www.wikipedia.com

Friday, December 12, 2008

sajak IKa Mudrika

Sajak-sajak IKA MUDRIKA


IBU DAN SENYUMNYA

Senyumnya serupa rembulan yang purnama
Seumpama matahari di titik kulminasi
Layaknya bumi yang tak henti berotasi

Hanya damai yang kurasakan
Tak ada yang bisa menggantikan
Saat senyumnya mengembang
Dari bibir yang penuh kearifan
Dari mata yang memancarkan kehangatan

Malaikat diutus Tuhan untuk senantiasa menjaganya; menjaga Ibu
Menyimpan senyumnya yang pualam
Agar tak sampai kehabisan
Tuhan titipkan kedamaian
Pada tiap-tiap harapan 

Sidoarjo, 4 Februari 2008 

MAAFKAN AKU IBU,,,,,

Aku tak tahu
Apakah lebaran kali ini ku masih bisa menyentuh
Telapak tanganmu yang selalu ku rindu
Telapak tangan yang penuh haru
Haru oleh juangmu
Haru oleh pengorbananmu
Haru oleh tegarmu

Maafkan aku ibu,,,,,,,
Aku tak faham 
Apakah aku masih dalam gelimang dosa?
Karena kali ini ku ulang lagi
Aku tak bisa menjumpaimu
Karena waktu
Karena jarak dan
Karena aku tak bisa menemuimu

Malang, 2007
CATATAN DIPERBATASAN ;
Episode I

Kerang-kerang hanya diam
Bersembunyi dibalik kokoh tiang jembatan
Ikan berenang tak menawan
Pada lautan yang tak dalam

Sementara itu……
Jundi-jundi kecil berlarian 
Telanjang dada dan tanpa alas kaki
Bekejaran, berebut mainan
Tak peduli terik mentari
Lemparkan penat pada alam

Keangkuhan Tidar, Kalimutu, Tirtasakti, Mayang dan kawanannya
Serupa, elok bidadari yang tak tertandingi
Diam, tepekur menunggu para pengantri…..

Kemana mereka akan dibawa pergi
Melewati samudra luas yang tak bertepi?
Mereka….para pengungsi, TKI, penjual roti, anak Bupati dan para pengais rizki?

Sidoarjo, 4 Februari 2008 


PULANGLAH LELAKIKU

Biar mentari yang mengantarmu; aku diam
Biar bintang yang membimbingmu; aku diam
Biar awan yang menemanimu; aku diam
Biar lautan yang menunjukkanmu; aku diam

Malam ini kau pulang
Menerjang aral yang menghadang
Aku tak akan mengantarkanmu
Walau hanya ditepian

Ku hanya bisa bertitip salam
Pada bintang yang mengiringimu
Semoga selamat sampai tujuan 

Malang, 5 Maret 2008 

Monday, December 1, 2008

UNTUKKU BERTUHAN

Tamiiiiiim

Rembulan yang Kini Hadir

Rembulan yang kini hadir
Adalah sebuah nama yang selama ini terbait
Di sela-sela puji-pujian para pujangga yang hilir-mudik
Mewarnai kidung-kidung yang setiap saat singgah
Di medan-medan percintaan
Manusia dan manusia

Merengkuh, mengepal dan menembus batas jiwa
Membungkam setiap peluh yang tertinggal
Dalam nuansa kepedihan yang sengaja dikorbankan

Menanam seribu symbol kerinduan yang terajut
Di awal perjalanan hati
Yang mewarnainya dengan berjuta khayalan
Di setiap jengkal angan-angan
Membuatnya dekat mendekat dalam setiap kenangan

Rembulan yang kini hadir
Adalah sebuah nama yang selama ini terkurung
Di ujung hasrat sebagai kuasa kodrat
Membuat manusia mengulurkan tangan demi
Sebaris makna…cinta

Termasuk juga aku
Yang tiada mampu berbeda dengan mimpi-mimpi
Para pemegang asa
Di gedung-gedung kerinduan
Sampai tiang-tiang mahligai yang sekian lama membendung diri
Menyampaikan beberapa risalah hati
Untuk para rembulan
Yang tiada tahu apakah masih terlelap
atau telah lama pergi membuana menyinggahi para pecinta abadi

Rembulan yang kini hadir
Adalah sebuah nama yang selama ini sulit disebutkan
Terlalu tinggi hingga pujanggapun akan menangis
Jika kekasihnya jadi rembulan


Malang, 2007

Sebersit Kasih Saat Pagi

Hujan pagi ini
Menuntaskan batas kegelapan yang telah berpamit
Meninggalkan peraduan yang membuat satu perjalanan hari terlewati
Oleh dinginnya kesyahduan malam
Oleh derasnya kerinduan mentari

Melintasi sepenggal demi sepenggal jarak
Yang terbentang sebagai awal persembahan waktu
Di pelataran rembulan dan mentari
Jadi saksi atas persalinan hari

Hujan pagi ini
Mengaburkan sepenggal kemesraan
Yang kiranya tak tersadari oleh hati
Antara percik dan embun
Antara ada dan tiada

Maka lingkarilah sepenggal kemesraan itu
Dengan sedikit kata hati
Hingga dapat Kau lihat seberkas kasih
Yang menyelimuti dengan samar
Di balik tajamnya penglihatan

Hujan pagi ini
Membingkai keindahan basah
Yang belakangan ini hilang dari pandangan


Malang, 2007


Karena Debu Ini
Ku ingin menyentuh-Mu

Debu ini menghalangi sepasang mata
Di balik sajadah
Yang tergolek lusuh merayap perlahan
Mengitari tubuh yang memohon syahadah

Pun tiada kata terucap
Menyangga keperihan penyesalan
Yang membuatnya tertancap pasih
Hanya satu tetes dua tetes tiga tetes dan banyak tetes
Yang saling berpelukan
dan menyatu
dan tersungkur

Matanya merah
Merejam riwayat yang membuatnya jadi sampah
Hitam putih
Bertabur aroma kamboja

“Hai Kau yang membuat tubuh
aku mohon padamu
sapihlah air mataku yang jatuh ini
dengan tanganMu
agar kubisa menyentuhMu”


MalanG


DI BALIK AKU DAN DIA

I
Di balik keindahan yang terlahir
Dari dunia yang rapuh
Ku sapa setapak jejak tangis
Kering sepah dalam sejarah dan hati
Mengorek luka dari serpihan kaca yang tercecer

II
Setiap luka terbisik duka
Yang tersuling atas pesan-pesan
Masa depan yang diharap bersih
Menandingi luka yang selama ini diderita

III
Dan pada setiap luka
Tergambar sebuah mahligai
Yang sewaktu-waktu datang
Membawa dua gulungan perban dan sedikit alkohol
Untuk menutup luka
Dan berharap tertutup selamanya

IV
Bila harapan itu tiba
Seusai pelarian sirat
Lembaran-lembaran yang dulu hilang
Pun akan terlebur jadi dua
Aku dan Dia


Malang, 30 April 2007


ANDAIKAN KAU BENAR TENTANG INI

Andaikan Kau benar tentang ini
Maka izinkanlah aku untuk mengulang apa yang Kau katakan
Menghafalnya dalam kata
Sambil menutup mata
Dan tersenyum ringai
Tanpa ragu

Menyebutnya berkali-kali
Hingga tak kuingat lagi sampai mana jalan ini kutapaki
Hanya cinta
Hanya pasrah

Andaikan Kau benar tentang ini
Maka izinkanlah aku untuk berpikir tentang apa yang Kau katakan
Memilah-milah makna abadi
Dari gambar kebenaranMu
Yang seringkali menunduk malu
Atau hanya tak punya waktu untuk membuka mata

Ia terlalu lugu
Hingga untuk menampakkan diri dalam
Kaburnya petuah beliau, beliau dan beliaupun
Ia masih menunduk

Andaikan Kau benar tentang ini
Maka izinkanlah aku untuk melakukan apa yang Kau katakan
Sambil membaca basmalah
Ku buka mata perlahan
Dan ku coba injak duri yang selama ini menjilati kakiku
Agar ku tahu sakitnya
Atau ku tahu senangnya menginjak
Walau mataku terus berair

Andaikan Kau benar tentang ini
Maka izinkanlah aku untuk menganggapmu benar
Dan menunjukkannya pada waktu


Malang, 02 Mei 2007



SENYUM
Andai dunia menganggapmu


Kalau saja singgasana keindahan manusia
Terpenuhi sejumput senyum “tulus”
Maka dunia tak ‘kan kehilangan damai
Dari alamat tuan hingga gubuk tua sang pedati
Segala niscaya akan terukir dalam benak
Yang mungkin bukan mengadu, tapi mengaku
Pintu-pintu pun dan apapun akan senang hati
Membuka diri pada semua abdi

Tak ‘kan ada hati yang mati
Tak ‘kan ada diri yang tersakiti
Bahkan mungkin tak ‘kan ada yang bunuh diri
Seisi bumi akan menyanyi lagu-lagu hati
Di sela-sela keluhuran nurani dengan mahkota mungil
Yang siap menyapa setiap pejalan kaki
Yang mungkin lewat di depan imaji

Kilau jari-jari embun di sekujur perjalanan waktu
Pun tak ‘kan menari ragu
Dengan bekal-bekal keindahan,
Bahkan keharuan syahdu-syahdu yang termangu
Di balik keabadian rindu.

Wahai senyum yang rekah
Abadikan damai dalam bingkai cinta
Tampakkan surga di dua sisi mata
Hingga “mereka” tertarik
Hingga “mereka” tak sabar masuk ke duniamu
Hingga suatu saat tak tersisa “mereka” tanpamu



Malang, 13 November 2006