www.wikipedia.com

Saturday, November 22, 2008

SUDUT PANDANG


Mbah Hasyim, Bung Tomo, dan Amrozi Cs

Orasi Bung Karno yang paling terkenal: “Jas Merah (Jangan Sampai Melupakan Sejarah).” Ba’da (Arab: Setelah) turunnya fatwa “Resolusi Jihad” Oktober 1945-nya Mbah Hasyim Asy’ari bahwa rakyat Surabaya dan sekitarnya, wajib hukumnya untuk jihad melawan tentara sekutu pimpinan Inggris yang membonceng tentara KNIL-Belanda yang mendarat di Surabaya. Maka ribuan arek-arek (Jawa: Pemuda-pemudi) dengan sukarela mendaftarkan dirinya di medan pertempuran yang heroik tersebut.
Sejenak kita menengok kebelakang, bagaimana peran tokoh-tokoh sentral yang seolah-olah tak pernah tersentuh oleh pena dan tinta sejarah 10 November 1945, layaknya Hadrat asy-Syekh KH. Hasyim As’ary dari Tebuireng Jombang yang selalu menjadi rujukan utama Bung Tomo di setiap keputusan dan kebijakannya dalam mengawal proklamasi kemerdekaan 1945 dan peristiwa perlawanan arek-arek Surabaya, para santri, dan seluruh masyarakat Jawa Timur saat pertempuran di Surabaya.
Isi Pidato Bung Tomo (Kita toendjoekkan bahwa kita adalah benar-benar orang jang ingin merdeka. Dan oentoek kita, saoedara-saoedara, lebih baik kita hantjur leboer daripada tidak merdeka.Sembojan kita tetap: MERDEKA atau MATI) yang membakar patriotisme arek-arek Surabaya tidak begitu saja lahir, itu merupakan proses ta’dzim (Arab: Hormat) seorang murid kepada gurunya, dimana Mbah Hasyim sebagai Maha Guru spiritual sekaligus aktor utama (Ulama’) mumpuni yang memiliki kearifan lintas zaman menyuntikkan spirit jihad kepada Bung Tomo sebagai Umara’(Arab: Pemimpin) yang selalu berusaha menjaga stabilitas keamanan wilayah Jawa Timur, beliau langsung tergugah jiwanya melalui restu gurunya untuk segera mungkin mengusir tentara sekutu pimpinan W.S. Malaby.Hasilnya, heroisme yang tampak adalah terbunuhnya Jendral Malaby di jembatan merah dan ribuan pencari surga (pejuang) wafat di Surabaya. Padahal, hanya sepotong bambu runcing dan nasionalisme (cinta tanah air sebagian dari iman/hadis) yang membumbung tinggi menjadi pemicunya.Anehnya, sejarah hanya mengungkap parsial peristiwa monumental ini. Kontribusi Mbah Hasyim dan penyematan tanda jasa untuk Bung Tomo hanya bisa kita dengar dari mulut ke mulut ataupun media massa dan pengakuan pemerintah baru-baru ini, setelah didesak terus-menerus. Bukannya gila tanda jasa, namun veteran 10 November 45’ tentunya sangat menantikan detik-detik tersebut. Romantisme Ulama dan Umara’ begitu mesra dan terjalin dengan khidmat saat itu, sehingga rakyat Jatim otomatis terketuk hatinya tatkala lima Resolusi Jihad digulirkan, dua diantaranya; pertama, Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945, harus dipertahankan. Kedua, Kewajiban jihad merupakan keharusan bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer dan bertanggung jawab untuk mendukung saudara-saudara muslim mereka yang tengah berjuang dalam radius tersebut.
Artinya Bung Tomo dan rakyat Jatim pun tahu bagaimana meletakkan makna jihad fisik yang sebenar-benarnya saat itu, disamping tafsir jihad yang lebih agung lainnya (mengendalikan hawa nafsu). Mbah Hasyim juga sosok yang cooperative saat pemerintah Belanda memaksakan sistem pendidikan model Barat yang sangat bertentangan dengan Pesantren, hingga lahirlah Madrasah. Atau saat pertamakali beliau hijrah ke Tebuireng yang saat itu dikenal sebagai sarang kemaksiatan dan kejahatan di pinggiran Jombang, beliau tetap memberikan nasihat (wa’zh) dan bimbingan (irsyad) simpatik pada masyarakat sesuai tuntunan Rasululloh, daripada revolusi dengan kekerasan.
Jawa Timur merupakan propinsi yang dihuni oleh penduduk blak-blakan (Jawa: Terbuka) di setiap tindak-tanduknya, itu pula yang menjadikan figur Ulama’ dan Umara’ yang memimpin wilayah ujung timur Jawa ini harus tegas, kharismatik, berwibawa dan telah teruji keilmuannya. Buktinya, basis kaum bersarung (santri) dan pesantren adalah Jawa Timur, dimana figur-figur ulama’ karbitan tak dibutuhkan.
63 tahun telah berlalu, kepahlawanan arek-arek Surabaya telah banyak menginspirasi pemuda Indonesia lainnya, untuk selalu mengobarkan semangat perjuangan. Hari ini, semangat itu telah bermetamorfosis menjadi energi positif yang mayoritas dimiliki oleh rakyat Indonesia. Meskipun seabreg (Jawa: Setumpuk) PR bersama terus membayangi, layaknya lumpur lapindo Porong, kemiskinan di Mataraman-Madura-Tapal Kuda, penggusuran PKL, Pendidikan gratis, dan kesejahteraan buruh serta gaji guru ngaji harus segera direalisasikan.
Mbah Hayim dan Bung Tomo baru akan terus lahir, tentunya bukan laki-laki bersorban (Amrozi Cs) yang mengatasnamakan Islam, kemudian mengebom saudara sebangsa dan setanah airnya dengan motif agama yang detik ini telah dieksekusi mati. Wa’allhu A’lam Bisshowab.

Junaidi Abdillah

No comments: