www.wikipedia.com

Sunday, June 21, 2009

MENULISLAH


CINTA DAN KUTU BUSUK

Subuh jam 04.01 WIB, seperti biasanya saya membangunkan santri untuk sholat jamaah di masjid, ketika saya masuk ke salah satu kamar santri, ada di antara mereka yang misuh-misuh dengan nada geram dan luapan amarah penuh kesal, “jancuk, kurang ajar kamu”, saya kaget, kenapa ia sampai misuh-misuh seperti itu.

Eh, tak tahunya ia lagi berperang dengan seekor kutu busuk, dengan gilanya ia meremas-remas bahkan membakarnya. Kenapa ia harus marah dengan luapan emosi yang tinggi, padahal yang dihadapi hanya seekor kutu busuk, yang tidak mungkin melawan apalagi membalas dengan ocehan-ocehan yang lebih sengit. Sungguh ironis dan kadang tidak masuk akal, mengapa santri –yang katanya alim- tega-teganya membunuh dengan nafsunya dan dengan makian dan cacian yang mungkin sang kutu busuk tidak paham dengan kata-katanya itu, ia hanya bisa pasrah dan kalau ada kesempatan lari, tapi kalau tidak, ia tidak akan berbuat apa-apa; diinjak, ditindih, bahkan dibakar ia tetap pasrah.

Tidakkah kita ingat, kisah Ali bin Abi Tholib sahabat dan juga keponakan Nabi saw, yang tangannya terhenti kaku untuk mematahkan leher musuhnya yang sudah ada di hadapannya hanya gara-gara musuhnya meludahi mukanya. Ali tidak menebaskan pedangnya, karena ia takut, jangan-jangan ia membunuh bukan karena kecintaannya pada Allah swt, tapi karena nafsunya yang lebih dikedepankan karena meludahi mukanya. Atau kisah Sunan Bonang yang menangis tersedu-sedu dan beristighfar tiada henti-hentinya, gara-gara ia mencabut rumput dengan tidak sengaja. Atau kisah Nabi Sulaiman as yang menghentikan seluruh pasukan besarnya yang terdiri dari seluruh jenis makhluk, hanya gara-gara di depannya melihat semut kecil. Juga kisah Nabi Ayyub as yang tak kalah mengharukan, setiap kali ia ingin sholat, dengan sabarnya ia mengambil dan meletakkan ulat-ulat yang menggerogoti daging-dagingnya, kemudian dikembalikan ketubuhnya setelah selesai shalat, dan membiarkannya melahap kembali sisa-sisa daging yang masih tersisa balik tulang-tulangnya.

Sungguh, betapa indah kehidupan mereka, yang hidup di dunia yang belum mengenal istilah HAM (Hak Asasi Manusia) HAH (Hak Asasi Hewan), HAT (Hak Asasi Tumbuhan) dan belum mengenal pasal-pasal, bab-bab tentang itu semua, tapi mereka dapat hidup damai, sejahtera, tanpa meluapkan nafsu amarah yang tidak pada tempatnya, saling hormat menghormati dan menghargai sesama makhluq baik yang bernyawa atau tidak. Mereka hanya patuh pada nurani yang bersumber pada ajaran Tuhan.

Sedangkan kita masih bebas membantai hewan-hewan, mencabuti tumbuh-tumbuhan tanpa etik, mencemari sungai-sungan dan lautan, dan mencaci maki bahkan membunuh manusia-manusia yang hanya mencolek perasaan kita, sedangkan setiap hari kita disuguhi undang-undang kemanusiaan (rule of live), ajaran-ajaran agama, ceramah-ceramah yang tidak pernah sepi. Apa sebenarnya yang salah pada diri kita?, apa nurani-nurani kita terlalu kotor sehingga cahaya-cahaya iman tidak mampu lagi memberikan pencerahan. Atau kita terlalu sombong berlaga seperti Tuhan dengan seenaknya membunuh makhluq-makhluq yang tidak berdosa. Sedangkan Tuhan pun –yang memiliki kehidupan kita- tidak mudah menyiksa, menyakiti, dan membunuh meskipun jelas-jelas hamba-hambanya bermaksiat, membuat onar di muka bumi dan menyekutukan-Nya, Dia masih memberi rizki, kasih-sayang dan kenikmatan yang tak terkirakan.
Di manakah hati nurani kita,? [ ]
Halimi Zuhdy  

Sudut Pandang 02

Euforia Sepakbola dan Musik
Tak bisa kita pungkiri lagi sepakbola dan musik telah menjadi pandemi global sejak puluhan tahun silam, malah sekarang telah menjelma menjadi sebuah industri yang prestesius, menghibur dan menghasilkan keuntungan luar biasa bagi pengelolanya entah itu negara, klub, maupun individu yang tentunya menarik wisatawan domestik maupun mancanegara. Demi melihat Manchester United yang akan bertanding dengan Timnas Indonesia Juli nanti, puluhan ribu suporter rela merogoh sakunya dalam-dalam demi memuaskan euforia dirinya. Belum lagi jika suatu saat Linkin Park, Muse ataupun Metallica manggung di Indonesia, atau bahkan Slank, Peterpan, Dewi Persik, Soneta tampil misalnya bisa dipastikan tumpah ruahlah jamaah musik tumplek blek dimanapun jagoannya unjukgigi.
Kita semua sepakat Brazil dan Italia sebagai kiblat sepakbola tradisonal-modern dunia dewasa ini, selain Jerman, Argentina, Prancis, Uruguay, dan Inggris. Didalam sepakbola dan musik terdapat cita rasa khas istimewa seperti budaya, aliran, kolaborasi etnik, bahkan lintas suku, agama, ras, dan golongan. Kalau di musik ada aliran dangdut, pop, rock, jazz, heavy-metal, punk, underground, melayu, etnik, country, alternatif dan sebagainya, sepakbola juga tidak hanya monoton menganut satu macam madhzab saja ada sepakbola indah Samba Brazil, Total Football-Belanda, Tango Argentina, grendel-cattenacio Italia, determinasi tinggi Panser Jerman, kelincahan-keluwesan Spanyol, pantang menyerah Korea-Jepang, tusukan-tusukan Afrika sampai kecepatan ala Negara ASEAN. 
Berbicara barometer sepakbola Indonesia, kita harus berhenti sejenak pada propinsi Jawa Timur sebelum menoleh ke Papua, Makasar, Palembang, Jakarta, Bandung maupun Semarang. Pun juga ngomong aliran musik cadas “rock” dan ragam aliran musik lainnya layaknya Boomerang, DEWA 19, Padi, dan setelahnya bisa kita jumpai di propinsi ini tanpa bermaksud narsis atau menomorduakan kota-kota lainnya.
Khusus di ranah sepakbola, dari Kediri ada Macan Putih Persik dengan Persikmanianya dan Persedikab, ke timur sedikit ada Arema Singo Edan Malang (Aremania) dan saudaranya Persema si Bledek Biru (Ngalamania), lalu Pasuruan dengan Persekabpas dan Sakeramanianya, ke utara ada Deltras-The Lobster dan Deltamania kemudian Bajul Ijo Persebaya Surabaya plus Bonekmania, di pantura ada titisan Petrokimia Gresik dan Persegres yang menjadi Gresik United si Laskar Jaka Samudra serta Laskar Jaka tingkir Persela Lamongan ditambah Persibo Bojonegoro, berturut-turut kemudian Mojokerto Putra, PSBI Blitar, Persid Jember dan lain sebagainya. Faktanya ditingkat nasional saja, Jawa Timur mampu mempertahankan medali emas PON tiga kali berturut-turut khususnya. Belum lagi raihan juara dari klub-klub asli Jatim sejak zaman perserikatan dan galatama hingga liga profesional Indonesia. 
Terlepas dari menurunnya prestasi klub Jatim di ISL tahun ini meski tidak merembet ke divisi utama dan satu, panasnya derbi Jatim sendiri, gesekan suporter, keributan antar pemain dan hal positif-negatif serta pro-kontra yang menyertainya. Sepakbola layaknya musik adalah media hiburan yang mampu melewati benteng SARA. 
Taruhlah Pato Moralesnya Arema, Ronald Fagundes Persik, Andik Vermansyahnya Persebaya, dan ikon-ikon klub lainnya. Mereka selalu dielu-elukan pendukungnya diseluruh penjuru Indonesia tanpa melihat latar belakang suku, agama, ras dan golongannya. Contoh besarnya adalah Maradona, Pele, Roberto Baggio, Ronaldo, Figo, Zinedine Zidane, Kaka, Cristian Ronaldo, Frank Ribery, Lionel Messi, dan seterusnya. Mereka adalah figur-figur besar idola penggila bola di bawah kolong jagad raya, tanpa ada diskriminasi dan lontaran SARA yang menghadangnya. Andaikata ada, individu alias setiap pemain sepakbola telah dilindungi oleh undang-undang FIFA yang mengikat dan memiliki kekuatan hukum internasional.
Sepakbola dan musik ibaratnya adalah virus jinak yang menghibur dan mengundang decak kagum universal. Jika dipegang oleh tangan-tangan tangguh, profesional, inovatif, intertainer, dan bertanggung jawab, apalagi disuplai dana melimpah. Sebaliknya akan menjadi monster ganas yang akan membakar hati pemain, pelatih, manajer, suporter, stadion, wasit dan lembaga yang menaunginya disatu sisi sebab tidak fair play.
Bersamaan itu pula musik lewat panggung dan corong media massa akan menjadi sarana dahsyat yang menghipnotis dunia dari satu rumah ke rumah lainnya hingga antar benua karena pesan dan kualitas musiknya, namun bisa segera metamorfosis menjadi arena gladiator masal yang berujung kematian karena beda aliran musik, goyangan artis, mabuk alkohol-narkoba yang konon jadi sumber inspirasi bagi para pencipta dan fans setianya sebab saling senggol antar individu atau kelompok saat artis pujaannya beraksi dipentas, ironis memang.  
Setidaknya kita harus jujur sepakbola dan musik adalah obat gratis dan simbiosis mutualisme di dalam dan luar stadion bagi suporter khususnya untuk membangkitkan nasionalisme tim nasional hingga klub kebanggaan. Keduanya bisa kita lihat dan mainkan secara reguler lewat kerjasama tim maupun perorangan dimanapun dan kapanpun kita berada tanpa menafikan toleransi-tenggang rasa yang kuat satu sama lain. Sebelum kita temukan lagi obat-obat universal lainnya yang mampu melompati tak hanya ruang dan waktu tapi juga SARA ditengah-tengah himpitan permasalahan yang menghadang. Selamat berolah raga dan bermusik.  
Junaidi Abdillah