www.wikipedia.com

Wednesday, November 26, 2008

RESENSI BUKU


Ledakan “Laskar Pelangi”

Andrea Hirata: “Seorang sastrawan itu haruslah seorang ilmuwan.”

Dalam tulisannya Sain, Sastra, Keraguan. Nirwan Ahmad Arsuka [Esei-esei Bentara Kompas, hal 337-349, 2002] menulis, bentuk hubungan paling menakjubkan antara sains dan sastra, terbentang pada karya-karya Jorge Luis Borges. Penulis Argentina ini mendapat perhatian dari komunitas ilmiah bukan karena ia bermain-main dengan sains, tetapi karena ia suntuk menggeluti sastra. Sambil terus-menerus berupaya menemukan (dan menciptakan) kembali sastra bagi dirinya, Borges bercerita tentang haptakptakptakptakptakptakptakptakikirkan dan diimpikan manusia. Di hampir seluruh karyanya, Borges terasa betul seperti ilmuwan sejati manghadapi diri dan dunia. Skeptisisme menjadi salah satu penuntun kerjanya. Dalam seri ceramah di Harvard yang dibukukan dengan tajuk This Craft of Verse, Borges mengaku bahwa selain kebingungannya, ia hanya menawarkan keraguan. Ia terus-menerus meragukan pencapaian mediumnya, sebagaimana ia meragukan alam semesta dan dirinya sendiri. Keraguan Borges yang kekal adalah keraguan yang terkendali, yang tak terlalu boros hingga melumpuhkan imajinasi.

Ada banyak hal yang ditawarkan oleh karya sastrawan buta yang punya wawasan luas dan tajam ini. Pusat studi Borges di Universitas Aarhus, Denmark, mencatat sejumlah mutiara yang tersimpan dalam naskah-naskah Borges. Selain ontologi-ontologi bahasa utopia, sejarah semesta yang beraneka ragam, deskripsi binatang-binatang khayal yang logis, etika naratif, matematika imajiner, thriller teologis, bentuk-bentuk geometris noltagis, dan ingatan-ingatan yang diciptakan. Diatas semua itu adalah filsafat yang diterima sebagai kebingungan, pemikiran sebagai konjektur, dan puisi sebagai bentuk terdalam rasionalitas.

Karya-karya Borges menunjukan bahwa sastra yang bermutu, seperti juga karya-karya besar cabang seni lain, bukan hanya dapat melampaui penciptanya. Karya-karya besar itu juga bisa mendahului jangkauan dahsyat pengetahuan ilmiah.

Sebenarnya yang ingin saya tuliskan sebelum meresensi inti cerita dalam novel Laskar Pelangi adalah, persis ungkapan Andrea Hirata diatas dan jalan yang dipilih oleh Jorge Luis Borges. Intinya siapapun dia, dari mana asalnya menulislah, ilmuwan disini juga bermakna luas dan dalam sekali hakikatnya, karena saya sendiri yakin, manusia yang belum mengecap bangku pendidikan formal bukan berarti dia bukan ilmuwan yang menemukan sesuatu. Contoh kongkritnya adalah Bob Sadino, Mahar dan Lintang, ataupun mereka-mereka yang belum terekspose media masa. Subyektif memang, namun pendidikan formal dan non formal bukan momok besar apakah seseorang pantas disebut ilmuwan atau tidak. Terpenting adalah apakah dia mampu menuliskan atas apa yang telah ditemukannya itu menjadi bait-bait indah yang dibungkus sains dalam bentuk sastra hinga bisa di apresiasi generasi seangkatan atau sesudahnya untuk menunjukkan bahwa dia ada. Terserah orang menyebutnya ilmuwan atau pecundang

Pada sebuah kesempatan di Kampus Universitas Widya Mandala (UWM) Surabaya, Sabtu (2/3). Andrea Hirata sebagaimana dikutip Kantor Berita Antara, mengemukakan, sebetulnya menulis karya sastra yang laris itu kuncinya adalah: isinya kontekstual, bukan tekstual. Karena itu, orang yang menekuni ilmu di luar sastra memiliki peluang banyak untuk menghasilkan karya yang bisa dibaca banyak orang.

"Karena itu, seorang sastrawan itu haruslah seorang ilmuwan. Untuk menghasilkan karya yang bagus itu kita juga harus melakukan riset dan riset. Rhoma Irama saja membuat lagu memakai riset kok," kata lulusan S2 sebuah universitas di Sorbone, Perancis, itu seraya mendendangkan lagu Rhoma Irama yang menceritakan jumlah penduduk Indonesia itu.

Selanjutnya Andrea mengemukakan, kisah dan hal-hal yang ada di dalam novel Laskar Pelangi tidak hanya hal-hal yang ia pikirkan, melainkan juga banyak hal yang ia rasakan. Hal itu, menurut dia, merupakan bentuk komunikasi penulisnya dengan pembaca.

Membingkai isi novel super bestseller tetralogi Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor dan Maryamah Karpov, hemat kami bukan suatu perkara yang mudah. Butuh berjam-jam bahkan berhari-hari atau lebih untuk mengukirnya menjadi sebuah pesan yang begitu berharga dalam akal-hati-jiwa kita. Karena saat kita mulai membuka gerbang lembar demi lembar halaman mozaik Laskar Pelangi, seolah-olah kita baru saja menginjakkan kaki di dunia lain yang penuh dengan metafora kehidupan yang dibungkus ilmu pengetahuan.

Sangat setuju sekali saya dengan komentar Ahmad Tohari dan tokoh-tokoh Indonesia yang menjuluki Andrea Hirata: Seniman kata-kata yang mampu menyihir jiwa pembacanya. Sebab setiap jengkal kata-kata yang dipakai Andrea adalah ilmu pengetahuan yang disenergikan dan divisualisasikan dengan diksi sastra yang luar biasa.

Membaca Laskar Pelangi seperti belajar kembali tentang Filsafat, Fisika, Geometri, matematika, tafsir, fisika, biologi, bahasa, sastra, humaniora, psikologi, sosiologi, sejarah, kesenian, aqidah akhlaq, ekonomi, antropologi, botani, kimia, pendidikan, petuah bijak, hasil observasi, kontemplasi pribadi dan sebagainya secara bersamaan, dalam satu buku yang diungkapkan dengan begitu sederhana, tidak menggurui dan mengalir, karena kita akan belajar serta berpetualang dengan hal-hal baru yang selama ini kita lewatkan, subyektif memang pendapat ini. Tapi itu bisa Anda buktikan lewat catatan ringkas tak sistematis ini dalam bentuk argumen, pertanyaan, pernyataan, celoteh, teori sederhana. Dan tentunya dengan pemaknaan versi Anda sendiri setelah membaca novelnya. Seperti; “…And to every action there is always an equal and opposite or contrary, reaction…/Isaac Newton/1643-1727”. “Pelajaran moral pertama, jika tak rajin sholat maka pandai-pandailah berenang [kisah kaum Nabi NUH As], nomor dua; jangan tanyakan nama dan alamat pada orang yang tinggal dikebun [A Kiong-M. Jundullah Gufron Nur Zaman]”, Pelajaran moral no.4 adalah ternyata nasib yang sangat misterius itu adalah seorang pemandu bakat. Pelajaran moral no.5; jangan bersahabat dengan orang gila perdukunan [Mahar]”. “Dilarang masuk bagi yang tidak memiliki hak”. “Memegang amanah sebagai pemimpin memang berat, tapi jangan khawatir banyak orang yang akan mendoakan. Tidakkah ananda sering mendengar di berbagai upacara petugas sering mengucap doa: ‘Ya Alloh lindungilah para pemimpin kami? Jarang sekali kita mendengar doa: Ya Alloh lindungilah anak buah kami..”.


Tokoh-tokoh Utama Laskar Pelangi: Lintang, Mahar, Borek/Samsons, Sahara, Trapani, Keriting/Ikal, A kiong, Harun, Kucai, Syahdan, Florina tomboi, Bapak K.A. Harfan Efendy Noor, dan Ibu Muslimah Hafsari.

Ledakan kisah ini bermula saat Ikal diantarkan ayahnya ke SD Muhammadiyah di Belitong. Demi mendapatkan sesuap ilmu yang mahal untuk anak-anak kuli tambang, Ikal disekolahkan disana. Berbekal revolusi semangat dan mimpi-mimpi mahal yang harus dibangun dan dibuktikan di masa depan.

Pertemuan anggota laskar pelangi yang menjadi lakon novel realita plus bumbu imajinatif ini yang membuat suguhan dahsyat dalam kenyataan sebenarnya dan khayalan pembaca novel yang seakan hanyut, larut, seolah-olah menjadi bagian dari salah satu anggota laskar pelangi dengan beragam karakter uniknya. Sekaligus pembaca bisa bercermin atas fakta yang ditulis dalam talian huruf demi huruf yang ditorehkan Andrea Hirata.

Layaknya tokoh ‘Mahar’ sang jenius otak kanan yang selalu membuat debutan-debutan baru seni dan metafisika diluar pembelajaran ibu Muslimah ataupun ajaran pak Harfan. Seperti saat Mahar menemukan tarian suku Afrika beserta tetabuhannya ketika kondisi keuangan SD Muhammadiyah yang tak mampu memanjakan para siswanya dengan fasilitas memadai guna menaikkan wibawa serta prestise mereka ditengah-tengah kepungan SD-SD mapan lainnya di belitung. Atau saat Mahar melakukan ekspedisi nekat bersama Flo ke pulau Lanun untuk menemui dukun sakti agar dapat lulus ujian.

Ada satu tokoh keren lagi menurut saya selain Lintang, yakni Bodenga si pawang buaya. Dengan segala keterbatasan dan kelebihannya, ia memberikan pada kita potret bahwa masih ribuan Bodenga-bodenga yang lain tersebar dari Sabang-Merauke yang mencintai alam dan seisinya tanpa pamrih. Tanpa melihat apakah Bodenga menyembah buaya, Islam, Katolik atau seterusnya. Ketulusan jiwanya tanpa batas untuk melindungi makhluk Tuhan yang bias kita renungkan dan tiru selamanya, karena Bodenga punya taste atau soul disbanding kita yang menganggap dirinya beradab, anti kemapanan, anti global warming dsb.

Yang bisa saya rangkai dari kisah novel ini berpijak pada tokoh-tokoh utama Laskar Pelangi. Dimulai dari ibu Muslimah yang menjadi inspirator seluruh anggota Laskar Pelangi, khususnya Ikal si Andrea Hirata. Bu Muslimah yang begitu pantang menyerah untuk memberikan the best of the best seluruh kemampng mng mng mng mng mng mng mng mihi dirinya menembus zaman dan impiannya masing-masing. Seperti saat beliau menunggu Harun si anggota Laskar Pelangi terakhir, kunci masa depan SD Muhammadiyah.

Kemudian Pak Harfan yang berwibawa, pemimpin sekaligus bapak sejati dan panutan seluruh elemenSD Muhammadiyah dari masa ke masa. Ketiga adalah Lintang, murid yang luar biasa, entah stoknya masih ada apa tidak atau menunggu ratusan tahun lagi untuk memunculkan siklus generasi ajaib kemudian diseluruh SD/ MI Indonesia. Ikal alias Andrea Hirata, sang penerus dan pengemban amanat panjang laskar pelangi, SD Muhammadiyah dan Belitung Island tentunya. Borek atau Samsons Belitong, Sahara bidadari hiperaktif yang baik hati sebenarnya, Trapani si ganteng anak mama, A kiong cinta dan format masa depan Sahara, Harun anak kecil yang terjebak pada tubuh orang dewasa sekaligus the savior of lascar pelangi, Kucai sang politikus idealis, Syahdan pemalas yang setia kawan, Florina tomboy yang realistis dan anti kemapanan.

Kelemahan novel ini adalah klise dan subyektif memang, menurut saya latarbelakang budaya Andrea Hirata yang asli Belitong, kental dengan bahasa melayu yang membuat novel ini mendayu-dayu dan terkesah berlebihan. Tapi itupun telah tertambal dengan diksi kata demi kata yang dipilih sehingga pembaca tak merasa bosan untuk menuntaskan membacanya.

Menarik novel ini ke dimensi psikologi yang bisa saya potret adalah, upaya Andrea Hirata untuk memacu semangat pembacanya untuk menggapai cita-cita masing-masing secara optimal melalui syukur atas segala nikmat yang telah dianugerahkan Sang Maha Alim, khususnya lewat dunia pendidikan [membaca & menulis yang bermanfaat]. Sebagaimana kita ketahui novel ini terlahir sebagai bentuk persembahan dan ungkapan terimakasih tak terhingga seorang murid pada gurunya, Ibu Muslimah, Bapak Harfan dan para anggota Laskar Pelangi yang begitu melekat dan menjadi inspirator nyata perjuangan meraih mimpi-mimpi Ikal dari tanah Belitong ke Sorbone Prancis, terutama untuk sahabat jeniusnya, Lintang. Hirata mampu me-recall memori-memori masa kecilnya hingga dewasa, dari sudut pandang anak-anak menjadi novel bertenaga/beryoni/berdaya magis seperti Laskar Pelangi sampai Maryamah Karpov yang ditunggu. Dari sebuah realita yang dilukis dengan cantik menjadi mahakarya imaji yang membuat orang lain menangis, tertawa, bersyukur, terenyuh sekaligus iri dengan kisahnya secara bersamaan. Dengan bahasa yang penuh warna sastra-saintifik menurut Hernowo. Terakhir, jangan lupa meskipun secara fisik dan mental kita telah dewasa, tapi kadangkala kita seolah-olah lupa bahwa kita juga pernah menjadi dan melewati masa menjadi manusia-manusia kecil dengan langkah-langkah ringan yang bahagia disetiap detiknya, sehingga seringkali kita memaksa adik, sahabat, anak atau pun orang lain menjadi seperti kita yang sok dewasa.

13/14 April 08 Rumah Teduh Tinta Langit

DIBUANG SAYANG:

“…And to every action there is always an equal and opposite or contrary, reaction…/Isaac Newton/1643-1727”.

“Pelajaran moral pertama, jika tak rajin sholat maka pandai-pandailah berenang [kisah kaum Nabi NUH As], nomor dua; jangan tanyakan nama dan alamat pada orang yang tinggal dikebun [A Kiong-M. Jundullah Gufron Nur Zaman]”, Pelajaran moral no.4 adalah ternyata nasib yang sangat misterius itu adalah seorang pemandu bakat. Pelajaran moral no.5; jangan bersahabat dengan orang gila perdukunan [Mahar]”.

“Dilarang masuk bagi yang tidak memiliki hak”.

“Memegang amanah sebagai pemimpin memang berat, tapi jangan khawatir banyak orang yang akan mendoakan. Tidakkah ananda sering mendengar di berbagai upacara petugas sering mengucap doa: ‘Ya Alloh lindungilah para pemimpin kami? Jarang sekali kita mendengar doa: Ya Alloh lindungilah anak buah kami..”.

Ini tentang keteguhan, pendirian, ketekunan, dan keinginan kuat untuk mencapai cita-cita; “bahwa hidup bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesama”.

“Hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya, bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya”.

“Ibu adalah pusat gravitasi”[Trapani-kota pantai di Sisilia].

PENGECUALIAN DARI SISTEM [HARUN] GA PUNYA RAPOT karena keterbelakangan mental, dan selalu bertanya, “KAPAN KITA LIBURAN LEBARAN ibunda guru?”.

“GILA ITU ADA 44 MACAM, ”kata ibuku seperti seorang psikiater ahli sambil mengunyah gambir dan sirih. “Semakin kecil nomornya semakin parah gilanya, beliau menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatapku seperti sedang menghadapi seorang pasien rumah sakit jiwa. Maka orang-orang yang sudah tidak berpakaian dan lupa diri di jalan-jalan, itulah gila no.1, dan gila yang kau buat dengan bola tenis itu sudah bisa masuk no.5. Cukup serius! Hati-hati, kalau tak pakai akal sehat dalam setiap kelakuanmu maka angka itu bisa segera mengecil.”

Fisika tidak mempertimbangkan “psywar” ketika bertemu denganBUAYA ganas.

Beliau terkagum-kagum, bagaimana bisa baca tulis mengubah masa depan seseorang?.[ibu Lintang yang buta huruf].

“Kebodohan berbentuk seperti asap, uap air, kabut, dan ia beracun. Ia berasal dari tempat yang namanya tak pernah dikenal manusia. Jika ingin menemui kebodohan maka berangkatlah dari tempat dimana saja planet biru ini dengan menggunakan tabung roket atau semacamnya, meluncur ke atas secara vertikal, jangan pernah sekalipun berhenti”.

“Gapailah gumpalan awan dalam lapisan troposfer, lalu naiklah terus menuju stratosfer, menembus lapisan ozon, ionosfer, dan bulan-bulan di planet yang asing. Meluncurlah terus sampai ketinggian di mana gravitasi bumi sudah tak peduli. Arungi samudra bintang gemintang dalam suhu dingin yang mampu meledakkan benda padat. Lintasi hujan meteor sampai tiba di eksosfer-lapisanpaling luar atmosfer dengan bentangan selebar 1.200 km, dan teruslah melaju menaklukan langit ketujuh. Diatas langit ketujuh, disitulah kebodohan bersemayam. Rupanya seperti kabut tipis, seperti asap cangklong, melayang-layang pelan, memabukkan. Maka jika kita tanyakan sesuatu pada orang-orang bodoh, mereka akan menjawab dengan meracau, menyembunyikan ketidaktahuannya dalam omongan cepat, mencari beragam alasan, atau membelokkan arah pertanyaan. Sebagian yang lain diam terpaku, mulutnya terngaga, ia diselubungi kabut dengan tatapan mata yang kosong dan jauh. Kedua jenis reaksi ini adalah akibat keracunan asap tebal kebodohan yang mengepul di kepala mereka. Langit ketujuh adalah metafora dari suatu tempat di mana manusia tak bisa mempertanyakan Dzat-dzat Alloh. Setiap usaha mempertanyakannya hanya akan berujung dengan kesimpulan yang mempertontonkan kemahatololan sang penanya sendiri, dimana Arasy-disitulah tergelar Lauhul mahfuzh”.

“Kelemahan lintang sang jenius otak kiri, aku tak yakin apakah hal itu bisa disebut kelemahan, adalah tulisannya yang cakar ayam tak keruan, tentu karena mekanisme motorik jemarinya tak mampu mengejar pikirannya yang berlari sederas kijang”.

“Tafsir surah Ar-Rum tentang Adnal ardli: tempat yang dekat atau negeri yang terdekat dalam arti harfiah, dan tempat yang paling rendah itu di bumi adalah Byzantium atau Konstantinopel, Roma Timur”.

“Ternyata jika hati kita tulus berada didekat orang berilmu, kita akan disinari pancaran pencerahan, karena seperti halnya kebodohan, kepintaran pun sesungguhnya demikian mudah menjalar”.

“Orang cerdas memahami konsekuensi setiap jawaban dan menemukan bahwa di balik sebuah jawaban tersembunyi beberapa pertanyaan baru. Pertanyaan baru tersebut memiliki pasangan sejumlah jawaban yang kembali akan membawa pertanyaan baru dalam deretan eksponensial. Sehingga mereka yang benar-benar cerdas kebanyakan rendah hati, sebab mereka gamang pada akibat dari sebuah jawaban. Konsekuensi-konsekuensi itu mereka temui dalam jalur-jalur labirin, jalur yang jauh menjalar-jalar yang tak dikenal di lokus-lokus antah berantah, tiada berujung. Mereka mengarungi jalur pemikiran ini, tersesat jauh didalamnya, sendirian”.

“Godaan-godaan besar bersemayam di dalam kepala-kepala orang cerdas. Di dalamnya gaduh karena penuh dengan skeptisisme. Selesai menyerahkan tugas kepada dosen, mereka selalu merasa tidak puas, selalu merasa bisa berbuat lebih baik dari apa yang telah mereka presentasikan. Bahkan ketika mendapat nilai A plus tertinggi, mereka masih saja mengutuki dirinya sepanjang malam”.

“Orang cerdas berdiri di dalam gelap, sehingga mereka bisa melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain. Mereka yang tak dipahami oleh lingkungannya, terperangkap dalam kegelapan itu. Semakin cerdas, semakin terkucil, semakin aneh mereka. Kita menyebut mereka: orang-orang yang sulit. Orang-orang sulit ini tak berteman, dan mereka berteriak putus asa memohon pengertian. Ditambah sedikit saja dengan sikap inrovet, maka orang-orang cerdas semacam ini jarang berakhir disebuah kamar dengan perabot teduh dan musik klasik yang terdengar lamat-lamat, itulah ruang terapi kejiwaan. Sebagian dari mereka amat menderita”.

“Sebaliknya, orang-orang yang tidak cerdas hidupnya lebih bahagia. Jiwanya sehat walafiat. Isi kepalanya damai, tentram, sekaligus sepi, karena tak ada apa-apa disitu, kosong. Jika ada suara memasuki telinga mereka, maka suara itu akan terpantul-pantul sendirian di dalam sebuah ruangan yang sempit, berdengung-dengung sebentar, lalu segera keluar kembali melalui mulut mereka”.

“Jika menyerahkan tugas, mereka puas sekali karena telah berhasil memenuhi batas akhir, dan ketika mendapat nilai C, mereka tak henti-hentinya bersyukur karena telah lulus”.

“Mereka hidup di dalam terang. Sebuah senter menyiramkan sinar tepat di atas kepala mereka dan pemikiran mereka hanya sampai pada batas lingkaran cahaya senter itu. Di luar itu adalah gelap. Mereka selalu berbicara keras-keras takut akan kegelapan yang mengepung mereka. Bagi sebagian orang, ketidaktahuan adalah berkah yang tak terkira”.

“Aku pernah mengenal berbagai orang cerdas. Ada orang jenius yang jika menerangkan sesuatu lebih bodoh dari orang yang paling bodoh. Semakin keras ia berusaha menjelaskan, semakin bingung kita dibuatnya. Hal ini biasanya dilakukan oleh mereka yang sangat cerdas. Ada pula yang kurang cerdas, bahkan bodoh sebenarnya, tapi kalau bicara ia terlihat paling pintar. Ada orang yang memiliki kecerdasan sesaat, kekuatan menghafal fotografis, namun tanpa kemampuan analisis. Ada orang yang cerdas tapi berpura-pura bodoh, dan lebih banyak lagi yang bodoh tapi berpura-pura cerdas”. [Laskar Pelangi: 113-Langit ketujuh]

Keriting [A Hirata] bingung dengan 16 tenses Bahasa Inggris kemudian dia curhat pada Lintang, masalahnya adalah ketika Keriting atau Ikal sudah berada dalam sebuah narasi, dia kehilangan jejak dalam konteks tenses apa ia berada? Pun ketika ingin membentuk sebuah kalimat, Keriting bingung. Jawab Lintang: “Memikirkan struktur dan dimensi waktu dalam sebuah bahasa asing yang baru saja kita kenal, tidak lebih dari hanya akan merepotkan diri sendiri. Sadarkah kau bahasa apapun di dunia ini, di mana pun, mulai dari bahasa Najavo yang dipakai sebagai sandi tak terpecahkan di perang dunia kedua, bahasa Gaelic yang amat langka, bahasa Melayu pesisir yang berayun-ayun, sampai bahasa Mohican yang telah punah, semuanya adalah kumpulan kalimat, dan kalimat tak lain adalah kumpulan kata-kata”. “Nah, kata apa pun, pada dasarnya adalah kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan. Ini bukan masalah bahasa yang sulit tapi masalah cara berfikir. Berangkatlah dari sana, pelajari bagaimana menggunakan kata benda, kata kerja, kata sifat, dan kata keterangan dalam sebuah kalimat Inggris. Belajar kata terlebih dulu, bukan belajar bahasa”. Itulah paradigma belajar bahasa Inggris versi lintang.

Argumenatsi lintang tentang teoeri Darwin: “Persoalannya adalah apakah Anda seorang religius, seorang darwinian, atau sekedar oportunis? Pilihan sesungguhnya hanya antara religius dan darwinian, sebab yang tidak memilih adalah opurtunis! Yaitu mereka yang berubah-ubah sikapnya sesuai situasi mana yang akan lebih menguntungkan mereka. Lalu pilihan itu seharusnya menentukan perilaku dalam menghargai hidup ini. Jika Anda seorang Darwinian, silahkan berperilaku seolah tak ada tuntutan akhirat, karena bagi Anda kitab suci yang memaktub bahwa manusia berasal dari Nabi Adam adalah dusta. Tapi jika Anda seorang religius maka Anda tahu bahwa teori evolusi itu palsu, dan ketika Anda tak kunjung mempersiapkan diri untuk dihisab nanti dalam hidup setelah mati, maka dalam hal ini Anda tak lebih dari seorang sekuler oprtunis yang akan dibakar di dasar neraka”.

Bakat laksana Area 51 di Gurun Nevada, tempat dimana mayat-mayat alien disembunyikan: misterius! Jika setiap orang tahu dengan pasti apa bakatnya maka itu adalah “utopia”. Sayangnya utopia tak ada dalam dunia nyata. Bakat tidak seperti alergi, dan ia tidak otomatis timbul seperti jerawat, tapi dalam banyak kejadian ia harus ditemukan.

Banyak orang yang berusaha mati-matian menemukan bakatnya dan banyak pula yang menunggu seumur hidup agar bakat atau dirinya ditemukan, tapi lebih banyak lagi yang merasa dirinya berbakat padahal tidak. Bakat menghinggapi orang tanpa diundang. Bakat main bola seperti Van Basten mungkin diam-diam dimiliki seorang tukang taksir di kantor pegadaian di Tanjong Pandan. Seorang Karl Marx yang lain bisa saja sekarang sedang duduk menjaga wartel di sebuah kampus di Bandung. Seorang kondektur ternyata adalah John Denver, seorang salesman ternyata berpotensi menjadi penembak jitu, atau salah seoarng tukang nasi bebek di Surabaya ternyata berbakat menjadi komposer besar seperti Zubin Mehta. Bakat layaknya mutiara yang tertelan kerang, tak pernah seorang pun melihat kilaunya, karena bakat seringkali harus ditemukan.

Kecerdasan spasial; cepat membayangkan wajah sebuah konstruksi suatu fungsi jika digerak-gerakan dalam variabel derajat seperti geometri multidimensional, dekomposisi modern menggunakan teknik poligon geometri Euclidsian. Kecerdasan experiental; piawai menghubungkan setiap informasi dengan konteks yang lebih luas dengan kapasitas metadiscourse layaknya para jenius. Kecerdasan linguistik; mudah memahami bahasa, efektif berkomunikasi, punya nalar verbal, dan logika kualitatif. Kemampuan descrtiptive power; skill menggambarkan sesuatu dan mengambil contoh yang tepat. Kecerdasan seni; berlimpahnya amunisi kreativitas, kapasiatas estetika yang tersimpan dalam lokus-lokus di kepalanya, imajinatif, aneh, lucu, ganjil, menggoda keyakinan. memberontak, segar, unik, menerobos dengan ide abstraknya.

Pada sebuah kesempatan, Andrea mengemukakan; “Sebetulnya menulis karya sastra yang laris itu kuncinya adalah: isinya kontekstual, bukan tekstual. Karena itu, orang yang menekuni ilmu di luar sastra memiliki peluang banyak untuk menghasilkan karya yang bisa dibaca banyak orang”.


No comments: