Sajak-sajak IKA MUDRIKA
IBU DAN SENYUMNYA
Senyumnya serupa rembulan yang purnama
Seumpama matahari di titik kulminasi
Layaknya bumi yang tak henti berotasi
Hanya damai yang kurasakan
Tak ada yang bisa menggantikan
Saat senyumnya mengembang
Dari bibir yang penuh kearifan
Dari mata yang memancarkan kehangatan
Malaikat diutus Tuhan untuk senantiasa menjaganya; menjaga Ibu
Menyimpan senyumnya yang pualam
Agar tak sampai kehabisan
Tuhan titipkan kedamaian
Pada tiap-tiap harapan
Sidoarjo, 4 Februari 2008
MAAFKAN AKU IBU,,,,,
Aku tak tahu
Apakah lebaran kali ini ku masih bisa menyentuh
Telapak tanganmu yang selalu ku rindu
Telapak tangan yang penuh haru
Haru oleh juangmu
Haru oleh pengorbananmu
Haru oleh tegarmu
Maafkan aku ibu,,,,,,,
Aku tak faham
Apakah aku masih dalam gelimang dosa?
Karena kali ini ku ulang lagi
Aku tak bisa menjumpaimu
Karena waktu
Karena jarak dan
Karena aku tak bisa menemuimu
Malang, 2007
CATATAN DIPERBATASAN ;
Episode I
Kerang-kerang hanya diam
Bersembunyi dibalik kokoh tiang jembatan
Ikan berenang tak menawan
Pada lautan yang tak dalam
Sementara itu……
Jundi-jundi kecil berlarian
Telanjang dada dan tanpa alas kaki
Bekejaran, berebut mainan
Tak peduli terik mentari
Lemparkan penat pada alam
Keangkuhan Tidar, Kalimutu, Tirtasakti, Mayang dan kawanannya
Serupa, elok bidadari yang tak tertandingi
Diam, tepekur menunggu para pengantri…..
Kemana mereka akan dibawa pergi
Melewati samudra luas yang tak bertepi?
Mereka….para pengungsi, TKI, penjual roti, anak Bupati dan para pengais rizki?
Sidoarjo, 4 Februari 2008
PULANGLAH LELAKIKU
Biar mentari yang mengantarmu; aku diam
Biar bintang yang membimbingmu; aku diam
Biar awan yang menemanimu; aku diam
Biar lautan yang menunjukkanmu; aku diam
Malam ini kau pulang
Menerjang aral yang menghadang
Aku tak akan mengantarkanmu
Walau hanya ditepian
Ku hanya bisa bertitip salam
Pada bintang yang mengiringimu
Semoga selamat sampai tujuan
Malang, 5 Maret 2008
www.wikipedia.com
Friday, December 12, 2008
Monday, December 1, 2008
UNTUKKU BERTUHAN
Tamiiiiiim
Rembulan yang Kini Hadir
Rembulan yang kini hadir
Adalah sebuah nama yang selama ini terbait
Di sela-sela puji-pujian para pujangga yang hilir-mudik
Mewarnai kidung-kidung yang setiap saat singgah
Di medan-medan percintaan
Manusia dan manusia
Merengkuh, mengepal dan menembus batas jiwa
Membungkam setiap peluh yang tertinggal
Dalam nuansa kepedihan yang sengaja dikorbankan
Menanam seribu symbol kerinduan yang terajut
Di awal perjalanan hati
Yang mewarnainya dengan berjuta khayalan
Di setiap jengkal angan-angan
Membuatnya dekat mendekat dalam setiap kenangan
Rembulan yang kini hadir
Adalah sebuah nama yang selama ini terkurung
Di ujung hasrat sebagai kuasa kodrat
Membuat manusia mengulurkan tangan demi
Sebaris makna…cinta
Termasuk juga aku
Yang tiada mampu berbeda dengan mimpi-mimpi
Para pemegang asa
Di gedung-gedung kerinduan
Sampai tiang-tiang mahligai yang sekian lama membendung diri
Menyampaikan beberapa risalah hati
Untuk para rembulan
Yang tiada tahu apakah masih terlelap
atau telah lama pergi membuana menyinggahi para pecinta abadi
Rembulan yang kini hadir
Adalah sebuah nama yang selama ini sulit disebutkan
Terlalu tinggi hingga pujanggapun akan menangis
Jika kekasihnya jadi rembulan
Malang, 2007
Sebersit Kasih Saat Pagi
Hujan pagi ini
Menuntaskan batas kegelapan yang telah berpamit
Meninggalkan peraduan yang membuat satu perjalanan hari terlewati
Oleh dinginnya kesyahduan malam
Oleh derasnya kerinduan mentari
Melintasi sepenggal demi sepenggal jarak
Yang terbentang sebagai awal persembahan waktu
Di pelataran rembulan dan mentari
Jadi saksi atas persalinan hari
Hujan pagi ini
Mengaburkan sepenggal kemesraan
Yang kiranya tak tersadari oleh hati
Antara percik dan embun
Antara ada dan tiada
Maka lingkarilah sepenggal kemesraan itu
Dengan sedikit kata hati
Hingga dapat Kau lihat seberkas kasih
Yang menyelimuti dengan samar
Di balik tajamnya penglihatan
Hujan pagi ini
Membingkai keindahan basah
Yang belakangan ini hilang dari pandangan
Malang, 2007
Karena Debu Ini
Ku ingin menyentuh-Mu
Debu ini menghalangi sepasang mata
Di balik sajadah
Yang tergolek lusuh merayap perlahan
Mengitari tubuh yang memohon syahadah
Pun tiada kata terucap
Menyangga keperihan penyesalan
Yang membuatnya tertancap pasih
Hanya satu tetes dua tetes tiga tetes dan banyak tetes
Yang saling berpelukan
dan menyatu
dan tersungkur
Matanya merah
Merejam riwayat yang membuatnya jadi sampah
Hitam putih
Bertabur aroma kamboja
“Hai Kau yang membuat tubuh
aku mohon padamu
sapihlah air mataku yang jatuh ini
dengan tanganMu
agar kubisa menyentuhMu”
MalanG
DI BALIK AKU DAN DIA
I
Di balik keindahan yang terlahir
Dari dunia yang rapuh
Ku sapa setapak jejak tangis
Kering sepah dalam sejarah dan hati
Mengorek luka dari serpihan kaca yang tercecer
II
Setiap luka terbisik duka
Yang tersuling atas pesan-pesan
Masa depan yang diharap bersih
Menandingi luka yang selama ini diderita
III
Dan pada setiap luka
Tergambar sebuah mahligai
Yang sewaktu-waktu datang
Membawa dua gulungan perban dan sedikit alkohol
Untuk menutup luka
Dan berharap tertutup selamanya
IV
Bila harapan itu tiba
Seusai pelarian sirat
Lembaran-lembaran yang dulu hilang
Pun akan terlebur jadi dua
Aku dan Dia
Malang, 30 April 2007
ANDAIKAN KAU BENAR TENTANG INI
Andaikan Kau benar tentang ini
Maka izinkanlah aku untuk mengulang apa yang Kau katakan
Menghafalnya dalam kata
Sambil menutup mata
Dan tersenyum ringai
Tanpa ragu
Menyebutnya berkali-kali
Hingga tak kuingat lagi sampai mana jalan ini kutapaki
Hanya cinta
Hanya pasrah
Andaikan Kau benar tentang ini
Maka izinkanlah aku untuk berpikir tentang apa yang Kau katakan
Memilah-milah makna abadi
Dari gambar kebenaranMu
Yang seringkali menunduk malu
Atau hanya tak punya waktu untuk membuka mata
Ia terlalu lugu
Hingga untuk menampakkan diri dalam
Kaburnya petuah beliau, beliau dan beliaupun
Ia masih menunduk
Andaikan Kau benar tentang ini
Maka izinkanlah aku untuk melakukan apa yang Kau katakan
Sambil membaca basmalah
Ku buka mata perlahan
Dan ku coba injak duri yang selama ini menjilati kakiku
Agar ku tahu sakitnya
Atau ku tahu senangnya menginjak
Walau mataku terus berair
Andaikan Kau benar tentang ini
Maka izinkanlah aku untuk menganggapmu benar
Dan menunjukkannya pada waktu
Malang, 02 Mei 2007
SENYUM
Andai dunia menganggapmu
Kalau saja singgasana keindahan manusia
Terpenuhi sejumput senyum “tulus”
Maka dunia tak ‘kan kehilangan damai
Dari alamat tuan hingga gubuk tua sang pedati
Segala niscaya akan terukir dalam benak
Yang mungkin bukan mengadu, tapi mengaku
Pintu-pintu pun dan apapun akan senang hati
Membuka diri pada semua abdi
Tak ‘kan ada hati yang mati
Tak ‘kan ada diri yang tersakiti
Bahkan mungkin tak ‘kan ada yang bunuh diri
Seisi bumi akan menyanyi lagu-lagu hati
Di sela-sela keluhuran nurani dengan mahkota mungil
Yang siap menyapa setiap pejalan kaki
Yang mungkin lewat di depan imaji
Kilau jari-jari embun di sekujur perjalanan waktu
Pun tak ‘kan menari ragu
Dengan bekal-bekal keindahan,
Bahkan keharuan syahdu-syahdu yang termangu
Di balik keabadian rindu.
Wahai senyum yang rekah
Abadikan damai dalam bingkai cinta
Tampakkan surga di dua sisi mata
Hingga “mereka” tertarik
Hingga “mereka” tak sabar masuk ke duniamu
Hingga suatu saat tak tersisa “mereka” tanpamu
Malang, 13 November 2006
Rembulan yang Kini Hadir
Rembulan yang kini hadir
Adalah sebuah nama yang selama ini terbait
Di sela-sela puji-pujian para pujangga yang hilir-mudik
Mewarnai kidung-kidung yang setiap saat singgah
Di medan-medan percintaan
Manusia dan manusia
Merengkuh, mengepal dan menembus batas jiwa
Membungkam setiap peluh yang tertinggal
Dalam nuansa kepedihan yang sengaja dikorbankan
Menanam seribu symbol kerinduan yang terajut
Di awal perjalanan hati
Yang mewarnainya dengan berjuta khayalan
Di setiap jengkal angan-angan
Membuatnya dekat mendekat dalam setiap kenangan
Rembulan yang kini hadir
Adalah sebuah nama yang selama ini terkurung
Di ujung hasrat sebagai kuasa kodrat
Membuat manusia mengulurkan tangan demi
Sebaris makna…cinta
Termasuk juga aku
Yang tiada mampu berbeda dengan mimpi-mimpi
Para pemegang asa
Di gedung-gedung kerinduan
Sampai tiang-tiang mahligai yang sekian lama membendung diri
Menyampaikan beberapa risalah hati
Untuk para rembulan
Yang tiada tahu apakah masih terlelap
atau telah lama pergi membuana menyinggahi para pecinta abadi
Rembulan yang kini hadir
Adalah sebuah nama yang selama ini sulit disebutkan
Terlalu tinggi hingga pujanggapun akan menangis
Jika kekasihnya jadi rembulan
Malang, 2007
Sebersit Kasih Saat Pagi
Hujan pagi ini
Menuntaskan batas kegelapan yang telah berpamit
Meninggalkan peraduan yang membuat satu perjalanan hari terlewati
Oleh dinginnya kesyahduan malam
Oleh derasnya kerinduan mentari
Melintasi sepenggal demi sepenggal jarak
Yang terbentang sebagai awal persembahan waktu
Di pelataran rembulan dan mentari
Jadi saksi atas persalinan hari
Hujan pagi ini
Mengaburkan sepenggal kemesraan
Yang kiranya tak tersadari oleh hati
Antara percik dan embun
Antara ada dan tiada
Maka lingkarilah sepenggal kemesraan itu
Dengan sedikit kata hati
Hingga dapat Kau lihat seberkas kasih
Yang menyelimuti dengan samar
Di balik tajamnya penglihatan
Hujan pagi ini
Membingkai keindahan basah
Yang belakangan ini hilang dari pandangan
Malang, 2007
Karena Debu Ini
Ku ingin menyentuh-Mu
Debu ini menghalangi sepasang mata
Di balik sajadah
Yang tergolek lusuh merayap perlahan
Mengitari tubuh yang memohon syahadah
Pun tiada kata terucap
Menyangga keperihan penyesalan
Yang membuatnya tertancap pasih
Hanya satu tetes dua tetes tiga tetes dan banyak tetes
Yang saling berpelukan
dan menyatu
dan tersungkur
Matanya merah
Merejam riwayat yang membuatnya jadi sampah
Hitam putih
Bertabur aroma kamboja
“Hai Kau yang membuat tubuh
aku mohon padamu
sapihlah air mataku yang jatuh ini
dengan tanganMu
agar kubisa menyentuhMu”
MalanG
DI BALIK AKU DAN DIA
I
Di balik keindahan yang terlahir
Dari dunia yang rapuh
Ku sapa setapak jejak tangis
Kering sepah dalam sejarah dan hati
Mengorek luka dari serpihan kaca yang tercecer
II
Setiap luka terbisik duka
Yang tersuling atas pesan-pesan
Masa depan yang diharap bersih
Menandingi luka yang selama ini diderita
III
Dan pada setiap luka
Tergambar sebuah mahligai
Yang sewaktu-waktu datang
Membawa dua gulungan perban dan sedikit alkohol
Untuk menutup luka
Dan berharap tertutup selamanya
IV
Bila harapan itu tiba
Seusai pelarian sirat
Lembaran-lembaran yang dulu hilang
Pun akan terlebur jadi dua
Aku dan Dia
Malang, 30 April 2007
ANDAIKAN KAU BENAR TENTANG INI
Andaikan Kau benar tentang ini
Maka izinkanlah aku untuk mengulang apa yang Kau katakan
Menghafalnya dalam kata
Sambil menutup mata
Dan tersenyum ringai
Tanpa ragu
Menyebutnya berkali-kali
Hingga tak kuingat lagi sampai mana jalan ini kutapaki
Hanya cinta
Hanya pasrah
Andaikan Kau benar tentang ini
Maka izinkanlah aku untuk berpikir tentang apa yang Kau katakan
Memilah-milah makna abadi
Dari gambar kebenaranMu
Yang seringkali menunduk malu
Atau hanya tak punya waktu untuk membuka mata
Ia terlalu lugu
Hingga untuk menampakkan diri dalam
Kaburnya petuah beliau, beliau dan beliaupun
Ia masih menunduk
Andaikan Kau benar tentang ini
Maka izinkanlah aku untuk melakukan apa yang Kau katakan
Sambil membaca basmalah
Ku buka mata perlahan
Dan ku coba injak duri yang selama ini menjilati kakiku
Agar ku tahu sakitnya
Atau ku tahu senangnya menginjak
Walau mataku terus berair
Andaikan Kau benar tentang ini
Maka izinkanlah aku untuk menganggapmu benar
Dan menunjukkannya pada waktu
Malang, 02 Mei 2007
SENYUM
Andai dunia menganggapmu
Kalau saja singgasana keindahan manusia
Terpenuhi sejumput senyum “tulus”
Maka dunia tak ‘kan kehilangan damai
Dari alamat tuan hingga gubuk tua sang pedati
Segala niscaya akan terukir dalam benak
Yang mungkin bukan mengadu, tapi mengaku
Pintu-pintu pun dan apapun akan senang hati
Membuka diri pada semua abdi
Tak ‘kan ada hati yang mati
Tak ‘kan ada diri yang tersakiti
Bahkan mungkin tak ‘kan ada yang bunuh diri
Seisi bumi akan menyanyi lagu-lagu hati
Di sela-sela keluhuran nurani dengan mahkota mungil
Yang siap menyapa setiap pejalan kaki
Yang mungkin lewat di depan imaji
Kilau jari-jari embun di sekujur perjalanan waktu
Pun tak ‘kan menari ragu
Dengan bekal-bekal keindahan,
Bahkan keharuan syahdu-syahdu yang termangu
Di balik keabadian rindu.
Wahai senyum yang rekah
Abadikan damai dalam bingkai cinta
Tampakkan surga di dua sisi mata
Hingga “mereka” tertarik
Hingga “mereka” tak sabar masuk ke duniamu
Hingga suatu saat tak tersisa “mereka” tanpamu
Malang, 13 November 2006
Subscribe to:
Posts (Atom)