www.wikipedia.com

Saturday, January 16, 2010


Harga Sebuah ‘Rangzen’ di Tibet

“Bahwa aku tidak bahagia sebenarnya tidak begitu penting. Aku hanya seorang perempuan. Semua ibu yang mengirimkan anaknya juga mempunyai masalah. Oleh karena itu, keinginan terbesarku adalah kemerdekaan negeri Tibet. Kemudian tanah air kita ini akhirnya bisa memberikan kesempatan sebuah masa depan bagi anak-anak”, dari seorang ibu dari Tibet (hal; 83). Cuplikan kalimat tersebut sedikit dari pengharapan yang sangat dari para wanita (baca: ibu khususnya) dan jamak masyarakat Tibet mengenai kebebasan (rangzen).
Pasca melihat foto-foto anak-anak Tibet yang mati kedinginan yang kebetulan ditemukan oleh pendaki gunung diperbatasan antara Tibet dan Nepal di sebuah majalah, oleh Maria Blumencron (Zazie) wanita berkebangsaan Austria (asli Wina-Vienna) mantan aktris film di sebuah serial televisi yang selanjutnya menjadi inisiator, obsesiator, sekaligus sutradara film dokumenter (2000) mengenai nasib anak-anak Tibet yang dikirim oleh orangtua mereka ke pengungsian untuk tinggal dan dibimbing langsung Dalai Lama ke-14 di Dharamsala (India), kemudian Zazie menuangkan puzzle-puzzle kisah tak tersentuh tersebut dalam sebuah catatan (buku, 2003).
Pemeran utama kisah perjuangan panjang nan nyata-heroik ini ialah 6 bocah dari Tibet; Pema Kecil (gadis kecil 7 tahun dari Provinsi Kham), Tamding (anak laki-laki 10 tahun dari Provinsi Amdo), Chime (gadis kecil 10 tahun dari Tibet Barat), Dolker (adik perempuan Chime, 7 tahun), Dhondup (anak laki-laki 8 tahun putra seorang dokter Tibet), Lhakpa (anak perempuan berumur 10 tahun berasal dari keluarga pengembara), dan Lobsang (biksu berumur 15 tahun asli Provinsi Amdo), serta Nima Sang pemandu yang berhati emas, ditambah dengan Dhamchoe, Suja, Pema Besar, Sotsi, Tempa, Currasco, Si Gigi Emas, Yeti, dan Sang Pelajar.
Mereka berenam adalah miniatur yang benar-benar mini mewakili sosok empiris para pengungsi yang terekam jejaknya oleh dunia luar tentang wajah lain dari keelokan dan kedahsyatan cerita-cerita yang melingkupi misteri Himalaya, karena sebelumnya telah terkubur megahnya kedigdayaan RRC hari ini. Secara fisik dan mental mereka belumlah dikatakan layak untuk melintasi pegununggan Himalaya yang begitu bengis dan sinis bagi siapapun, layaknya neraka kematian karena begitu ekstremnya cuaca maupun medannya yang berselimutkan es abadi, diantara ngarai curam, sungai gletser, badai salju, bintang buas, dan Tangan Tuhan.
Namun, diujung pangkal keputusasaan para orangtua mereka berenam, terbitlah matahari harapan terbesar dan terakhir yang mereka punya, tak lain tak bukan dengan mengirimkan buah hati mereka bersama pemandu terpercaya, handal, penuh kasih sayang dan bertanggungjawab menuju Dharamsala guna mendapatkan pendidikan yang lebih baik dari para guru asli Tibet dengan bahasa ibu sendiri dan tumbuh besar dalam kebudayaan Tibet, setiap malamnya bisa kenyang sebelum tidur, terutama sekali untuk mewujudkan rangzen bersama pemimpin tertinggi Tibet, yakni Yang Mulia Dalai Lama ke-14 pernah berkata: “Jangan pernah menyerah! Apa pun yang terjadi, jangan pernah menyerah…Nepal, 10 April 2000”, (hal; 193).
Penaklukan Himalaya yang berdiri kokoh (lebih 6.000 meter) diatas permukaan laut itu lebih dari sekedar lukisan luapan emosi kepuasaan ego seorang pendaki sejati atau ketangguhan fisik, kelengkapan peralatan, perbekalan semata para penakluknya dari yang awam atau kawakan, dari yang kecil hingga dewasa, tetapi juga bagaimana Pema Kecil dkk, menaklukkan diri sendiri, entah itu berupa trauma masa lalu, kerinduan pada keluarga, kampung halaman, sahabat, kebencian pada seseorang, meraih mimpi-mimpi diantara ancaman moncong senjata tentara dan polisi China-Nepal serta intaian para mata-mata yang kelaparan. Padahal para ibu mereka berenam juga tahu resikonya, bahwa apakah nantinya mereka bisa bertemu dan berkumpul lagi suatu saat nanti itu merupakan harapan selanjutnya, setelah tahu anak-anak mereka selamat pelarian dari Tibet dan penaklukan Himalaya, belajar menjadi orang Tibet sesungguhnya, dan mampu mewujudkan cita-cita mereka menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat penuh.
“Pada awal perjalanan pengungsian kami tidak saling ramah terhadap satu sama lain. Tapi, kemudian Pema Kecil bertanya kepada kami, apakah kami mau sebagian dari buah-buahannya. Dan begitulah kami menjadi teman. Dan saat aku merindukan mama dan papa, aku membuat orang lain menangis. Yang lainnya juga menangis saat mereka merindukan papa dan mama mereka-di malam hari”, Dhondup (hal; 157). Pada akhirnya uraian air mata, pengorbanan perasaan tak terhingga orang tua dan anak, harta, tenaga demi masa depan gemilang terbayar lunas di Dharamsala. Adalah Zazie-Maria yang mampu memberikan sentuhan keibuannya pada keenam anak angkatnya dari Tibet yang berawal dari salam khas Tibet: “Tashi Delek”. Selanjutnya mereka berenam mampu tumbuh dan berkembang di Tibetan Children’s Village Dharamsala, desa anak-anak pertama yang dibangun Yang Mulia Dalai Lama dengan bantuan kakak perempuannya Tsering Dolma awal tahun 60-an.
Segera setelah berhasilnya pengungsian Dalai Lama (1959), pengungsian anak-anak pertama dari Tibet masuk ke India. Banyak dari mereka yang harus melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana orangtua mereka dibunuh dengan kejam oleh orang-orang China. Lalu datanglah saat kelaparan besar melanda Tibet, yang mendorong seluruh keluarga besar pengungsi melalui perbatasan Himalaya. Tetapi, pada masa itu pun sudah sulit bagi orang-orang dewasa untuk membangun sebuah kehidupan di negara berkembang yang padat penduduknya seperti India. Lalu mulailah, hanya anak-anak yang dikirim menuju sebuah masa depan yang lebih baik. Dengan cepat Dalai Lama muda menyadari bahwa harus ada prasarana dibuat untuk anak-anak, sebuah tempat di mana mereka dapat tinggal dan bersekolah. Saat Tsering Dolma (1964) meninggal dunia akibat penyakit kanker, Jetsun Pema, adik perempuan Dalai Lama, mengambil alih pemeliharaan ratusan anak-anak pengungsi diusianya yang ke-24 (hal; 293-294).
Hari berganti hari, film dokumenter ini mendapatkan penghargaan di berbagai ajang film nasional dan internasional, berbanding lurus dengan ocehan, nyanyian Pema Kecil dkk, yang asyik bermain batu aupo. Walaupun di Jerman sendiri film dokumentasi biasanya diputar di televisi larut malam sehingga mayoritas warganya sudah terlelap.
Alangkah semakin mesranya pembaca dengan Pema Kecil dkk ini lebih dalam lagi selanjutnya, jika tersedia glosarium mumpuni untuk ber-tashi delek tentang budaya Tibet dan sekitarnya dari bahasa ibunya, atau setidaknya bahasa universal, guna memberikan gambaran yang utuh dan kabar teraktual dari kaki Himalaya pada masyarakat dunia. Namun, hadirnya buku ini minimal memberikan sebuah pemahaman besar bahwa harga kebebasan (rangzen) di Tibet itu teramat mahal untuk dibayar para anak-anak.


Judul buku: Escape Over The Himalayas
(Diterjemahkan dari Fluch uber den Himalaya, Tibets Kinder auf dem Weg ins Exil)

Penulis: Maria Blumencron
Penerjemah: Siska Isabella

Penerbit: Imania, Jakarta

Cetakan: I, Oktober 2009

Tebal: xiv+319 halaman


Junaidi Abdillah


No comments: