www.wikipedia.com

Wednesday, February 25, 2009







Dari Oshin, Si Doel hingga Para Pencari Tuhan






Tayangan audio visual layaknya televisi, yang sederhana temanya, mendidik dan syarat akan nilai, moral serta teladan positif tampaknya sulit terealisasi dan direalisasikan dalam waktu dekat ini di Malang Raya ataupun Indonesia umumnya. Karena hampir tiap jam kita selalu dan selalu dicekoki berbagai macam tayangan yang dulu dianggap tabu dan tak layak dikonsumsi segala umur (usia) dan publik, perlahan tapi pasti tayangan tersebut merangkak menggapai puncak rating tinggi di industri pertelevisian Indonesia dewasa ini. Lihat saja mulai dari pagi, siang, sore, malam hingga pagi lagi infotaimen gosip selebritis tak kalah durasi waktunya dengan berita-berita terkini nasional, belum lagi reality show pacaran, cinta muda-mudi belasan tahun, detektif-detektifan, humor tanpa bobot, sinetron garing dan cengeng sampai acara musik yang berlebihan terus mendominasi program-program televisi tanah air yang kesemuanya mengaburkan identitas asli bangsa Indonesia yang luhur berkarater kuat, dan agamis selama berabad-abad.



Kilah para produser sekaligus stakeholder, itu semua adalah permintaan mayoritas pemirsa pada Production House (PH) maupun Stasiun Televisi lewat survei dan polling yang masuk. Benarkah faktanya seperti itu? Apalagi mental-mental para pembuat program televisi dalam negeri kita cenderung latah dan mudah iri hati, jika satu program di stasiun televisi tertentu sukses, maka serta merta mereka akan menyontek dan mempermaknya habis-habisan agar mendapatkan pemirsa baru.



Aneh, miskin kreativitas dan malas berinovasi, lalu dimanakah idealisme para sutradara? Masak kalah dengan segepok uang, padahal langsung ataupun tidak, merekalah salah satu mata rantai yang berkubang dalam lingkaran bisnis audio-visual ini, dan berandil besar membuat bangsa ini mudah termehek-mehek, mental-mental instant-deadline tatkala menjalani hidup lewat produk dan program TV-nya. Khusus di tangga rating dan kualitas sinetron seharusnya para produser belajar dan bercermin dari masa lalu hingga kini, taruhlah sinetron berseri ‘Oshin’ yang impor Jepang itu terus menunjukkan taringnya, dari sejak saya masih kecil hingga mahasiswa. Sudah berulangkali Oshin ditayangkan di TVRI sebagai embah-nya TV nasional, bukan karena tekanan pemerintah RI/Jepang atau stabilnya ratingnya ataupun hal-hal lain semacam cari untung saja. Namun lebih dari itu, karena kuatnya tema dan daya sihir hikmah-pesan yang ingin disampaikannya itu begitu sederhana dan mengena bagi seluruh manusia (universal sifatnya), yakni pantang menyerah untuk maju guna meraih cita-cita walaupun situsi-kondisi tak memungkinkan mendera diri-keluarga. Logika gampangnya masih banyak celah dan aspek-aspek kehidupan yang tersaji di jagad nusantara yang bisa disulap menjadi sebuah acara yang memikat, dengan budget kecil, magnet tinggi dan beruntung besar jika memang itu tujuannya, tanpa harus menafikan untuk mencerdaskan anak bangsa. Artinya ketika sebuah produk tayangan dalam bentuk apapun mampu meraih simpati, menggugah jiwa bagi yang menontonnya, otomatis, pemirsa membludak dan berbanding lurus dengan antrian iklan yang masuk, nah!.
Contoh kongkritnya adalah produk aseli sineas muda dan senior anak bangsa melalui ‘Si Doel Anak Sekolahan’-Anak Gedongan (Karnos Film) yang diadaptasi dari film laris manis si Doel versi jadul (jaman dulu) yang diperankan apik (Jawa: baik) oleh Rano Karno dan lainnya, disusul kemudian ‘Para Pencari Tuhan’ yang terus menerus merebut hati para pemirsa dalam serta mancanegara arahan sutradara plus aktor kawakan H. Dedy Mizwar. Mereka adalah sedikit dari ratusan publik figur yang telah matang dan berkomitmen penuh memberikan guna men-servise penuh bangsanya dengan karya dan tayangan ‘supermewah’ yang bermetomorfosa menjadi vitamin sehat-menyehatkan akal-pikiran, hati, dan jiwa bangsa yang sedang kehilangan arah ini. Supermewah ini dengan denotasi bahwa apa yang mereka sampaikan tidak jauh terjadi disekitar atau malah diri kita sedang mengalaminya, entah itu himpitan ekonomi, masalah jodoh, rizki, agama, budaya, filsafat, pendidikan, psikologi, dan segala bentuk permasalahan dalam berbagai scene dan sudut pandang bahkan kematian, disuguhkan dan dikemas secara ciamik (bagus-mengena), serta sangat-sangat khas Indonesia yang pelangi.
Tanpa bermaksud menggurui atau merasa lebih menguasai permasalahan tersebut bagi siapapun dengan segala kekurangan dan kelebihan tentunya. Dari karya-karya mereka kita bisa berkaca, menelaah dengan baik, dan alhamdulillah jika kemudian bisa mengamalkan apa yang ingin diinformasikan lewat sinetron ataupun film-filmnya. Selain itu kita juga punya sosok perfilman layaknya Garin Nugroho dengan Rindu Kami Pada-Mu, Opera Jawa, Daun Diatas Bantal dsb, lainnya Mira Lesmana feat Riri Reza dengan Kuldesak, Gie, Laskar Pelangi dan masterpiece-masterpiece mereka selanjutnya yang sejalan intinya.
Semoga saja, media audio-visual sebagai salah satu satelit dan mercusuar pendidikan tercepat, luas jangkauan jaringan serta terjangkau untuk seluruh kalangan ini, bisa benar-benar menjadi televisi pendidikan berfaedah yang bisa mengatrol psikologis anak bangsa yang sedang terpuruk. Tanpa mengesampingkan dukungan penuh dari pemerintah, guru dan orang tua, lingkungan masyarakat, media massa-elektronik serta seluruh elemen bangsa-negara ini. Bukan malah menghancurkan dan meracuni mutiara-mutiara generasi muda Indonesia yang selalu juara di olimpiade-olimpiade dunia tapi kalah telak di negerinya sendiri.



Kitab Kuning’ diantara Jamaah Kopi & Rokok
(Al-Kitab Baina Jam’iyah Al-Qohwah Wa Ad-Dhuhon)
2 Februari 2009 (Warteg-SURYA)


“Saya lebih baik tidak makan ketimbang tidak menghisap rokok seharian”, kalimat itu kira-kira yang sering kami dengar jika memasuki tanggal atau hari paceklik (akhir bulan) dari teman-teman mahasiswa dan alumni pesantren penggila rokok. Satu sisi memang dianggap kurang waras mungkin dan irrasional barangkali, tapi dibalik itu semua mereka sebenarnya sedang mengoptimalkan fungsi tembakau, cengkeh dan rempah-rempah dalam bungkus rokok guna membuka lebar mata lahir mereka untuk kemudian berjibaku, larut dan tenggelam dalam samudera kitab kuning/putihnya yang berujung (cita-cita) terbukanya mata batin mereka atas kebenaran hakiki.Tatkala makin gencarnya tarik-ulur antara pemerintah, pengusaha rokok, petani tembakau, konsumen rokok, Ulama’, organisasi kesehatan dan seluruh elemen yang melingkupinya, pasca kontroversi Fatwa Haram Rokok MUI Pusat yang digelindingkan ditengah-tengah masyarakat. Jauh dari hiruk-pikuk itu semua, tepatnya di pinggiran kota Malang, telah lama berdiri, banyak sekali warung-warung “kopi” plus teman spesialnya yang bernama “rokok”.
Beberapa diantaranya yaitu warung kopi-rokok WARNING (warung kuning) yang terletak Jl.Bendungan Sutami jelang pertigaan UM (IKIP) Malang sebelah kiri jalan dari perempatan ITN Malang, kemudian warung PANGGUNG Jl. Gajayana (sebelah kanan perumahan Istana Gajayana), lalu warung AGP (arek Gresik punya) Jl. Mayjen MT. Haryono sebelah kiri jalan dari arah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dan warung ASNGOJA (asyiknya ngopi aja) dibelakang bangunan Masjid Al-Mukhlis (termasuk kawasan Jl. Mayjen MT. Haryono) serta puluhan warung kopi-rokok yang lain, layaknya jamur dimusim hujan diportal-portal jalan (Surya, 2/2/2009). Konsumen utama dari warung kopi dan rokok diatas, mayoritas adalah mahasiswa dan mahasiswi kota Malang. Terlepas dari fatwa haram MUI Pusat, budaya merokok dan menyeruput kopi telah mengakar akut dan kuat di segala level lapisan masyarakat Indonesia. Faktanya bisa kita tengok di Surabaya, Jogjakarta (angkringan), Tulungagung (kopi nyete), Gresik, Jakarta, Bali dan dipusat-pusat kota Santri di pulau Jawa. Daya tarik warung-warung kopi-rokok di kota Malang pun bermacam-macam, ada yang menarik minat pengunjung dengan kekhasan cita rasa kopi dan penyajiannya, arsitektur serta strategis tempatnya, fasilitas hot spot, remang-remang lampunya, terjangkau kantong mahasiswa harganya alias murah-meriah, full kajian diskusi (sastra, filsafat, politik, musik/band, fotografi hingga film dokumenter dan indie dsb) serta dilengkapi tv-perpustakaan, serta yang terakhir adalah pengajian kitab kuning ala pesantren sembari ­ngopi dan ngerokok untuk mengkaji-mengaji ilmu tauhid, fiqih, tasawuf dan seluruh isu-isu terbaru agar tidak ngantuk serta tanpa bermaksud keluar dari niat inti untuk menggapai ridho-Nya.
Budaya Al-Kitab Baina Jam’iyah Al-Qohwah Wa Ad-Dhuhon (Arab: kitab kuning diantara komunitas kopi dan rokok) yang disebutkan belakangan merupakan potret nyata kehidupan mahasiswa kota Malang yang coba dihembuskan secara persuasif dan datang dengan damai tanpa paksaan kepada seluruh masyarakat, khususnya kalangan insan perguruan tinggi. Dengan mayoritas konsumennya adalah alumni pondok pesantren yang berbaju mahasiswa, otomatis euforia romantisme sebagai santripun berbaur didalamnya, seperti pepatah konyol mengatakan; "Sambil menyelam (ilmu), minum kopi" dan rokokan. Atau slogan warung kopi Blandongan Jogja: "(bangkitkan jiwa & raga [by] kopi priboemi) Selamatkan anak bangsa dari kekurangan kopi". Mantap dan pas tenan sasarannya untuk kawula muda bahkan bagi siapapun juga yang ahli begadang dengan berbagai macam alasan dan aktivitasnya. Meskipun kami sendiri tidak merokok alias perokok pasif dan hampir setiap hari bergaul dengan para perokok aktif, tetapi kami bisa enjoy dengan lingkungan yang menurut sebagian orang membahayakan kesehatan. Sebab harga yang harus kami bayar untuk mendapatkan lingkungan mboiz (Jawa-Malang: bagus, oke) yang fokus mendalami kitab kuning itu langka sekali di antara kepungan lingkungan hedonis semacam kota pelajar seperti Malang.
Tanpa bermaksud mendeskritkan siapapun juga atau melawan mainstream umum, namun untuk kami, kitab kuning tidak bermakna hanya sebagai kitab klasik dan usang yang telah ketinggalan gerbong zaman postmodernisme, tetapi lebih dari itu, bagi kami kitab kuning adalah hidayah yang tak bisa dibeli dan didapat dipasar, mall, stadion, bangku kuliah, gedung DPR/MPR, rumah dan tempat-tempat tertentu kecuali Pesantren dan turunannya atau simpatisannya yang menyimpan beribu-ribu sejarah, pengetahuan, kearifan lokal-universal, hikmah-hikmah, barokah, rumus-rumus kehidupan ringkas padat yang dinamis tak lapuk dimakan dimensi, dengan syarat utamanya harus memahami kaidah bahasa dan sastra Arab tentunya. Namun berkat kebijaksaan Walisongo akhirnya perkawinan Jawa-Arab (huruf pego) atau kitab kuning di bumi Jawa mampu menetralisir kesulitan demi kesulitan untuk memahami kitab kuning dulu, sekarang maupun yang akan datang. Dus, seperti memakan buah simalakama fatwa haram rokok MUI memang, jika dijalankan ataupun dibatalkan pun serba salah bagi masyarakat awam sekalipun, maju kena mundur kena. Sama-sama kuat dalil dan argumentasi yang dipakai oleh masing-masing kubu terkait. Namun bagi para penikmat kopi dan rokok dengan kitab kuning-holicnya, senyampang Indonesia masih bisa diselamatkan dengan melek-nya dan kuatnya generasi muda bangsa untuk terus belajar dan berkarya di bangku pendidikan by sruputan kopi dan hembusan rokoknya. Mengapa tidak? Tentunya dengan toleransi tinggi kepada para anti rokok ataupun kopi dimanapun dan kapanpun dia berada.



MAHASISWANISME = PREMANISME
(Psikologi Marah)

Mahasiswa sebagai simbol mata tombak kebenaran kaum intelektual muda bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang mengedepankan diplomasi persuasif, toleran, damai, dan bersahaja ternyata semakin hari semakin kehilangan arah dan tujuan hakikinya untuk menegaskan jati dirinya pada republik ini. Hampir tak ada bedanya antara mahasiswa yang jago tawuran dengan para preman yang hari-hari ini terus diciduk polisi di pasar, terminal, stasiun dan tempat-tempat umum lainnya, karena ulahnya yang meresahkan rakyat. Aksi tak simpatik (premanisme) mahasiswa dijalanan diberbagai daerah, semakin mengukuhkan stigma negatif masyarakat awam (baca: orang tua) yang ingin memasukkan putra-putrinya di perguruan tinggi, sebab ditengah carut-marutnya perekonomian dunia yang imbasnya ke dalam negeri, langsung ataupun tidak membuat para orang tua berpikir ulang untuk mendaftarkan anaknya di universitas. Dan ini dikhawatirkan karena kebrutalan segelintir oknum mahasiswa yang tak bertanggungjawab, mengatasnamkan solidaritas ‘semu’ rela melakukan tawuran dengan mahasiswa, masyarakat, aparatur pemerintahnya sendiri, aneh dan ironi. Padahal kita memiliki senjata ampuh yang bernama ‘musyawarah mufakat’ yang terbukti tokcer turun-temurun dalam menjernihkan permasalahan kecil hingga besar, dan seringkali hal itu tak diindahkan, malah amarahnya yang didahulukan. Potensi kemarahan sebenarnya sudah dimiliki manusia sejak lahir. Sebelum bayi belajar bicara, emosi yang sudah berkembang di dalam dirinya adalah perasaan gembira, takut, malu, heran, dan marah. Marah merupakan reaksi dari perasaan kesal yang memuncak ketika dia temui hal-hal yang tidak selaras dengan keinginan dan pandangan-pandangannya. Orang bisa marah karena alasan konflik, penghinaan, cemoohan, ancaman, maupun tekanan rasa sakit (Abdullah Gymnastiar, 2006). Imbasnya fakta tersebut semakin mencoreng dunia pendidikan nasional yang masih tiarap, disisi lain pekerjaan rumah bangsa ini terus bertambah, disamping kemiskinan, pengangguran, penegakan hukum, ekonomi, sosial, moral, dan seterusnya.Benang merah ’marah’ sebenarnya tidak hanya menghiasi dunia pendidikan saja, hampir seluruh lapisan masyarakat kita mudah saja termotivasi untuk menggerakkan lidahnya untuk mengumpat, memukul, menendang sampai membakar ataupun membunuh dirinya atau orang lain demi mengekpresikan marahnya. Dalam kehidupan manusia dikenal ada tiga emosi dasar yang dimiliki sejak bayi dan dibawa terus sampai meninggal dunia. Emosi tersebut adalah marah, senang, dan takut. Hanya saja manifesti emosi-emosi tersebut akan tidak sama, tergantung pada usia, tahap perkembangan dan situasi serta kondisi saat emosi tersebut muncul (Sartini Nuryoto, 2006).Marah berarti perubahan internal atau emosional yang menimbulkan penyerangan dan penyiksaan guna mengobati apa yang ada dalam hati. Perubahan yang lebih keras dari marah disebut "al-ghaizh" (Yadi Purwanto, 2006: 7). Menurut Wayne M. Dyer (1977), marah adalah sutu reaksi terhadap frustasi yang terlatih dimana seseorang berbuat dengan cara-cara yang sesungguhnya ia tidak menginginkannya.Alhasil, jika sewaktu-waktu mahasiswa demontrasi ada baiknya jika dibekali dengan ’manajemen marah’ di lapangan, agar tidak mudah terprovokasi dan bertindak anarkis di tengah-tengah masyarakat. Karena bagaimanapun juga masyarakat adalah tim penilai pertama segala tindak-tanduk agen perubahan dan pengontrol ini. Dan sangat manusiawi tatkala para polisi bertindak represif jika mahasiswa berlebihan dalam setiap aksinya. Setidaknya tarik napas dalam-dalam dan hitung pelan-pelan sampai 10-20 detik, saat marah muncul, segera duduk jika sedang berdiri, segera telentang jika sedang duduk, kemudian segera wudlu.Label mahasiswa bukanlah segala-galanya tatkala masyarakat yang notabene keluarga si mahasiswa telah jenuh dan muak dengan arogansi mahasiswa itu sendiri. Tak salah jika iklan mengatakan; "Tua itu pasti, dewasa itu pilihan, dan mati jelas akan datang menjemput", karena mahasiswanisme bukanlah premanisme. "Siapakah yang kalian anggap perkasa?" Kami menjawab: "Orang yang tidak bisa dikalahkan oleh siapapun." Nabi Muhammad SAW bersabda, "Bukan itu, tetapi orang yang dapat mengendalikan dirinya pada saat marah." (HR. Muslim).

J. Abdillah