www.wikipedia.com

Wednesday, November 26, 2008

PADA SUATU KETIKA (CERPEN)


Jendral Wito

“Siapa namanya dik?,” tanya Selly pada salah satu sosok kecil di tengah-tangah lingkaran tubuh-tubuh mungil di bawah pohon melinjo, sebelah kiri rumah mbok Juminten. Wito kak tukasnya, sambil cengengesan1 menghadap ruang kosong disebelah kami. Bocah unik ini, terkenal paling betik2 di RT 5, Manding Sidowayah. Matanya yang bulat berbinar-binar, hidungnya pesek, kurang lebih tingginya satu meter, kulitnya putih dengan langkah setengah berjingkat saat berjalan, dan sebuah gelang hitam plastik melingkar di tangan kanannya, perlambangan kejantanannya.

Kuikuti saja forum perkenalan teman-teman PKL dengan anak-anak asli setempat dengan santai, ada Yuli, Ummah, Parmin, Wadi, Kuncung dan sebagainya selain Wito. Sekali lagi, Wito, menggoda kancane3 tanpa rasa bersalah sembari menghirup ingusnya yang sesekali meler4. Outbond5 perkenalan terus berjalan, mereka mengekspresikan dirinya tanpa harus dipaksa, itu memudahkan Tim PKL kami untuk mengidentifikasi anak-anak yang dianggap memiliki permasalah psikologis. Karena sebelumnya, dusun ini telah divonis oleh media massa sebagai dusun ‘idiot’ alias ‘mendo’6. Sehingga kami terpanggil untuk memberikan sesuatu yang bermanfaat pada mereka disana, meskipun kecil sifatnya. Timbul dalam benakku tentang Wito, sesungguhnya anak ini mempunyai bakat memimpin, namun dia tidak pernah diberi kesempatan sahabat-sahabatnya untuk melakukan sesuatu yang berarti. Misalnya, setiap kali Wito berulah dia berani bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya. Kekonyolannya adalah seringkali mencoba untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, tapi yang terjadi ujung-ujungnya terapi humor gratis bagi kami, nasi campur bahasa Indonesia dengan Jawa. “Wit, dari mana kamu? dari ngeseng kak dengan lugasnya, tanpa mimik penyesalan. Dari hal inilah, yang mendorongku memanggilnya “Jendral Wito”, inspirasi dari tokoh Temon sang Jendral Kancil, tokoh utama dalam film perang kemerdekaan dulu.

Hampir setiap hari Wito dan kawan-kawan memetik buah belimbing yang masih hijau di halaman kanan mbok Juminten, entah apa enaknya, lha wong masih kecil-kecil diunduh7 dan dikruwes-kruwes8 oleh gigi-gigi muda mereka, tapi kayaknya mereka tetap asyik menikmati buah gratis diatas pohon. Padahal yang empunya selalu berteriak-teriak, “awas tibo yo engko!”9, tapi tetap saja mereka melakukan ritual rujak belimbing party.

Jelang Maghrib aku sendirian menuju sungai yang membelah Manding dan Mbedok, belum separuh jalan, tepat didepan rumah pak Gendut bapaknya Wito. Hal luar biasa tejadi, sesosok tubuh kecil berada diatas pohon kelapa sedang memeluk batangnya erat sekali. Dengan raut muka kelelahan dan ketakutan, mata bulat itu memandang bapak, ibu, dan adik kecilnya yang cantik dibawah, mereka memandang iba pada Wito di atas pohon. “Witoooo, ayo mudun! tak gepok yen ora mudun10. Entah apa yang sebenarnya terjadi, aku hanya bisa memandanginya dari kejauhan, harap-harap cemas jika tiba-tiba nanti Wito jatuh. Karena belum sholat Ashar, bergegas aku ke sungai, tak tahu endingnya bagaimana.

Dari cerita mulut ke mulut, Wito sebenarnya adalah anak pertama dari empat bersaudara. Dia memiliki dua orang adik laki-laki dan si bungsu, Winda namnya. Konon, adiknya yang nomor tiga meninggal setelah seminggu dilahirkan, sebab bapaknya pengangguran dan tak memiliki biaya bersalin ibu-adiknya. Akhirnya demi menyelamatkan masa depan keluarganya, adik Wito yang nomor dua diasuhkan kepada sepupu jauh ayahnya. Akibatnya masyarakatpun mencibir tindakan pak Gendut yang dianggap menyia-nyiakan putranya, mereka beralasan anak adalah rizki dari tuhan yang wajib dijaga, dan efek pararelnya Wito dan Winda sempat ikut-ikutan dikucilkan dari pergaulan sahabat-sahabat sepermainannya, ironi untuk anak sekecil Wito dan Winda.

Hari masih pagi, Jendral Wito telah duduk diberanda depan mbok Juminten. ‘Ono opo Wit?’tanyaku, lapar kak. Seperti ditampar mukaku, sangat malu, aku yang segede ini tak pernah kekurangan ransum makanan-minuman. Tiba-tiba ada bocah kecil kelaparan dihadapanku, kuambilkan sepiring tiwul dan lauk ala kadarnya sisa semalam. Dengan lahapnya dia menyantap porsi sederhana itu. ‘peng piro awakmu mangan sedino Wit?’, sambil menikmati sarapan paginya yang hilang, ia mengacungkan telunjuknya. Selly, Didan dan teman-teman PKL-ku tak mampu berkata-kata lagi, sebab fokus kami di dusun ini adalah memberikan solusi pskologis bukan materi, pun juga kita tidak membawa lebih perbekalan untuk keluarga yang tidak mampu.

Bada’ Ashar sekitar pukul 4 sore, Wito dan sahabat-sahabatnya telah berkumpul di rumah mbok Juminten yang luas dan lebar, khas Joglo Jawa. Mereka akan belajar bersama mengulang maa pelajaran disekolah pagi tadi. Sekardus besar berisi buku-buku bacaan dari perpus keliling kota telah tersedia dipojokan rumah klasik ini. Mbok Juminten sesekali memandangi kami dari balik ruang sentong tengah11-nya dengan penuh harapan pada generasi muda dusun ini. Walaupun buta huruf, mbok Juminten sukarela menerima kami di gubuknya untuk dijadikan markas PKL. Wito, Ummah, yuli, Parmin, dan sekitar 17 anak lainnya, tenggelam dalam mistik buku yang begitu dirindukan dan membius alam bawah sadar mereka. Buku bagaikan air di puncak gunung Rajegwesi yang gersang saat Agustus, panasnya menembus ubun-ubun kepala, saat titik-titik hujan turun, hijaulah semua hamparan karpet padang wono12 dan baon13. Sampai-sampai kami kewalahan untuk menyuruh mereka pulang, sebab adzan Maghrib telah mengalun dari masjid Sirothol Jannah.

“Nabil, mana handuk kecilmu? tanya Selly, Wito badannya panas.” Kuberikan segera handuk kecilku pada Selly, terbayang langsung rumah keluarga Wito yang tak dihiasi satupun lampu listrik, dinding-dinding gedek14 yang pastinya tertembus udara malam yang menusuk palung sum-sum, lamat-lamat kulihat lampu oblek15, made in pak Gendut mungkin, menari-nari sesuai perasaan angin. Alhamdulillah, Wito paginya sudah bisa duduk di amben16 depan rumahnya, dia tersenyum diantara bapak ibunya, halo kak, sapanya lirih. Dasar Jendral Wito.

Terik surya di bumi Sidowayah, tak menyiutkan langkah-langkah kecil tanpa sandal untuk tertawa lepas, mandi di bilik-bilik sungai, mencari ikan, pesta belimbing, makan tiwul, menggembala kambing dibawah barisan bukit Wonopuro, Kebon, Dawe, Sudo Wetan, Sudo Kulon, Mbedok, Manding dan seterusnya. Karena Jendral Wito telah sembuh, dan akan bangkit untuk memimpin Laskar Sidowayah di masa depan.

Junaidi Abdillah

Hamba dedikasikan karya ini untuk Wito sekeluarga

Ngalam, 15 November 2008

Catatan kaki:

1 Jawa; tersenyum

2 Nakal

3 Temannya

4 Keluar

5 Belajar sambil bermain

6 Bodoh

7 Dipetik

8 Dimakan

9 Awas jatuh nanti!

10 Wito, ayo turun! tak pukul jika tidak turun

11 Tempat sesajen untuk arwah para leluhur saat awal Ramadhan dan Muharram

12 Hutan

13 Kebun Singkong

14 Bambu

15 Lampu yang terbuat dari kaleng bekas dengan sumbu seadanya

16 Bangku panjang dari bambu

No comments: