www.wikipedia.com

Friday, November 28, 2008

Cakrawala Cerpen

PENGUASA SUBUH

Azizah hefni*


Jauh sebelumnya, ayahku, seorang laki-laki berkulit putih yang terlahir dari tanah timur, bercakap-cakap denganku. Sambil mengelus-elus batok kepalaku, dia bilang, “Nak, manusia itu harus siap hidup dimanapun, dengan siapapun, dan bagaimanapun,”

Bibirnya yang pucat tersenyum pelangi. Kemudian, ia kembali berkata, “Yang terpenting, manusia adalah manusia, bukan masalah ia besar atau kecil, laki-laki atau perempuan,” Nafasnya semakin pelan, “Kamu tergolong manusia itu, nak. Paling sempurna dibanding ciptaan manapun,” bisiknya.

Laki-laki dari timur itu menguliti sepasang mataku yang lugu. Dikecupnya keningku, lalu ditariknya aku ke dalam pelukannya. Lamat-lamat, kudengar ia menangis sangat pelan. Bau tubuhnya, bau balsem. Batuk yang kabur, muncul di sela-sela perbincangan. Laki-laki dari timur, yang merasai sesuatu itu, melepas pelukannya “Tapi, manusia, sekalipun paling sempurna, sangat rapuh hatinya, nak. Ia muda terpedaya. Jadi, berlindunglah kamu dari kejahatan yang tak terduga. Mintakan pula perlindungan untuk ibumu selalu. Terjagalah tengah malam, dan jangan tidur sampai subuh benar-benar datang. Mintalah perlindungan pada Penguasa subuh.”

Itulah terakhir kalinya. Setelah itu, memang tak pernah lagi. Laki-laki dari timur pergi. Sudah bahagia ia di sebuah tempat. Di sana, di keabadian para manusia berikutnya. Dan pembicaraan terakhir itu, begitu kuat menancap dalam otakku. Seterusnya, hingga saat ini.

Ibu, perempuanku yang bertahi lalat di dagu, menangis tersedu-sedu saat kematian laki-laki dari timurku. Ia menciumi pakaiannya sepanjang malam. Kadang ia mengenakannya, sesekali menidurinya. Perempuanku itu, murung berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-berbulan.

Setiap malam, aku mendengar isaknya yang tertatih dan pedih. Hampir setiap malam, ia mendatangi kamarku dan mengamati wajahku yang kerap pura-pura terlelap. Sambil mengelus rambutku, ia pasti berkata, ”Malam yang sempurna gelapnya sudah berpamit, nak. Hari baru datang lagi. Namun tidak bagiku. Segalanya adalah kenangan, dan ayahmu masih terasa di sini, bersamaku,” Kemudian, bibirnya menyebut nama laki-laki dari timur berkali-kali, lalu mengecup keningku.

Begitukah cara perempuan mencintai laki-laki?

Seterusnya, perempuanku dan aku menjalani hari. Ia masih bertahan dengan kemurungannya. Kebiasannya itu, berdampak pada pribadiku. Aku semakin enggan bercakap dengan kawan sepermainan. Aku bosan dengan cerita-cerita kartun dan mainan-mainan.

Tapi, suatu hari, tiba-tiba saja, perempuanku itu bertanya padaku, “Apa kau mau, bila aku menikah dengan orang lain, nak?”

Pertanyaan itu mengejutkanku. Tatapannya sangat serius, cukup ambisius. Aku seperti tidak sedang melihat perempuanku yang lugu, yang tulus menunggu. Matanya yang lembab, terlihat kering.

Aku menerima lamaran laki-laki baru. Dia mencintaiku sejak dulu, sejak sebelum ayahmu. Ia memiliki satu istri dan tiga anak. Tapi, semua itu tak masalah bagiku. Sebab aku sangat mencintainya,”

Tenggorokanku menegang. Mencintainya? Lalu, malam-malam yang dilalui untuk mengenang kebersamaannya dengan laki-laki timur itu? Hari yang tak pernah baru itu? Kerinduan dan kenangan yang menjadi ruh, termasuk berbagai kalimat yang ia sampaikan padaku: cara perempuan mencintai laki-laki, kesetiaan yang tak lain adalah harga diri, penantian yang sulit namun sangat berarti? Apa arti semua itu?

Aku betul-betul tak sanggup melihat sepasang matanya. Tak kusangka, matanya yang bersahaja, telah membohongi kepercayaanku (atau, aku yang terlalu bodoh menangkap makna?)

Aku memeluk perempuanku seerat-eratnya. “Jangan lakukan apapun, ibu! Jangan membuat kebanggaaku padamu hilang hanya karena keputusanmu ini!” Aku menangis selayaknya bocah yang kehilangan kesempatan.

Tak ada yang tersisa dari kematian ayahmu!” jawabnya tegas. “Kisahku dengan ayahmu sudah sepenuhnya usai! Dan aku telah menemukan pengganti yang tepat! Lagipula, dia sudah mati, tak ada gunanya lagi aku menanti!”

Ibu pembohong besar!” balasku. “Bukankah ibu pernah bilang, di masa keabadian manusia berikutnya, kita bertiga akan bertemu kembali, asal kita setia dan berdoa?!” Kalimatku tertahan. Aku segera ingat, siapa sosok di depanku. Dia ibuku, perempuanku. Laki-laki timur tak pernah menyukai siapapun yang membentak perempuanku. Sungguh, tak seharusnya kukeraskan suaraku.

Tapi, pikiranku memang sedang kalut. Aku mengerami berbagai kemungkinan dan anggapan. Jangan-jangan, karena perempuanku tak tahan dengan jumlah makan kami yang kadang sekali kadang dua kali, pelanggan jahitan yang tak melulu datang atau dagangan yang membusuk, sehingga ia memutuskan menikah dengan laki-laki baru?

Diamlah, kamu!” Untuk kali pertama, aku mendengar nadanya yang sangat kasar. Tangannya memaksa melepaskan pelukanku. “Tahu apa kamu tentang cinta dan kesetiaan? Sudah merasa lebih tua kamu dariku sekarang, heh? Siapa yang mempola pikiranmu sampai jadi begitu melankolis?!”

Aku diam ketakutan. Kedua tanganku gemetar. Perempuanku beranjak pergi, setelah sebelumnya membanting pintu kamar keras-keras.

Sungguh, peristiwa ini terlalu mendadak.

***

Setelah perbincangan itu, sepulang sekolah, aku selalu melihat laki-laki baru duduk di pelataran rumahku. Laki-laki baru itu, adalah masalalu perempuanku sebelum dengan laki-laki dari timur. Ia dulu gagal mendapatkan hati perempuanku karena terlalu ambisius dan sombong.

Seperti hari itu, aku melihatnya sedang menghisap rokok, menggerak-gerakkan salah satu telapak kaki dan berbicara dengan suara sangat lantang. Lehernya bergelambir, matanya menyimpan bergram-gram lendir. Yang menyesakkan, mata perempuanku berbinar-binar mengimbangi percakapan dengan laki-laki baru. Sialnya, perempuanku memerintahkanku untuk segera mencium tangan laki-laki baru dan bersalam padanya. Pandangan mata perempuanku tiba-tiba sinis jika aku keberatan. Laki-laki itu hanya akan terbahak-bahak dan memuji kemanisanku. Bila sudah begitu, ia akan memasukkan lembaran lima puluh ribuan ke saku baju sambil berujar, “Belilah mainan yang kamu suka, nak!”

Bah, dia tidak tahu, aku sangat membenci mainan!

***

Katakanlah padaku, apa yang sebenarnya terjadi. Keberadaanku sebagai bocah, memang sangat patut jika dipandang sebelah mata. Tapi, bukankah laki-laki dari timur pernah bilang, bahwa ada janji dari langit, bagi mereka yang terjaga setiap malam, mencintai dengan ketulusan, merenungi sejarah dan kenangan, akan dilindungi Penguasa subuh?

Aku berlindung pada segala keraguan. Bukakanlah untukku rahasia-rahasia. Aku tahu, aku bukan penafsir pertanda, juga ahli nujum atas sesuatu yang kasat mata. Tapi aku sedikit merasakannya. Aku merasa terluka, sebab perempuanku tak menyadari apa-apa.

Setan beranak pinak, belum satupun yang terkubur apalagi lebur. Sejak dulu, ia sudah ada dan menggoda manusia. Setaraf nabi pun mampu ia tundukkan, apalagi hanya manusia biasa? Kaum jahat itu akan terus menebar kebahagiaan dengan cara mereka sendiri. Dengan jaminan sesuai aturan main mereka sendiri, sudah digenggamnya ruh-ruh tolol manusia. Sangat mudah dan cepat. Tak terduga dan mengena. Zaman sudah dekat dengan penghabisan. Semakin luntur keyakinan dan pengabdian. Semakin hilang eksistensi dan substansi. Aih!

Lalu, bagaimana denganku? Dengan perempuan yang kucintai itu? Pertimbangan apa lagi yang diributkan? Sekuat apa aku, hingga harus kutembus lapisan-lapisan langit untuk sampaikan mauku? Seberapa lama lagi harus kubangun kepercayaanku pada kekuatan subuh? Dimana Penguasa subuh itu?

Manusia tetaplah manusia, bukan masalah ia besar atau kecil, laki-laki atau perempuan. Kalimat laki-laki Timur, tiba-tiba menelusup dan mengagetkanku. Aku mencari-carinya, namun tak ada. Aku kembali menenggelamkan kepala pada kedua lututku. Betapa kalah aku kali ini. Malam memelukku yang duduk mencangkung ketakutan di pelataran rumah. Aku tersedu, seperti pecundang tak tahu malu. Naifnya aku, karena tak bisa berbuat apa-apa untuk perempuanku.

Namun, suara laki-laki dari timur kembali terdengar. Semakin lama semain tegas. “Tengoklah langit pekat yang merentangkan sayap-sayapnya, nak! Itu sayap malaikat yang terbang bersamaan! Langit suka pada yang manusia yang tak pernah lelah. Pasti akan terbuka segala rahasia, akan datang jalan mulia. Semayamkanlah keutuhanmu pada yang satu, nak. Bilang pelan-pelan, aku berlindung pada Penguasa subuh, dari segala kejahatan yang tak pernah kusadari, dari kegelapan yang menakutiku, dari para peniup buhul, dari mereka, yang sibuk dengan kedengkian-kedengkian...”

Bibirku tertuntun. Aku mengikuti suara halus itu. Aku mengulang kalimat-kalimat itu berkali-kali, begitu seterusnya. Sorot mata perempuanku yang sebenarnya terluka bergelayut di atas kepalaku. Bukakanlah satir dan tabir yang menutupi hatinya. Akan kubacakan kitab suci atas namanya. Asal ia bahagia, asal ia terbebas dari marabahaya.

Dan tiba-tiba cahaya muncul dari utara. Bulat, seperti globe. Merah, seperti lampion. Pelan, seperti nenek renta. Mengendut-endut, melenggang dan bersolek. Air dalam sumur mataku hampir kering. Aku terbeliak melihat bola kecil itu menelusuri lajur langit yang kasat mata. Menyipit, menelisik, menyelidik. Aku berdiri, menaiki kursi. Benda itu semakin dekat. Aih, mau kemana bola api itu?

Langit lega, bisa memberikan sedikit jawaban. Alam memang tak diciptakan untuk mengumbar rahasia. Hanya sebatas memberi pertanda, tidak lebih, tidak kurang. Semakin lama, benda itu semakin dekat. Tapi, pemandanganku terhalang rimbun pohon. Berkali-kali aku beralih. Berkali-kali bola itu hendak sembunyi. Terakhir kali, aku melihat bola itu meletus sebelum sampai mendekat ke arah rumahku!

Subuh berkumandang. Penguasa telah mengambil keputusan.

***

Setelah keajaiban subuh itu, perempuanku terbangun dengan nafas terengah-engah. Ia mencari-cariku di kamar, tapi tak ada. Mulutnya berteriak memanggil-manggil namaku, namun tak juga ada sahutan. Ia baru merasa lega saat menemukanku duduk mencangkung di pelataran, dengan kepala tersembunyi di balik kedua lutut.

Tanpa berkata apa-apa lagi, diraihnya tubuhku. Ia memelukku sangat erat. Tangisnya berderai, membuatku kelabakan. Ia menciumi rambutku, sambil terus memelukku. “Aku merasakannya, nak, aku merasakannya!” Nafasnya terengah, “Sumur itu gelap dan bau amis. Di dalamnya, seikat rambut dan batu gelap. Ada juga sisir serta jarum. Api meletup-letup. Debu dan asap dimana-mana!”

Aku tercengang-cengang melihat kegugupannya.

Aku melihatmu berdiri di pelataran! Kamu menangis dan terluka parah! Kamu ketakutan dan menjerit mirip orang kesurupan! Kamu menuding mukaku, memarahiku habis-habisan. Kamu berlari menjauhiku, nak! Kamu terbang ke atas, bertemu ayahmu! Sedang aku, sedang aku... Aku tenggelam di sumur yang sangat dalam seorang diri...” Ia berhenti, lantas melepas pelukannya, “Tidak akan rela aku sia-siakan kesetiaanku, nak! Sampai matipun, aku berjanji! Demi Allah, tak akan kunikahi laki-laki manapun! Aku hanya milik ayahmu dan milikmu nak...” Bibirnya gemetar. Ia berdzikir lirih. Kudengar, ia menyebut berkali-kali nama laki-laki dari timur lagi.

Tanganku mencengkram tangan perempuanku kuat-kuat. Inilah jawaban itu! Aku mencintainya, sangat mencintainya. Jawaban itu, entah dari mana asalnya. Awal mula perubahan perempuanku terlalu cepat, kepulangannya pun sangat cepat. Perhelatan kemunafikan itu akhirnya sudah buyar. Perempuanku sendiri yang mengakhirinya.

Ibu...” Aku kembali tenggelam dalam pelukannya.

***

Siang harinya, aku dengar laki-laki baru meninggal di rumahnya. Kematiannya sangat tragis: tubuhnya meletus.

Malang, 4 November 2008








1 comment:

Anonymous said...

apakah kesetian itu bisa diukur dengan tidak menikah?
laki-laki baru agak sulit difahami