
Menjadi Lebih Indonesia
Tuesday, 28 October 2008 (HARIAN SURYA SURABAYA)
Pasca turunnya rezim Orde Baru Mei 1998 yang dipelopori pemuda Indonesia, kecintaan dan kepercayaan masyarakat pada kaum intelektual muda perlahan-lahan turun, karena generasi muda era 2000 lebih menonjolkan ototnya dari pada ide-ide segar perubahannya. Faktanya, tawuran antara mahasiswa baik beda kampus maupun satu kampus, marak diberitakan. Pelajar SMP dan SMA tak mau kalah pamer otot dengan berantem hanya gara-gara masalah sepele.
Kalau dicermati, definisi pemuda atau generasi muda adalah konsep yang sering diberati oleh nilai-nilai. Pemuda harapan bangsa, pemuda pemilik masa depan, atau pemuda harus dibina, dan sebagainya, memperlihatkan betapa saratnya nilai yang terlekat. Sebab itu aspek objektif seperti perumusan berdasarkan kesamaan umur perlu diperhitungkan. Dari sudut kependudukan, pemuda adalah mereka yang berusia 15 hingga 25 tahun.
Sedangkan dalam sosiologi dan sejarah, kepemudaan dirumuskan berdasarkan tanggapan masyarakat dan kesamaan pengalaman historis yang didukung versi psikologi yang memperkirakan periode pertumbuhan kepribadian, erat hubungannya dengan latar belakang kebudayaan.
Berbicara Indonesia berarti membincangkan budaya, adat-istiadat, keragaman suku, ras dan agama dari Sabang sampai Merauke yang begitu pelangi, unik, dan kaya dengan alamnya yang subur-makmur. Yang jelas, masyarakat Indonesia termashyur dengan keramahan, budi pekerti, sederhana, pekerja keras. Dulu kita menganggap semua ini hanya bisa ditemui di Indonesia. Ketika informasi terbuka, nilai-nilai seperti ini juga dimiliki bangsa lain.
Budaya konsumtif dan narsis menghinggapi otak-otak kaum intelektual muda detik ini. Alhasil, miskin ide dan karya fenomenal yang bisa dijadikan rujukan ataupun panutan generasi selanjutnya, meskipun tidak semua pemuda Indonesia seperti itu.
Sejalan dengan itu semua, 28 Oktober sebagai peringatan Sumpah Pemuda terasa hambar. Delapan puluh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mempertahankan Sumpah Pemuda.
Pemuda Indonesia hari ini hanya bisa berkacak pinggang dengan kasarnya, minim toleransi, cenderung brutal dan anti perbedaan, apalagi saat keinginannya tak terpenuhi. Padahal mahasiswa adalah agen perubahan dan agen pengontrol ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di segala lini kehidupan Indonesia. Tak ada yang patut digembar-gemborkan selain menghasilkan karya-karya cantik dan budaya asli bangsa sendiri. Biarlah badai krisis keuangan global menghantam negeri ini asal kita masih bisa berkarya.
Sedangkan dalam sosiologi dan sejarah, kepemudaan dirumuskan berdasarkan tanggapan masyarakat dan kesamaan pengalaman historis yang didukung versi psikologi yang memperkirakan periode pertumbuhan kepribadian, erat hubungannya dengan latar belakang kebudayaan.
Berbicara Indonesia berarti membincangkan budaya, adat-istiadat, keragaman suku, ras dan agama dari Sabang sampai Merauke yang begitu pelangi, unik, dan kaya dengan alamnya yang subur-makmur. Yang jelas, masyarakat Indonesia termashyur dengan keramahan, budi pekerti, sederhana, pekerja keras. Dulu kita menganggap semua ini hanya bisa ditemui di Indonesia. Ketika informasi terbuka, nilai-nilai seperti ini juga dimiliki bangsa lain.
Budaya konsumtif dan narsis menghinggapi otak-otak kaum intelektual muda detik ini. Alhasil, miskin ide dan karya fenomenal yang bisa dijadikan rujukan ataupun panutan generasi selanjutnya, meskipun tidak semua pemuda Indonesia seperti itu.
Sejalan dengan itu semua, 28 Oktober sebagai peringatan Sumpah Pemuda terasa hambar. Delapan puluh tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mempertahankan Sumpah Pemuda.
Pemuda Indonesia hari ini hanya bisa berkacak pinggang dengan kasarnya, minim toleransi, cenderung brutal dan anti perbedaan, apalagi saat keinginannya tak terpenuhi. Padahal mahasiswa adalah agen perubahan dan agen pengontrol ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di segala lini kehidupan Indonesia. Tak ada yang patut digembar-gemborkan selain menghasilkan karya-karya cantik dan budaya asli bangsa sendiri. Biarlah badai krisis keuangan global menghantam negeri ini asal kita masih bisa berkarya.
Oleh Junaidi Abdillah
Mahasiswa UIN Malang
dakon21@rocketmail.com
Mahasiswa UIN Malang
dakon21@rocketmail.com
Menunggu 'Sengatan' Sesungguhnya Film Laskar Pelangi
Monday, 13 October 2008 (HARIAN SURYA SURABAYA)
Melihat Laskar Pelangi bukan sekadar catatan kecil kegetiran dunia pendidikan anak bangsa yang terjadi di masa Orde Baru, dan pemerintah tiba-tiba harus latah karena novel ini berhasil menggugah, mengubah dan menjadi energi positif bagi banyak orang. Lebih dari itu, saatnya momentum kurikulum pendidikan nasional dibenahi.
Kemarin malam (10/10/08) saya, bersama tiga teman saya bersama-sama menuju studio satu di salah satu bioskop kota Malang untuk nonton bareng film Laskar Pelangi yang fenomenal, konon jalan ceritanya seperti novel aslinya. Pukul 20.00 WIB, pintu studio telah dibuka setelah puluhan penonton bergerombol di sekitar studio. Dari balita, kawula muda, dewasa pria-wanita, sekelompok keluarga kecil hingga lelaki sangar berotot pun siap melihat primere film ini.
Film dimulai. Awalnya para penonton cekikikan (Jawa: tertawa terbahak-bahak) dengan tingkah polah Laskar Pelangi. Namun ditengah-tengah adegan Pak Harfan meninggal dunia hingga saat Lintang berpamitan pada Bu Muslimah dan sahabat-sahabatnya untuk berhenti sekolah, mulailah adegan melankolis disamping kanan-kiriku. Diawali dari sapu tangan, tisu, sampai tangan telanjang sibuk menyeka air mata mayoritas para penonton yang hadir, termasuk pria sangar berotot di sampingku dan aku sendiri (sedikit) serta teman-temanku.
Sengatan pertama film ini pun dimulai, pertama, membludaknya penonton Indonesia yang penasaran dengan magnet film ini (1,2 juta penonton) dan sewaktu-waktu akan berubah statistiknya. Kedua, dunia perfilman Indonesia akan semakin menggeliat dengan sentuhan tangan dingin putra-putri bangsa yang tak kalah dengan film box office Hollywood, Bollywood, dan Hongkong yang selalu membanjiri pola pikir masyarakat Indonesia, perlahan-lahan konsumtif, kasar-keras, dan memuja-muja fatamorgana tampilan kekayaan semu film-film India. Ketiga, saatnya ranah pendidikan dan sastra Indonesia menemukan kembali jalannya untuk bangkit lewat turunnya kebijakan pemerintah yang akan mengalokasikan 20 persen APBN tahun 2009 untuk dunia pendidikan.
Sejalan dengan ruh UUD 1945 Bab XIII Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 ayat 1-5, dua di antaranya berbunyi: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Artinya, saatnya pemerintah benar-benar mengamalkan UUD 45 di atas dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya, melihat Laskar Pelangi bukan sekadar catatan kecil kegetiran dunia pendidikan anak bangsa yang terjadi di masa Orde Baru, dan pemerintah tiba-tiba harus latah karena novel ini berhasil menggugah, mengubah dan menjadi energi positif bagi banyak orang. Lebih dari itu, saatnya momentum kurikulum pendidikan nasional dibenahi.
Faktanya, meskipun konsep ESQ (emotional spiritual quation) telah diamini mayoritas pelaku dunia pendidikan, namun angka-angka dalam raport ataupun KHS yang bersumber dari seremonial siswa masuk di kelas, tugas-tugas makalah tanpa koreksi lebih
lanjut, dilarang kritis alias tidak boleh membuat pertanyaan yang menyulitkan guru yang minim membaca dan sering membolos itu tetap menjadi penekanan oleh sebagian para guru, dosen atau pengajar dalam membentuk kepribadian murid maupun mahasiswanya
hari ini.
Bukan akhlaq, nilai-nilai moral, agama yang ditekankan, sehingga seringkali kejujuran, sopan-santun menjadi barang langka dalam proses belajar mengajar dan hanya menjadi kurikulum pelengkap, dan seringakali kita dengar, nilai-nilai tinggi bisa gantikan oleh segepok uang untuk selembar ijazah atau gelar prestisius, lalu dimana cita-cita Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya harus dilanjutkan?.
Semoga sengatan-sengatan elegan selanjutnya dari Andrea Hirata-Andrea Hirata lainnya terus memberikan suntikan positif bagi seluruh pemegang kebijakan dan rakyat Indonesia di segala ranah pekerjaan rumah bangsa Indonesia, sekarang dan dimasa mendatang.
Kemarin malam (10/10/08) saya, bersama tiga teman saya bersama-sama menuju studio satu di salah satu bioskop kota Malang untuk nonton bareng film Laskar Pelangi yang fenomenal, konon jalan ceritanya seperti novel aslinya. Pukul 20.00 WIB, pintu studio telah dibuka setelah puluhan penonton bergerombol di sekitar studio. Dari balita, kawula muda, dewasa pria-wanita, sekelompok keluarga kecil hingga lelaki sangar berotot pun siap melihat primere film ini.
Film dimulai. Awalnya para penonton cekikikan (Jawa: tertawa terbahak-bahak) dengan tingkah polah Laskar Pelangi. Namun ditengah-tengah adegan Pak Harfan meninggal dunia hingga saat Lintang berpamitan pada Bu Muslimah dan sahabat-sahabatnya untuk berhenti sekolah, mulailah adegan melankolis disamping kanan-kiriku. Diawali dari sapu tangan, tisu, sampai tangan telanjang sibuk menyeka air mata mayoritas para penonton yang hadir, termasuk pria sangar berotot di sampingku dan aku sendiri (sedikit) serta teman-temanku.
Sengatan pertama film ini pun dimulai, pertama, membludaknya penonton Indonesia yang penasaran dengan magnet film ini (1,2 juta penonton) dan sewaktu-waktu akan berubah statistiknya. Kedua, dunia perfilman Indonesia akan semakin menggeliat dengan sentuhan tangan dingin putra-putri bangsa yang tak kalah dengan film box office Hollywood, Bollywood, dan Hongkong yang selalu membanjiri pola pikir masyarakat Indonesia, perlahan-lahan konsumtif, kasar-keras, dan memuja-muja fatamorgana tampilan kekayaan semu film-film India. Ketiga, saatnya ranah pendidikan dan sastra Indonesia menemukan kembali jalannya untuk bangkit lewat turunnya kebijakan pemerintah yang akan mengalokasikan 20 persen APBN tahun 2009 untuk dunia pendidikan.
Sejalan dengan ruh UUD 1945 Bab XIII Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 ayat 1-5, dua di antaranya berbunyi: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Artinya, saatnya pemerintah benar-benar mengamalkan UUD 45 di atas dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya, melihat Laskar Pelangi bukan sekadar catatan kecil kegetiran dunia pendidikan anak bangsa yang terjadi di masa Orde Baru, dan pemerintah tiba-tiba harus latah karena novel ini berhasil menggugah, mengubah dan menjadi energi positif bagi banyak orang. Lebih dari itu, saatnya momentum kurikulum pendidikan nasional dibenahi.
Faktanya, meskipun konsep ESQ (emotional spiritual quation) telah diamini mayoritas pelaku dunia pendidikan, namun angka-angka dalam raport ataupun KHS yang bersumber dari seremonial siswa masuk di kelas, tugas-tugas makalah tanpa koreksi lebih
lanjut, dilarang kritis alias tidak boleh membuat pertanyaan yang menyulitkan guru yang minim membaca dan sering membolos itu tetap menjadi penekanan oleh sebagian para guru, dosen atau pengajar dalam membentuk kepribadian murid maupun mahasiswanya
hari ini.
Bukan akhlaq, nilai-nilai moral, agama yang ditekankan, sehingga seringkali kejujuran, sopan-santun menjadi barang langka dalam proses belajar mengajar dan hanya menjadi kurikulum pelengkap, dan seringakali kita dengar, nilai-nilai tinggi bisa gantikan oleh segepok uang untuk selembar ijazah atau gelar prestisius, lalu dimana cita-cita Ki Hajar Dewantara dengan Taman Siswanya harus dilanjutkan?.
Semoga sengatan-sengatan elegan selanjutnya dari Andrea Hirata-Andrea Hirata lainnya terus memberikan suntikan positif bagi seluruh pemegang kebijakan dan rakyat Indonesia di segala ranah pekerjaan rumah bangsa Indonesia, sekarang dan dimasa mendatang.
Oleh : Junaidi Abdillah
Fak Psikologi UIN Malang
dakon21@rocketmail.com
Fak Psikologi UIN Malang
dakon21@rocketmail.com
No comments:
Post a Comment