www.wikipedia.com

Tuesday, March 16, 2010

Futsal, Ngopi, dan PS-an


Di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat kata pepatah kuno Yunani. Disadari atau tidak, banyak dari kalangan Mahasiswa dan Pelajar Kota Malang khususnya memanfaatkan waktu senggangnya dengan olahraga futsal, nongkrong di warung kopi, pergi ke rental playstation guna menyegarkan kembali fisik dan psikisnya yang sedang lelah setelah kuliah atau sekolah.
Gayungpun bersambut, semakin hari arena futsal menjamur dimana-mana dengan fasilitas dan tarif beragam, warung kopi tradisonal hingga hot-spot sudah menjadi keseharian, belum lagi sewa antar jemput PS telah menjadi simbiosis mutualisme antara Gamer dan Renter PS.
Beberapa diantara tempat-tempat tersebut diatas memiliki daya tarik tersendiri, salah satunya adalah lokasi futsal yang unik letaknya. Kalau anda sedang bepergian lewat Landungsari dalam tengoklah di tengah-tengah terminal angkutan kota JDM, lapangan futsal cukup megah dan lengkap telah tersedia disana. Lain lagi di Sukun ada warung kopi ASNGOJA (asyiknya ngopi aja) yang diprakarsai oleh alumni Santri Bahrul Ulum Tambakberas Jombang Faiq namanya, posisinya 150 m ke arah Gadang kanan jalan, dia terinspirasi novel sufistik “Kedai Sufi Kang Luqman” karya KH. Luqman Hakim. Dia ingin menjadikan warung kopinya menjadi sebuah kedai ilmu bagi seluruh lapisan masyarakat, apapun warnanya, kulitnya, agamanya, dan seterusnya. Beda lagi dengan sewa antar jemput PS satu ini, Abi-Umi namanya beralamatkan di Sumbesari gang 2 sekaligus komisariat organisasi ekstra mahasiswa non politik. Awalnya yang empunya usaha PS ini adalah penggila PS, namun lambat laun dia menjadikan hobinya itu sebagai sebuah peluang usaha guna menjadikan dirinya lebih mandiri dan bertanggungjawab dari sebelum-sebelumnya.
Dari contoh diatas kesemuanya (mahasiswa, pelajar, masyarakat) hanya ingin menjadikan dirinya sehat secara jasmani dan rohani sebisa mungkin, selain banyak lagi alternatif lain tentunya. Apalagi jika futsal, ngopi, dan PS-an tersebut tidak melulu fokus pada kuantitasnya saja, tetapi juga bagaimana mengasah dan meningkatkan kualitas hidupnya dengan hal-hal yang disukainya. Misalnya saat bermain futsal tidak hanya asal main begitu saja menedang bola, tetapi bagaimana lewat futsal itu bisa belajar mengendalikan diri untuk tidak egois, marah-marah, kerjasama tim. Sewaktu ngopi tidak sekedar menyeruput kopi semata, andaikata diselingi dengan diskusi, membaca buku, membuang jauh-jauh ide untukl browsing-online untuk hal yang tidak penting. Terlebih saat PS-an, andaikata diniati untuk dzikir (mengingat Alloh SWT) selain belajar sabar dan strategi mengalahkan diri sendiri, tentunya sedikit banyak kita bisa belajar banyak dari sesuatu yang nampaknya secara kasat mata itu hanyalah sebuah permainan, namun ternyata kita mendapat lebih dari bayangan pepatah kuno Yunani diatas. Indah bukan?

*Pernah nongol di koran SURYA Senin, 8 Maret 2010

Junaidi Abdillah

"ANAK INDONESIA BUTUH LEBIH DARI SEKEDAR IPIN & UPIN"


ALASANNYA:
1. (Jujur) Saya suka....banget menonton aksi seri Ipin & Upin di layar kaca TPI.
2. Bangga...bisa menjadi bagian dari sejarah pemirsa yang menyaksikan film kartun berkualitas nan sederhana ditayangkan dan dicintai jutaan penonton (mungkin).
3. Cemburu...kok hanya bisa bisa menjadi penikmat impor dari negeri jiran Malaysia (bukan sentimen).
4. Butuh...selanjutnya keseriusan para senias kartun Indonesia menjadi tuan rumah yang baik yang mampu menciptakan tandingan vitamin film-film kartun yang bergizi dari sekarang, sederhananya SDM dan SDA kita tak terbatas (mari kita buktikan idemu).

UNTUK GENERASI HIJAU INDONESIA KEMUDIAN YANG PENUH SENYUM, PELANGI, INDAH, BERETIKA,BERAGAMA, DAMAI DAN DIBERKATI TUHAN YANG TERMAHA SEMPURNA.

BISU

Kau bisu
Bukan karena kau tak punya mulut
Juga bukan karena kau tak ada suara
Tapi kau diam seribu bahasa
Bahasa yang tidak semua orang
paham bahasa kau
bahasa gemerak gigimu
bahasa lirikan matamu
bahasa kecongkakan tubuhmu
bahasa kerdipan alismu


bahasa jidatmu
bahasa gerak telunjukmu
bahasa hentakan kakimu
kau bisu
bukan karena kau tidak punya nafsu
juga bukan karena kau tak lagi bernafsu
tapi kau bisu karena hatimu
yang lagi lumpuh
lumpuh dari kebenaran
lumpuh meneriakkan keagungan
lumpuh dari cahaya
bukan lumpuh karena kau tidak berkaki
atawa tidak punya kaki
atawa kakimu lagi berbisul

bisu
adalah pilihan dari sekian pilihan ketidak berdayaan

Telaah Kritis Terhadap pendapat orientalis

Kamis, 11 Maret, 2010
07:50
Halimi Zuhdy

Al-qur’an yang merupakan kitab suci yang sangat unik, dengan melalui proses sejarah yang panjang, tetap dapat dijaga kemurniannya. Walaupun masih banyak disana-sini pengkritisan dan bantahan-bantahan bahwa al-qur’an yang sudah berumur berabad-abad sudah mengalami beberapa perubahan yang dapat dibuktikan dengan ketidak samaannya dalam bacaan dan penulisan, sehingga mengakibatkan ketidak samaan dalam memutuskan dan menetapkan sebuah hukum. Maka al-qur’an tidak dapat dipercaya keorisinilannya, dan tidak wajib untuk diikuti.
Untuk membuktikan bahwa al-qur’an bukan hasil rekayasa dan penciptaan para imam, terutama dalam qira’at al-qur’an dan juga untuk menulak ketidak benaran pendapat para orientalis tersebut, penulis kemukakan bentahan para ulama terhadap pernyataan mereka, yaitu antara lain sebagai berikut :



a) Sejarah mencatat, bahwa Qur'an termasuk qira'ahnya telah dihafal oleh sahabat sejak masa Abu Bakar, dan sebelum dibukukan oleh Usman bin Affan, hafalan tersebut berlanjut sampai masa imam Qiratus al-Sab'ah.
Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa Qira'ah al-Qur'an bersumber dari periwayatan dan pendengaran yang sanad-nya bersambung pada Nabi, perbedaan bacaan bukan karena tidak adanya tanda baca atau tanda huruf.
b) Seandainya yang menjadi penyebab perbedaan Qira'ah al-Qur'an itu karena ketiadaan tanda huruf dan tanda baca, tentu setiap Qira'ah al-Qur'an yang memungkinkan dibaca sesuai dengan rasm al-mushhaf, akan diakui eksistensinya sebagai Qira'ah. Akan tetapi kenyataanya tidaklah demikian.
َوقُرْاناً فرَقْنَاهُ لِتَكْرَأَهٌ عَلَى النَّاسِِِ عَلَى مُكْثِ (الإسراء/ 102. 17 )
Menurut ketentuan bahasa Arab, rasm (مكث ) bisa dibaca (مَكْثٍ ), bisa dibaca (مِكْثٍ ), dan juga bisa dibaca (مُكْثٍ ). Akan tetapi semua ahli qiraah tidak membacanya selain (مُكْثٍ ). Demikian juga (مللك ) yang terdapat dalam tiga surat (al-Fatihah, ali-'Imran, an-Nas).
c) Seandainya perbedaan Qira'a al—Qur'an itu karena tidak adanya tanda huruf dan tanda baca dalam mushhaf. Dan setiap Imam Memiliki versi sendiri tentang bacaan maka yang akan terjadi adalah al-qur'an bukan lagi Kalam Allah tetapi hasil rekayasa manusia, dan didalamnya ada campur tangan manusia, namun yang terjadi tidak demikian. Dan jikalau setiap imam memiliki versi sendiri tentang pembacaan al-qur’an, sudah berapa banyak cara baca al-qur’an mulai sejak al-Qur’an itu diturunkan.
d) Dalam (QsYunus/10:15) Allah menegaskan bahwa nabi mmuhammad tidak berhak mengubah,menambah, dan mengurangi, tidak mempunyai wewenang untuk mengubah suatu huruf dengan huruf lain. (قل ما يكون لى ان ابدله من تلقاء نفسي ) Apabila nabi sendiri dilarang keras mengubah, menambanh atau mengurangi yang menyangkut lafazd atau huruf al-Qur'an, maka terlebih lagi para sahabat, tabi'in ataupun yang lainnya.
e) Allah SWT. Telah berjanji dalam al-Qur'an bahwa Ia akan memelihara al-Qur'an dari hal-hal yang memungkinka terjadinya perngubahan, pergantian, dan lain-lain (Qs. Al-hijr/15:9) dan juga tidak akan terjamah oleh tangan-tangan kotor atau pemalsuan-pemalsuan (Qs. Fushshilat/41:41-42).
f) Al-Qur'an yang merupakan kitab samawi berbeda dengan kitab-kitab samawi lainnya yang mengalami perombakan, perubahan karena tangan-tangan jahil dan tangan kotor para tokoh kafir. Sehingga kitab-kitab samawi yang ada sekarang tidak murni lagi, berbeda dengan al-Qur'an yang diriwayatkan secara mutawatir melalui sanad yang sahih. Adil lagi dlabith dari generasi kegenerasi berikutnya. Ia langsung diterima oleh Nabi SaW. Huruf demi huruf, lafaz demi lafaz, kalimat demi kalimat.
Nabi muhammad hanya bertugas menyampaikan kepada sahabat dan kaum muslimin di kala itu. (Qs. Al-Maidah/5;67)
Pendapat para orentalis terhadap Qira'atul Qur'an bermaksud untuk menghilangkan keorisinalan al-Qur'an, dengan berpedapat bahwa al-Qur'an hasil olah tangan manusia, ada campur tangan manusia dan hasil rekayasa muhammad. Sehingga al-qur'an yang diyakini oleh umat Islam dengan seperangkat hukum-hukum yang ada didalamnya tidaklah dapat dipercaya. Oleh karena itu al-Qur'an yang merupakan rujukan umat Islam, tidaklah murni dari Tuhan dan tidak perlu dipercayaai atau diikuti.
Mengapa Qira'atul Qur'an bisa berbeda, tidakkan dengan perbedaan tersebut membuktikan bahwa al-qur'an hanya rekayasa dan hasil olah ahli qiraah, serta disesuaikan dengan keinginan mereka. Dan adanya formalisasi qiraah yang ada sekarang karena fanatisme belaka, hal itulah yang sering muncul di kalangan para pemuda dan mahasiswa muslim, karena mereka belum mengetahui tentang sebab-sebab perbedaan cara baca al-qur'an sehingga muncul beberapa versi, versi yang diakui ada 7 bacaan, yang terkenal dengan Qira'atus Sab'ah mereka itu adalah Abu 'Amr, Nafi,. 'Asim, hamzah, al-Kisa'I, Ibn 'Amir dan ibn Kasir.
Untuk mengetahui sumber perbedaan Qira'atul al-Qur'an, maka harus mengetahui latar belakang, mengapa Qira'atul al-Qur'an bisa berbeda.
Dalam Bukunya hasanuddin (1995) bahwa berdasarkan pengamatan terhadap berbagai qira'ah yang al-Qur'an yang ada, para ulama seperti Ibnu Qutaiybat, al-fakhr al-Razi dan ibn al-Jaziri berkesimpulan, bahwa pada garis besarnya perbedaan Qira'atul al-Qur'an itu dapat dikelompokkan sebagai berikut.
a) Berbeda harakat atau syakl, tampa danya perbedaan dalam maksud ataupun bentuk tulisan, seperti dalam contoh-contoh berikut.
وأشهدوا اذا تبايعتم ولايضار كاتب ولاشهيد (البقرة/ 2:382)
Kata (يُضَارَّ) dalam ayatbtersebut bisa dibaca يُضَارُّ)) tampa berubah maksud ataupun tulisan.
b) Berbeda harakatatau syakl, berubah makna, akan tetapi bentuk tulisannya tidak berubah, seprti dalam contoh :
فتلقى ادمُ من ربه كلماتٍ (البقرة / 2: 37)
Ayat tersebut bisa dibaca :
فتلقى ادمَ من ربه كلماتٌ
c) Berbeda huruf, berbeda makna, akan tetapi bentuk tulisannya sama, seprti dalam contoh :
و انظر الى العظام كيف نُنْشِزُهَا ثم نكسوها لحما
Kata (نُنْشِزُهَا) dalam ayat diatas bisa pula dibaca dengan (نَنْشُزُهَا).
d) Berbeda huruf, berbda tulisan, akan tetapi tidak berubah makna, seperti dalam contoh berikut :
وتكمن الجبال كالعهن المنفوش
Kata ( العهن ) dalam ayat tersebut dapat di baca ( الصوف) sehingga bunyi tersebut menjadi :
وتكمن الجبال كالصوف المنفوش
Akan tetapi maknanya tidak berubah.

Selain diatas ada beberapa pendapat ulama tentang sebab perbedanya qira’ah al-Qur’an. Bahwa perdeaan qira’ah al-Qur’an disebabkan karena Qira’ah NabiSAW, Artinya dalam menyampaikan dan mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya , beliau membacakannya dalam berbagai versi qiraah.
Ada yang mengatakan bahwa dengan adanya Taqrir nabi terhadap bacaan kaum pada waktu itu. Hal tersebut menyangjut perbedaan dialek kebahasaan diantara mereka dalam mengucaokan lafadz-lafadz tertentu dalam al-Qur’an. Juga ada ulam yang mengatakan bahwa perbedaan tersebut dikarenakan berbedanya qira’ah yang di turunkan Allah kepada Nabi melalui malaikat Jibril.

Tuesday, March 2, 2010

Menapaki Jejak Gus Dur


BUKU berjudul Jagadnya Gus Dur; Demokrasi, Pluralisme, dan Pribumisasi Islam yang ditulis KH Zainal Arifin Thoha ini adalah buku yang mengulas jejak langkah, pemikiran-pemikiran dan gerakan Gus Dur. Mulai gerakan kultural (sebagai ketua umum PB NU) sampai pada struktural (menjadi presiden keempat RI).

Dalam buku ini dikatakan bahwa Gus Dur adalah sosok kiai yang cerdas, karismatik, dan jenaka. Dia selalu bersikap i'tisar, yakni menyenangkan orang lain dengan selalu bersikap akomodatif dan demokratis, serta mampu mengalahkan dirinya sendiri. Dalam hal ini, banyak anak muda dan tokoh nonmuslim yang terinspirasi, baik dari tulisan maupun pernyataan-pernyataan Gus Dur.

Resonansi kekiaian Gus Dur juga tidak hanya dirasakan kalangan umat Islam, tetapi juga di kalangan umat agama lain. Itu sebabnya, kepergian Gus Dur tidak hanya ditangisi oleh kalangan umat Islam, tetapi juga umat agama lain. Hal ini terbukti dari maraknya acara doa lintas iman dan keyakinan yang dirapalkan di berbagai daerah di Indonesia, baik untuk kesembuhan Gus Dur semasa sakit maupun untuk ketenangan arwah Gus Dur yang kini sudah dipanggil ke hadirat-Nya.

Ulama Aktivis

Seperti dikatakan Abdul Moqsith Ghazali (2010) bahwa semasa hidup, Gus Dur bukan hanya tokoh pemikir dan ulama yang bertafsir dan berteologi dari atas menara. Dia adalah seorang aktivis yang terlibat dalam kerja-kerja advokasi, terutama terhadap kelompok-kelompok tertindas, baik dari agama, etnis, maupun gender. Gus Dur akan hadir, misalnya, ketika buruh dan pedagang kaki lima mengalami ketidakadilan. Dia bersumpah akan terus membela hak-hak sipil kelompok Ahmadiyah tatkala hak-hak mereka dirampas. Dia akan datang begitu ada rumah ibadah yang dibakar. ''Manusia perlu dibela, Tuhan tidak,'' kata Gus Dur. Upaya seperti itulah yang membedakan Gus Dur dengan banyak tokoh lain.

Bagi kita, barangkali eksistensi Gus Dur telah menerbitkan tantangan tersendiri, bahwa siapa saja dan di mana saja bisa bangkit dan berdiri seraya melakukan perubahan-perubahan (mulai dari diri sendiri) untuk masyarakat, bangsa dan dunia, yang memiliki arti penting bagi nilai-nilai kemanusiaan, perdamaian, dan kemajuan. Bagi Indonesia, eksistensi Gus Dur telah menerbitkan angin segar yang penuh kebaruan dan harapan bahwa negara bukanlah suara entitas mistis, sakral dan tak terjamah. Sebaliknya, negara tidak lain hanyalah satu entitas dari pluralitas entitas, yang masing-masing (seharusnya) memiliki independensi, yaitu saling menerima dan memberi tanpa intervensi. Dengan demikian, betul-betul tercipta civil society atau kewarganegaraan yang mandiri.

Sang ''Pamomong''

Gus Dur memang sang ''pamomong". Dia figur yang memiliki watak mengayomi, membimbing, serta memperteguh kasih sayang atas sesama tanpa membeda-bedakan latar belakang status sosialnya. Sikap yang ditunjukkan kepada pejabat, misalnya, atau bahkan kepada presiden sekalipun, tidak berbeda dengan sikap yang diberikannya kepada wong cilik. Itu sebabnya, setiap kali mengadakan open house di kediamannya, Gus Dur tetap saja ramah dan penuh kasih sayang kepada siapa saja yang datang. Gus Dur juga seolah telah ditakdirkan oleh sejarah untuk selalu ''zig-zag''. Karena itu pula, barangkali, dia diemong oleh sejarah untuk menjadi jembatan antar berbagai kepentingan.

''Zig-zag'' itu terlihat betapa Gus Dur kecil yang lahir di Pesantren Denanyar, Jombang, kemudian harus pindah ikut orang tuanya ke Jakarta, yang memperkenalkannya dengan khazanah dunia modern. Kemudian dia harus pindah ke Jogjakarta, kembali pada dunia pesantren, termasuk ke Magelang. Lalu dia mengenal dunia Timur Tengah, juga beberapa negara Eropa, lalu kembali ke Jombang, dan pindah serta menetap di Jakarta. Dengan ''zig-zag'' seperti itu Gus Dur menjadi banyak mengenal pluralitas budaya.

Sebagai pamomong, Gus Dur memang memiliki banyak warna. Sebagai figur seorang ulama, dia dikenal dengan wacana ''pribumisasi Islam''-nya. Sebagai negarawan, Gus Dur dikenal dengan gagasan-gagasan ''demokrasi''-nya. Sebagai politikus, Gus Dur dikenal dengan ''politik zig-zag"-nya. Sebagai pemimpin masyarakat, Gus Dur dikenal sebagai ''king makers"-nya. Sebagai budayawan, Gus Dur dikenal dengan ''humor-humor cerdas''-nya. Sebagai cendekiawan dan intelektual, Gus Dur dikenal dengan pemikiran ''liberal''-nya; dan sebagainya. Inilah gambaran sosok sang pamomong, sosok yang menjunjung tinggi nilai-nilai ke-tawadluan sekaligus kebebasan; sosok yang memerankan diri laksana ''bandul jam'' yang terus bergerak dinamis, dari kutub ke kutub yang lain, lalu menciptakan keseimbangan (hlm. 28).

Oleh karena itu, kepergian Gus Dur sesungguhnya adalah kehilangan besar bagi bangsa ini. Terlebih di tengah keprihatinan yang ditimbulkan oleh kecenderungan kuasa untuk merobohkan tiang demokrasi yang sejak lama diperjuangkan Gus Dur. Dalam situasi demikian, seperti dikatakan Yudi Latif (2010), tugas intelektual untuk ''berkata benar pada kuasa'' penting dipancangkan sebagai penjaga kewarasan bangsa. Keberanian berkata ''benar'' inilah warisan kepahlawanan Gus Dur yang teramat mulia untuk dijunjung tinggi tunas pahlawan masa depan.

Ali Ibn Abi Thalib, salah seorang sahabat Nabi Saw, pernah berkata bahwa ''jika seorang pahlawan alim meninggal, terjadilah lubang dalam komunitas yang tidak tertutupi hingga datang alim lain yang menggantikannya''. Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kita tengah berada dalam transisi pencarian figur-figur ''Gus Dur'' baru untuk melanjutkan perjuangannya.

Oleh karena itu, hadirnya buku Jagadnya Gus Dur ini setidaknya bisa menggugah hati kita untuk mengetahui, memahami, dan meneladani jejak langkah, pemikiran, dan gerakan Gus Dur, dan selanjutnya mampu meneruskan perjuangannya. Semoga. (*)

*) Puji Hartanto , Pemerhati Sosial dan Budaya. Pengelola PP Hasyim Asyari Jogjakarta

Judul buku: Jagadnya Gus Dur; Demokrasi, Pluralisme, dan Pribumisasi Islam

Penulis : KH Zainal Arifin Thoha

Penerbit : KUTUB, Jogjakarta

Cetakan : Januari 2010

Tebal : xvi + 276 Halaman

Sumber: www.jawapos.com [Minggu, 14 Februari 2010]

Mencegat Lompatan-Lompatan GUS DUR


Tinjauan Sufisme Al-Hikam
Oleh: Muhammad Luqman Hakim
Banyak pihak dan banyak cara untuk memahami pola pikir dan spirit KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sejak ia terlibat dalam Jamiyah Nahdhatul Ulama (NU). Satu-dua pendekatan saja, terutama pendekatan sosiologis empirik, akan “terperangah” oleh hasil final dari realitas gerakan.Gus Dur dalam memimpin NU,atau Gus Dur sebagai pribadi. Kalau toh menggunakan pendekatan komprehensif, maka Gus Dur adalah totalitas ekspresi dari keseluruhan akumulasi NU itu sendiri, baik dari khazanah intelektual, kultural, politik dan harakah organisatoriknya.

Tidak banyak yang meninjau Gus Dur dari dimensi esoterik, sufistik, bahkan perenialistik. Padahal untuk memandang Gus Dur, ucapan tindakan dan manuvernya, harus pula melihat sisi fundamental yang menjadi pijakan spiritualistis Gus Dur, dan tentunya sangat mempengaruhi strategi-panjang pendek, universal-parsial, sakral-sekuler, ideal-real, nasionalisme-internasional
isme, dan sebagainya, bagi kepentingan NU, kebangsaan dan kemanusiaan dunia.

Dengan mengenal lebih dekat “hati” Gus Dus, akan mudah memahami lompatan-lompatan kultural kedepan, sehingga pasca Gus Dur kelak bisa lebih bisa melakukan antisipasi secara visional, tanpa harus membubarkan tatanan yang bertahun-tahun telah distrukturkan dalam piramida besar NU, sehingga para penerus Gus Dur tidak canggung bahkan menemukan spirit optimisme yang “suci” pasca Gus Dur.

Hati Gusdur
Hati Gus Dur adalah “Rumah Ilahi” atau "Arasy Allah”. Rumah yang dipenuhi dengan jutaan dzikiri dan gemuruh musik surgawi, setiap detik, setiap saat, setiap berdiri. bergerak (qiyaman) dan duduk diam (qu’udan) serta ketika tidur dalam kefanaan (‘alajunubihim). Rumah Ilahi selalu terjaga (mahfudz) dari segala godaan duniawi, prestisius, dan segala hal selain Allah, peringatan-peringatan Ilahi dan teguran-teguran-Nya, senantiasa “turun” ketika Gus Dur akan berbuat kesalahan, ketika Gus Dur “frustasi”, ketika Gus Dur terbuai oleh “iming-iming”, atau ketika Gus Dur terlalu bermimpi.

Itulah untungnya jadi Gus Dur, tapi juga demikianlah risiko besar yang harus diterima, manakala Gus Dur menyimpang dan dimensinya, melesat dari Rumah Ilahi, Berat sekali beban Gus Dur menjaga Rumah Ilahi, lebih berat ketimbang menjaga “rumah besar” NU, yang konon sebagai “rumah tua yang berwibawa” ini. Sukses Gus Dur menjaga Rumah Ilahi dalam kalbunya, adalah sukses besar NU. Karena itu di mata Gus Dur sendiri, menurut hati nuraninya - memimpin NU atau tidak, nilainya sebanding. Gus Dur bukanlah tipikal seorang yang berambisi menaiki tahapan derajat duniawi maupun berambisi mendapatkan megamat ruhani-ukhrawi, yang dalam dunia tasawuf disebut dengan al-Murid. Tetapi Gus Dur adalah sosok yang diburu, dikejar dan dikehendaki Oleh tahapan-tahapan tersebut, dicari poleh massa dan organisasi, bahkan secara radikal dalam sufisme ia adalah tokoh yang “dicari Tuhan” (al-Murad).

Gus Dur “dicari” Tuhan, dan ditemukan di lorong-lorong kebudayaan, diketiak orang-orang miskin, dalam aliran derasnya keringat para buruh. Allah menemukan Gus Dur dalam alunan musik klasik, digedung-gedung bioskop dan di tengah-tengah supporter sepak bola. Gus Dur diburu Tuhan, ketika berada disela-sela kolom surat kabar dan majalah, bahkan diburu sampai ke Israel dan Bosnia. Dan Gus Dur “ditangkap” Allah, ketika pandangan matanya sudah setengah buta, ketika merunduk tersenguk-senguk dimakam para Auliya. Sayang, Allah memeluk Gus Dur ketika Gus Dur sudah “gila”, dan memimpin arisan orang-orang yang “gila” kepadanya.

Benar kata Khalil Gibran, "Di tengah masyarakat yang terdiri dari orang-orang gila, orang yang paling waras disebut sebagai orang yang paling gila. Dan di tengah masyarakat yang terdiri orang-orang yang waras, orang yang paling gila disebut orang waras".

Gus Dur dikatakan "gila" oleh masyarakat gila yang merasa waras. Dan ia disebut sebagai paling waras ditengah-tengah orang-orang "gila" yang tidak ingin waras. Kebudayaan "gila" dewasa ini harus diatur oleh orang paling waras, walaupun orang paling waras itu harus mendapatkan sebutan sebagai orang paling gila.

"Kegilaan" Gus Dur adalah tipikal paling relevan untuk memimpin masyarakat yang tergila-gila oleh kegilaan. Sebab Gus Dur adalah terali, tembok, pilar, atap, dan ornamen-ornamen bagi rumah Ilahi, yang terus mengalami "keterasingan" di tengah-tengah rumah besarnya sendiri, di tengah¬tengah bangsanya sendiri, juga di sudut-sudut lapuk warga nahdhiyin-nya.
Dia Sendiri Adalah Al-Hikam
NU sebenarnya adalah organisasi paling banyak jumlah kaum 'arifin-nya dibanding organisasi keagamaan yang lainnya. Karena itu NU memiliki derajat sebagai satu-satunya organisasi "Yang Diridhai", atau mungkin yang lain sekedar diakui, disamakan, atau "terdaftar" saja dalam catatan lembaran langit.

Kehadiran Gus Dur untuk mereformasi secara puritan melalui "Khittah 1926" adalah bentuk perenialisme NU dalam matra zaman yang lebih luas. Bukannya upaya memutar gerak jarum jam sejarah ke masa Ialu. Tetapi, mundur untuk melompat ke depan lebih jauh. Lompatan-Iompatan dalam visi Gus Dur ketika menerjemahkan Khittah 1926, merupakan lompatan "spiritual NU" yang kemudian berakses kepada lompatan moral, politik, kebudayaan dan tradisi intelektual serta sosial-ekonomi. Lompatan-lompatan ini bisa dilihat dari dimensi paling sederhana, namun merupakan dimensi paling dalam. Yakni dimensi sufisme yang menjadi "akhlak" ulama salaf dan ulama-ulama generasi pendiri NU.

Hal yang tidak bisa dipungkiri, adalah kesatuan para ulama pendiri NU dan Gus Dur sendiri, dengan wacana-wacana Corpus Tassawuf yang ditulis oleh Taajuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin Atba'illah as-Sakandari, yakni kitab Al-Hikam. Hampir seluruh pesantren salaf di Indonesia, mengkaji kitab tersebut, dan sekaligus menjadi pijakan moralitasnya.

Kitab Al-Hikam, merupakan magnum corpus kaum sufi, yang mengandung mister-misteri spiritual dan sekaligus bisa digunakan untuk memprediksi gelombang pasang surut spriritual keagamaan semacam. yang terjadi dalam tubuh NU, Gus Dur sendiri yang hafal di luar kepala setiap wacana (matan) kitab Al-Hikam ini, tentu memahami secara lebih massif dan universal bagi kepentingan historis NU. Dalam bahasa yang paling "tradisional" kembali ke Khittah 1926, berarti kembali ke dalam dimensi "Al-Hikam" tersebut. Karena itu sebelum memimpin NU, Gus Dur telah menyatu dengan "Al-Hikam", yang kelak ketika memimpin NU, Al-Hikam menjadi instrumen "penggugat" dalam intern NU. Sayangnya, ribuan pesantren di Indonesia dewasa ini, telah merasa asing dengan kitab ini. Sebab, kitab ini merupakan kitab instrospektif, kitab yang bisa menusuk diri sendiri, kitab yang "ditakuti" oleh para kiai. Akhirnya, dari 6.000 pesantren yang ada, hanya beberapa gelintir saja yang masih mengkaji kitab ini. Fakta ini pula yang membuat gerakan moral ulama yang dilakukan Gus Dur banyak terhambat.

Matan Al-Hikam, Khittah 1926 dan Pasca Gus Dur
Coba kita renungkan sukses besar para. pendiri NU ketika mendirikan NU tahun 1926. kesuksesan ini erat dengan matan pertama dari Al-Hikam:

"Di antara tanda bersiteguh terhadap amal, adalah berkurangnya harapan (kepada Allah) ketika terjadi tindakan dosa".

Para Ulama pendiri NU dan Gus Dur tidak pernah mengajak warganya untuk bersikap menggantungkan diri pada upaya dan amalnya, dengan asumsi bahwa amal itu bisa menyelamatkannya. Kerj a organisasi, perjuangan, aktivitas nadhiyin, harus terjauhkan dari sikap i'timad terhadap amal. Sebab, sikap i'timad seperti itu, hanya melahirkan ketamakan dalam organisasi dan ambisi historis. I'timad terhadap amal, ikhtiar, dan upaya-upaya manusiawi hanyalah bentuk "penghalang" antara hamba dengan Sang Khalik. Amal hanyalah makhluk, bukan Khalik. Membanggakan makhluk adalah bentuk immoral yang jauh dari harapan spiritual yang menghantar sukses besar.

Para mujahid di kalangan ulama NU yang turut menghantar kemerdekaan bangsa ini, sama sekali menepiskan ketergantungannya terhadap amal dan sejarah. Satu-satunya tempat i'timad hanyalah Allah. Karena itu Khittah 1926 dulu jauh dari rekayasa-rekayasa ambisi politik, kalau toh pun ada akan tersingkir oleh sejarah. Ibnu Atha'ilah mengaitkan kebergantungan terhadap amal tersebut dengan tindakan dosa. Dalam konteks Khittah 1926, kembali ke Khittah 1926, tidak harus disertai "rasa bersalah" yang terus menerus, sehingga mengurangi optimisme masa depan (raja') itu sendiri. Sebab siapa pun yang merasa "miris" dan pesimis terhadap rahmat Allah ketika ia berbuat dosa, berarti ia belum bergantung kepada Allah, masih bergantung kepada amalnya. Begitu juga, warga NU yang masih merasa bersalah atas "dosa sejarah" yang mengakibatkan dirinya ekslusif, tersingkir, pesimis, dan bahkan cenderung "membangkang" berarti masih i'timad terhadap upaya amal, bukan i'timad kepada Allah. Sikap demikian inilah yang ingin "diberantas" Gus Dur.

Fakta demikian sesuai dengan wacana Al-Hikam berikutnya:
"Keinginanmu untuk tajrid, sementara Allah masih memposisikan dirimu pada dimensi sebab akibat (duniawi) merupakan bagian dari nafsu tersembunyi. Dan keinginanmu kembali pada sebab akibat (duniawi), sementara Allah sudah memposisikan dirimu dalam dimensi tajrid, merupakan penurunan (degradasi) dari cita¬cita yang luhur. "

Tajrid merupakan bentuk eskapisme kepada Allah tanpa menghiraukan dimensi selain Allah. Dalam konteks ke-Gus Dur-an, adalah "tidak mau tahu" urusan organisasi, urusan kemasyarakatan, urusan kemiskinan dan kebudayaan, bahkan urusan demokratisasi. Sikap demikian merupakan bentuk eskapisme nafsu yang tersembunyi, bukan eskapisme kesucian Ilahi. Padahal mayoritas warga NU belum sampai ke tahap tajrid ini. Lebih ekstrim lagi banyak tokoh-tokoh NU menggunakan baju tajrid untuk kepentingan pribadinya, kepentingan nama dan perutnya, ya kepentingan nafsunya. Lebih jauh lagi untuk kepentingan. politik kelompok tertentu.

Sebaliknya, mereka yang sudah sampai pada maqam tajrid dalam konteks ke-NU-an- tiba-tiba masih berambisi terjun ke dunia kausalitas NU. Tentu , tindakan demikian merupakan degradasi moral bagi ketokohannya. Para tokoh yang seharusnya “pensiun” dari NU, untuk lebih mendekatkan diri dalam “wilayah muraqabah dan taqarruh Ilahi”, ternyata banyak yang "cawe-cawe" ke dunia empirik, yang membuat keruwetan di tubuh NU. Padahal Allah sudah memberikan "kursi empuk spiritual", malah memilih kursi empuk duniawi. Inilah agenda Gus Dur sampai saat ini. Bahwa transformasi dari tahap kausalitas menuju tahap tajrid dalam NU, adalah tahap perjuangan dari unsur kepentingan menuju unsur "kepentingan Ilahi", dari hal-hal yang bersifat empirik ke esoterik. Sukses besar NU manakala NU mampu melakukan transformasi menuju "tajrid" peradaban yang luhur.

Matan. Al-Hikam. selanjutnya adalah:
"Tercapainya cita-cita tidak bisa mengubah dinding takdir"
Gagalkah Gus Dur? Gagal dan tidak, harus ditinjau dari prespektif yang luas. Ditinjau dari segi Al-Hikam, keberhasilan Gus Dur dengan Khittah 1926, bukan karena Gus Dur atau para pendukungnya. Hakikat keberhasilan Gus Dur yang ada, sama sekali tidak takdir Ilahi terhadap NU.

Ikhtiar, upaya, semangat, jihad, adalah "tanda-tanda" sukses NU, bukannya faktor penentunya. Dalam dimensi tasawuf Al-Hikam, apabila NU ditakdirkan berhasil dan sukses, akan banyak Gus Dur lain yang memiliki visi dan ruh yang sama. Bukan sebaliknya.

Namun kenyataannya, justru sebaliknya. Banyak tokoh-tokoh NU yang merasa mampu mengubah takdir Allah, dan ketika berhasil menganggap sebagai upayanya sendiri tanpa campur tangan Ilahi. Kecuali kalau gagal, baru mengatakan, “Demikianlah takdir Allah…!”

Karena itulah, Al-Hikam menyarankan pada matan selanjutnya:
"Abaikanlah dirimu untuk ikut campur (urusan Allah), sebab apa yang sudah diurus oleh. selain dirimu berkakaitan dengan dirimu, Anda jangan ikut campur di dalamnya untuk kepentinganmu."

Selanjutnya Gus Dur pun sering menghimbau kepada para kiai dan ulama, khususnya kalangan NU, agar tidak ikut mencampuri urusan yang bukan bidangnya. Misalnya urusan pencalonan presiden maupun gubernur, ataupun bupati. Urusan tersebut ada yang berwenang menangani. Ikut campur di luar bidangnya adalah bentuk salah kaprah yang fatal, dan menjadi kerumitan dinamika NU. Dan matan berikutnya berbunyi:
"Ijtihad Anda pada hal-hal yang sudah dijamin untuk diri Anda, dan sikap teledor Anda terhadap kewajiban yang harus Anda penuhi, merupakan bukti atas kekaburan mata hati Anda."

Bayangkan, berapa ribuan tokoh-tokoh NU yang mata hatinya kabur, karena etika dan sikap moralnya yang teledor, hanya karena mementingkan tuntutannya dibandingkan mementingkan tugasnya?

Gus Dur tidak pernah putus asa. Walaupun ia di tuntut terus menerus, khususnya pada setiap even dan momen tertentu. Gus Dur hariya bisa kembali sebagaimana wacana Al-Hikam dari matan ke matan berikutnya.

Dan sungguh, matan-matan Al-Hikam, tertib dan strukturnya, mulai awal hingga akhir, yang memenuhi lembaran-lembaran kitab, merupakan kesimpulan dari perjalanan spriritual penempuh jalan sufi, sekaligus juga peristiwa-peristiwa dalam konteks NU yang bakal maujud dalam sejarah NU dan umat Islam, Karena itu membaca NU pasca Gus Dur akan sangat mudah dengan membaca Al-Hikam dengan penafsiran dinamika NU,' karena di sana penuh dengan solusi-solusi langsung dan aktual.

Dalam prediksi matan Al-Hikam, NU pasca Gus Dur adalah pertama-tama NU akan melewati perebutan-perebutan ambisi yang saling menyodorkan alternatif. Sedangkan alternatif yang disodorkan oleh Khittah 1926, sebagai visi Gus Dur, dianggap belum tuntas. Padahal Gus Dur, sebagaimana Al-Hikam, menyandarkan titik akhir sejarah NU hanya kepada “alternative yang terbaik menurut Allah”, alternatif konsepsionalisasi yang direkayasa atau dipaksakan menurut penilaian tarbaik manusia. Kapan dan bagaimana allternatif Ilahi NU teraktualisasi dalam sejarah. Menurut Gus Dur dan Al-Hikam, hanya Allah saja yang tahu kapan aktualisasi historis idealisme itu maujud secara proporsional.

Paling tidak, Gus Dur walaupun belum maksimal telah melampaui tiga matan Al-Hikam di atas, dalam konstelasi ke-NU-annya. Tugas pelanjut Gus Dur adalah menerjemahkan matan-matan berikutnya dan konteks spirit NU masa depan, melalui solusi yang ditawarkan oleh Al-Hikam. Dalam hal ini, sangat dibutuhkan suatu Syarah Al-Hikam yang konstektual dengan NU modern. Suatu tantangan bagi kaum spiritulis NU yang memiliki "kearifan" dalam sejarah.

Sebagaimana para pembaharu atau mujtahid dalam dunia Islam, pasca mujtahid adalah para komentator, interpretator, dan kreator yang lebih spesialis dan detil. Maka, pasca Gus Dur, adalah Gus Dur-Gus Dur "kecil" yang "cantik" dan "indah" yang mampu mengepakkan sayap-sayapnya menjadi tarian yang rampak. Tarian "Gusduriyah".

Sumber: www.sufinews.com

Petisi Para Bayi


Mbak Anis Pare punya jagoan cowok kecil baru
Bayinya Teteh Yuni Sukabumi udah mulai besar
Eee.. Ning Zakiya Tambakberas nyusul melahirkan
Lalu Ning Maryam Pasuruan anaknya laki-laki melengkapi kuota sebelumnya
Disambung kemudian sahabatku Iin Gresik, semoga sehat semuanya
Alfi kediri juga ga mau kalah dengan putri semata wayangnya
Dan…Zizi yang katanya pulang kampung dari Jogja ke Karangploso Malang Raya demi menanti datangnya si jabang bayi…
Tentunya masih banyak lagi dedengkot para bayi selanjutnya yang menunggu antrian…

Selamat pada para bapak dan ibu dan calon keduanya...saudara/saudari
ku
Semoga bahagia, lancar, barokah, sholeh/sholehah selamanya

22 Februari 2010

J.Abdillah

RUMAH ITU...

Langit, gua, pohon, atap, bertiang, dalam benakku, kokoh, sleeping bag, bersih, suci, banjir, terbakar, tembok, rapuh, laut, gunung, karang, ambruk, kardus, wangi, berdiri, ngangeni, menjijikkan, menakutkan, penuh kenangan, full cinta, rapi, ramai, warna-warni, ungu, biru, dan seterusnya.

Dinoyo, 20 Februari 2010

J.Abdillah