembaca, sehingga mampu bergelombang dalam samudera karya. Dan tidak ada kata untuk menyerah, apalagi dengan seabrak alasan untuk tidak menulis. Menulis dengan hati, menulis dengan pikiran, menulis dengan tubuh, bahkan menulis dengan seluruh jagat adalah saksi dari ANTI MATI KARYA. Minimal, kita mampu menulis satu kata tapi mengguncang dunia, dari pada tidak sama sekali.

Gasek, 09 Mei 2009


MenCintai BUMI


Armageddon alias kiamat besar jagad raya akibat ulah manusia tak mungkin bisa dihindari lagi jika otak, sikap dan perilaku kita masih dipenuhi sampah-sampah busuh-busuk yang biasa kita buang sembarangan dalam arti konotasi (amarah, iri, dengki dst) maupun denotasi (puntung rokok, limbah rumah tangga, plasti, kertas dst). Kongkrit kecilnya adalah seperti yang dilakukan oleh teman-teman UKM Mapala Tursina UIN Maulana Malik Ibrahim yang berbekal semangat Hari Bumi (D’Green Day/22 April) mengajak dan menghimbau seluruh civitas akedemikanya untuk meluangkan waktu sejenak menanggalkan egonya agar satu hari ini tanpa asap rokok, satu hari ini tanpa knalpot, dan satu hari ini tanpa klakson sejak pukul 08.00 hingga 17.00 WIB, sesuai yang tertuang dalam nomor surat kegiatannya (Un.3/PP.01.1/678/2009) demi hari yang cerah dan hening.


Meski terkesan mendadak dan tanpa ada rambu-rambu yang tertulis jelas di area universitas, setidaknya kegiatan ini bukanlah awal sekaligus akhir guna meraih simpati maupun empati dari pihak siapapun dan manapun juga untuk terus menyuarakan dan membuat terobosan nyata untuk menyelamatkan bumi yang semakin renta ini. Menurut salah satu koordinator lapangan (saudara Isnan), ide acara ini datang begitu saja (mendadak), kemudian karena dianggap positif maka segera ditindaklanjuti dengan koordinasi dan langkah gerak cepat. Dan lusa hari sabtu dan ahad akan dilaksanakan bersih-bersih sungai, selokan kampus dan dilanjutkan hari selanjutnya dengan penghijauan-penanaman pohon.


Sedikit bernostalgia saja, jika anda pengguna setia jalan Bandung, Veteran, Bendungan Sutami, Gajayana, hingga MT. Haryono setiap hari tentunya sangat kangen dengan udara kota Malang yang dingin, sejuk dan segar 24 jam sehari semalam. Namun hari ini situasi dan kondisi itu seperti sebuah mimpi, sebab kurang lebih 17 jam (06.00-23.00) jalanan tersebut dipenuhi oleh berbagai macam kendaraan dari sepeda pancal yang selalu dan pasti termarjinalkan, angkutan kota, sepeda motor, truk segala jenis, bus pariwisata, terkadang becak hingga pejalan kaki tumplek blek di jalan yang sempit (kurang lebih 8-10 meter lebarnya) ini. Faktor keselamatan khususnya menjadi perhatian serius untuk para pejalan kaki dan pengguna sepeda angin, selain tiadanya trotoar yang memadai kecuali di jalan Veteran dan Bandung, ditambah kurangnya kesadaran para pengguna jalan untuk tertib dan tidak saling memacu kendaraan dengan kondisi jalan lurus terkadang menikung, menanjak, sempit, macet, dan penuh serta dihiasi dengan lubang disana-sini, tanpa perbaikan berarti, khususnya jalan Gajayana. Belum lagi polusi udara dan suara mendominasi, menjadi momok utama antar pengguna jalan, baik yang iseng dengan klakson anginnya maupun mereka yang tak mau mengalah satu sama lain saling kejar-kejaran. Tentunya harapan Kota Malang Ijo Royo-royo tidak cukup diwujudkan layaknya Malang Tempoe Doeloe di jalan Ijen saja, harus ada kesinambungan seluruh elemen masyarakat dan kesadaran nyata yang tinggi untuk mengantisipasi pemanasan global dan isu-isu lingkungan lainnya.


Waba’du firman Alloh SWT dan Hadis Nabi SAW yang berbunyi “Telah nampak kerusakan di darat dan laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Alloh SWT merasakan kepada mereka, sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (jalan yang benar).”[QS. Ar-Ruum: 41]. “…dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi, sesungguhnya Alloh SWT tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”[Al-Qashash: 77]. “Tiga hal yang menyeruak pandang, yaitu: menyaksikan pandangan pada yang hijau (asri), pada air yang mengalir jernih, dan wajah rupawan.”[HR. Ahmad], dengan makna seluas-luasnya bukan sekedar dalil maupun argumentasi belaka, tetapi kemudian bagaimana selanjutnya bisa benar-benar kita wujudkan untuk sekarang dan nanti. Guna menyelamatkan bumi kita satu-satunya ini, agar selalu kita rawat dan cintai sesuai fitrah kita sebagai khalifah bumi ini untuk diwariskan pada anak cucu Adam-Hawa selanjutnya.


Djibril Ahmad

Friday, May 8, 2009

SENARAI SASTRA...[01]


Oleh: Halimi Zuhdy


Dalam kehidupan kita sehari-hari pengalaman-pengalaman kita memasuki atau menciptakan berbagai peristiwa tidak pernah jelas. Artinya, pengalaman-pengalaman itu tidak pernah mencapai bentuknya secara kongkret: pengalaman hampir selalu dalam kondisinya yang in abstacto. Bagi seorang novelis atau cerpenis, membangun struktur naratif sebuah novel atau cerpen hampir sama dengan memberi bentuk pada pengalaman yang dimilikinya itu. demikian juga penyair, menulis puisi pada hakekatnya merupakan proses pemberian bentuk pengalaman lewat bahasanya. Oleh karena itu, mungkin ada benarnya tatkala Altenbernd mengatakan bahwa poetry as the interpretative dramatization of experience; atau Shelly yang mengatakan bahwa puisi merupakan rekaman detik-detik yang paling indah, paling menyedihkan, paling menyengsarakan dalam hidup; atau Sapardi Djoko Damono yang beranggapan bahwa puisi merupakan sebuah unikum atau hasil pengamatan yang unik seorang penyair.


Kali ini hadir dua puisi, puisi Slun yang berjudul “Ku Tlah Menjadi Bunga” dan puisi Dien Nur Ch “Biar Bubar”. Masing-masing dari kedua penyair ini memiliki pilihan sendiri-sendiri dalam mendramatisasikan pengalaman, memilih peristiwa yang direkam, atau dalam melakukan pengamatan.


KU TLAH MENJADI BUNGA


By : Slun


Aku terjebak dalam melintasi angan dan khayalku


Mencoba menafsirkan khayal dalam rasa


Terpintas bayanganmu indah gemulai merayu-rayu


Keindahan jiwamu menari-nari dengan apa yang kau gurat lembut dalam memori


Dirimu indah Sang Pencipta


Yang hembusan nafasnya tuk hiasi dunia


Namun nafas itu telah terenggut ….pahit


Tapi kau masih terpatri erat dalam anganku


Hingga kulupakan tak mampu menyapa


Aku tidak mengenalmu


Tapi dirimulah yang membuatku mengenalmu


Karena air susu yang mengendap di tubuhku


Bahasaku bukan rahasia


Tapi rahasiaku yang tersingkap oleh tingkahmu


Timanganmu


Wahai diri…..Mau dikemanakan rasa rindu ini?


Wahai dirimu….


Sebentar lagi ku kan jadi bunga


Bukan kuntum lagi


Sebagai bukti jiwaku telah tumbuh kembang dalam segala musim


Ibu….Keberadaanmu penuh agung


Ibuku….Rinduku..khayalku….Harapanku…


Kembalilah wahai dirimu


Tuk menyaksikan diriku yang telah menjadi bunga


Ku tlah Menjadi Bunga, Slun dalam puisinya mampu memberikan suasa haru yang mungkin berangkat dari kesedihannya atau gejolak yang ada dalam dirinya, kematian, yang mungkin baginya tidak pernah diharapkan. Dirimu indah karya Sang Pencipta/yang hembuskan tuk hiasi dunia/namun nafas itu telah terenggut …..pahit/tapi kau masih terpatri erat dalam anganku/hingga kelapukan tak mampu menyapa. Sebuah kematian yang bagi banyak orang menyisakan kesedihan dan mungkin juga kenangan, apalagi yang meninggal adalah seseorang yang benar-benar kita cintai, maka terkadang kenangan itu tidak mampu dilupakan dengan pergantian masa, dan membawanya pada dunia lain yang ada di luar dirinya, seakan-akan kematian baginya tidak pernah ada, karena dalam dirinya terpancar rona dan ruh lain Aku tidak mengenalmu/tapi dirimulah yang membuatku mengenalmu/karena air susu yang mengendap di tubuhmu/. Selama ia masih mengenangnya, maka kematian hanyalah sebagai perpisahan sementara, yang suatu saat akan dipertemukan, entah dalam hayalan, mimpi atau dalam imajinasi. Karena keyakinan akan pertemuan dan kehidupan lain itulah, Slun mengkhabarkan akan keberadaan dirinya /Wahai diri…/mau dikemanakan rasa rindu ini/wahai dirimu….sebentar lagi ku kan jadi bunga/bukan kuntum lagi/sebagai bukti jiwaku telah tumbuh kembang dalam segala musim/ ia mengkhabarkan bahwa dirinya telah berkembang, berubah, berproses, dan dewasa. Dengan pertumbuhan itulah, ia ingin ada orang yang memperhatikan, merindukan, dan mencintainya, terutama orang-orang yang berjasa besar dalam kehidupannya, yang sudah mengisi hari-harnya dengan temaram keindahan dan kesenangan, seorang Ibu, yang ia tunggu kehadirannya untuk menyaksikan keberadaan dirinya yang sudah menjadi bunga bukan kuntum lagi. Ibu…/keberadaannmu penuh agung/ibuku..rinduku…khayalku…harapanku…/kembalilah wahai dirimu/tuk menyaksikan diriku yang telah menjadi bunga.Slun dalam mengungkapkan kata-katanya dari bait ke bait sungguh menjanjikan sesuatu yang membuat pembaca ingin mengetahuinya, siapakah gerangan yang dimaksud “kamu” dalam puisinya itu/terpintas bayangmu indah gemulai merayu-rayu/keindahan jiwamu menari dengan apa yang kau gurat lembut dalam memori/dirimu indah karya Sang Pencipta/Aku tidak mengenalmu/ dari ketidakjelasan objek itulah sebenarnya di antara kelebihan puisi ini karena pembaca di giring untuk terus membaca dan menghayati puisinya, siapakah yang membuat si penulis sampai-sampai menampilkan kamu sebegitu indahnya dan mempesona, baru dalam bait ketiga, meskipun masih samar, ia ungkpakan bahwa kamu itu adalah /Aku tidak mengenalmu/tapi dirimulah yang membuatku mengenalmu/karena air susu yang mengendap di tubuhku/dan timanganmu/; “air susu” dan “timanganmu” pada baris di atas sedikit memperjelas maksud penulis, namun ia masih menyembunyikan identitas kamu itu, baru bait ke enam, ia benar-benar mengungkapkan bahwa yang membuatnya terpesona dan ekstase dalam kerinduan adalah Ibu/ibu /keberadaanu penuh agung/ibuku..rinduku…/khayalku…harapanku/kembalilah wahai dirimu/tuk meyaksikan diriku yang telah menjadi bunga..


Slun mampu menjaga keutuhan imaji, kepaduan isi, dan kesederhanaan metafor, hanya saja Slun kurang maksimal memainkan unsur bunyi, sehingga unsur musikal puisinya terasa kurang merdu. Dalam penentuan tema Slun sudah mampu menghadirkan dengan baik, namun dalam feeling, dan intention masih kurang maksimal. Dan terasa lebih nikmat didengar atau dibaca jika ia juga memaksimalkan bahasanya dengan kedalaman metafor.


BIAR BUBAR


Dien Nur Ch


Tak perlu air mata itu tumpah…


Tak perlu wajah ini menunduk


Lesu,


Kalah


Karena itu bukanlah kekalahan


Ini hanyalah kemenangan yang tertunda


Karena kekalahan adalah


Ketika keberanian telah berani ditukar dengan kekeliruan


Ketika suara-suara kebangkitan tak lagi menyala


Bergembiralah


Bersoraklah


Tepuk tanganlah


Tepuk pula dadamu


Dengan penuh kegagahanmu


Karena kemenangan kecilmu itu


Kecil….


Amat kecil….


Tapi kami tak akan pernah membalasmu


Dengan tangisan darah terperihmu


Bahkan kami akan mendekapmu hangat


Dalam kesyahduanKemuliaanDi tengah lindungan dan naungan


ISLAM


Yang dalam waktu dekat ini akan segera tegak berdiri


Menyongsong tegaknya adidaya baru


Yang telah dijanjikan oleh Rabb kami


Namun bila


Engkau kembali menghalangi


Perjuangan kami


Di tengah deru nafas kami


Kami kan siap menjadi tumbal inqilaby


Selain puisi Slun, hadir juga Dien Nur Ch dengan tema yang cukup membuat hati berdebar, bergolak, dan mendebarkan. “Biar Bubar” ia memulai kata-katanya dengan kekesalan, kemarahan, kegundahan yang mendalam, dan juga antara kepasrahan dan kebangkitan. kata “biar” , mengisyaratkan untuk meninggalkan, menghilangkan, bahkan metawakkalkan, seperti biarlah yang lalu berlalu, biarlah ia hancur, biarlah ia mati, biarlah kerinduanku bersama angan dll, meskipun tidak semua kata “biar” adalah ketawakkalan total, namun biar lebih mendekati untuk menghilangkan ingatan dan prasaan untuk tidak mengenang. Dan dalam kepasrahan (bukan fatalisme) sesungguhnya menyimpan seribu kekuatan dan hasrat untuk bangkit dan membangun, hal itu yang terdapat dalam bait-bait puisi Dien.Dien mampu menghadirkan pesan-kesan yang bernada menggugah tak perlu tetes air mata itu tumpah/tak perlu wajah ini menunduk/lesu/kalah/karena ini bukan kekalahan/ ini hanyalah kemenangan yang tertunda/karena kekalahan adalah ketika kebenaran tlah berani ditukar dengan kekeliruan/ketika suara-suara kebangkitan tak lagi menyala Jika kita yakini puisi sebagai bentuk intensifikasi dan konsentrasi pernyataan pesan-kesan, pada puisi ini kita temukan, puisinya menunjukkan adanya pertautan dalam yang erat untuk mendukung makna. hanya saja, Dien tidak mampu menghadirkan kata-katanya dengan penuh imaji, ia seakan-akan hanya ingin menumpahkan kesumpekannya, kegundahannya, kemarahannya tanpa memoles dengan kata-kata metafor. Dan juga ia tidak mengolah sajak kemilitansiannya dengan imajinasi agar sampai pada ungkapan puitik yang lebih menggugah. Kalau ia mengolah dan memolesnyanya dengan ketajaman imajinasi, apalagi ditambah dengan kemampuannya menjaga bunyi yang tanpak cukup baik, sajaknya pastilah lebih bermakna dan menggugah.Kalau kita perhatikan, kekuatan puisi Dien memang bukan pada diksi dan imajinasi, melainkan pada makna, pesan, amanah. Tapi bagaimanapun, karena puisi pertama-tama adalah bahasa dan imajinasi, maka makna pesan, amanat sejatinya dibungkus dengan diksi dan imajinasi yang menyaran. Dengan cara itu, makna akan sampai dan menghujam ke jantung kesadaran pembaca.Yang juga menarik untuk dicermati dalam puisi Dien adalah bagaimana ia bermain dengan perasaan, antara bait pertama dan ketiga cukup menggugah untuk bangkin dan melawan, namun bait kedua mengajak pembaca untuk menarik dari kegoisan buta, berlindung dalam hamparan keindahan dan kesejukan sebuah ajaran/tapi kami tak pernah membalasmu/dengan tangisan darah terperihmu/bahkan kami akan mendekapmu hangat dalam kesyahduan/kemuliaan/di tengah lindungan dan naungan Islam. dan puncak dari totalitas gerakan dan kegundahan itulah ia ungkapkan dalam bait terakhir yang menurut saya cukup mengesankan dan mampu menyisakan keharuan yang cukup mendalam/namun bila/engkau kembali menghalangi/perjuangan kami/di tengah deru nafas kami/kami kan siap menjadi tumbal inqilabiy.Kreativitas seorang penyair sesungguhnya tidak terletak pada kemampuannya dalam menciptakan nilai-nilai, tetapi lebih ditentukan oleh kapasitas kemampuannya dalam menangkap berbagai gelagat dan isyarat yang terjadi disekelilingnya seperti peristiwa budaya; menyeleksi dan menafsir sesuai dengan visinya untuk kemudian mengukuhkan dan mengutuhkannya dalam bentuk keindahan bahasa yang disebut puisi. Melalui karya puisinya itulah seorang penyair mencoba berbagi nilai dengan para pembacanya.


*)Pengamat Sastra dan penulis puisi dibeberapa media lokal dan nasional. Pembina komunitas sastra Tinta Langit Malang.