www.wikipedia.com

Friday, November 28, 2008

Buat Tamim

HARGAI PROSES, WALAU BELUM TUNTAS.

Aku terlalu sayang pada Tinta Langit…”

Saya ingat betul, bagaimana Tamim mengatakannya dengan suara begitu lirih dan dalam. Dia tidak menatap mata saya, melainkan menatap lurus ke udara di atas kepalanya. Saat itu, kami berdua sedang berada di masjid Tarbiyyah untuk membicarakan masa depan komunitas.

Kalimat itu membuat saya sangat malu. Tak tahu, mesti mengomentari bagaimana lagi saya saat itu. Saya cuma bisa tersenyum datar, sambil mengata-ngatai kebodohan saya dalam hati. Tamim membuat mata saya terbuka. Ketulusannya itu, membuka sejarah yang lama terlupakan. Ah, Tamim. Besar sekali khilaf saya padamu, pada kita semua: Tinta Langit.

Saya tak pernah melupakan apa saja yang telah terjadi di bawah bendera komunitas kita. Segala idealisme, sampai realitas yang rumit yang harus kita pecahkan bersama. Cita-cita akan lingkungan yang kondusif untuk menulis, membaca, berdiskusi, begitu berharga kita usung di atas kepala kita. Kita semua seperti pejuang yang sangat rela jika tak terbaca siapapun. Asal kita bisa menjadi generasi muda yang handal menulis, haus membaca, dan begitu gemar diskusi, maka apapun kita jalani. Walau tak ada biaya, tak ada tempat, tak ada dukungan, kita berusaha mewujudkannya sendiri.

Tamim menyimpan memori itu dengan sangat baik. Ia menjaga sejarah yang berdebu dan hampir tak berlaku bagi kita. Ia begitu menghargai kenangan dan segala proses yang telah dijalani, sekalipun belum tuntas. Benar, Tamim masih mencatat segala impian dan harapan itu dengan rapi di hatinya. Dengan sorot matanya yang pasrah namun sebenarnya sangat kuat itu, saya yakin, ia akan terus memegang erat Tinta Langit dalam genggamannya, selamanya...

Tinta Langit adalah kita, bukan siapa-siapa. Aku tak rela jika Tinta Langit menjadi milik orang lain selain kita...” Lanjutnya semakin serius.

Tapi, waktu kita semua sudah hampir habis, mim. Kesibukan kita menumpuk. Kita tak bisa andalkan apa-apa dari komunitas yang tak lagi berjalan ini,” saya menimpalinya “Kita harus rekrut anggota baru,” usulku kemudian

Tidak! Tinta Langit kita yang dirikan, biar dia menjadi milik kita! Bukankah dulu kita sepakat untuk tidak merekrut anggota? Mau mengingkari komitmen sendiri?” Sepasang matanya menghakimi saya.

Saya kaget bukan kepalang.

Rekruitmen anggota itu, apa kamu yakin sebagai alternatif agar Tinta Langit agar tetap berjalan? Atau, usulan itu hanya untuk melempar tanggungjawabmu saja sebagai anggota Tinta Tangit?”

Kalimat tamim sangat mempermalukanku. Ia bicara sangat tegas, sehingga pusat jantung saya seperti diremat-remat. Saya menunduk pelan-pelan, membawa malu saya yang semakin berat rasanya.

Teman-teman boleh sibuk, zi. Tapi, tidak seharusnya mereka lupa pada perjuangannya sendiri, pada berbagai harapan dan cita-cita yang mereka rintis sendiri. Bila tak ada yang mau mempertahankan Tinta Langit, biar aku seorang saja yang mengusung namanya! Sampai kapanpun, aku akan hidupkan Tinta Langit, sekalipun hanya di hati dan pikiranku saja!”

Tamim menghembuskan nafas panjang. Kepalanya ia sandarkan ke tembok masjid, dan sepasang kakinya ia selonjorkan. Ia seperti kelelahan. Mungkin, lelah menghadapi saya yang tak juga menyadari betapa berharganya Tinta Langit, atau mungkin lelah pada kenyataan yang terlalu pahit untuk ditelan Tinta Langit.

Tamim menyadarkan saya, bagaimana cara mencintai dan setia pada sesuatu. Tamim memberikan pelajaran berharga pada saya, tentang bagaimana cara memperlakukan impian yang dilupakan waktu. Tamim benar. Tak seharusnya saya (dan lainnya) menyerahkan Tinta Langit pada selain kami. Tinta Langit adalah kami bersebelas. Tak ada selain itu. Selalu.

Saya ingin menangis. Tapi saya malu melakukannya di depan Tamim. (zizi)

Malang, 27 November 2008

No comments: